Puisi Ilham Wahyudi
Adam
Sekiranya ada yang bertanya, maka jawablah, dia bapak kami. Penghulu dari segala penghulu; moyang yang terlempar dari firdaus dan mengidap nyeri rindu dalam wadah fana. Dari tulangnya sebelah kiri, ibu kami nyata ke muka loka. Dipikulnya dosa keteledoran sebagai bukti ia memang hanya insan yang papa. Tapi sungguh kepadanya kami berlega hati, sebab karenanya kami pun menimba terima kasih dan kami mahfum musuh utama yang abadi; adalah yang telah lampau mukim di hati kami.
Akasia 11CT
Iblis
Mungkin lantaran keningnya terlampau adiluhung, ia pun enggan menyungkum kepada zamin yang amat tekun memahfuzkan nama-nama; ia pun terusir. Tercipta sebagai seorang ahli zikir, ia pada akhirnya amat mahir menyihir (perihal keabadian) kakek nenek kami; setakat terpaksa turun meniti wajah bentala. Dendamnya memang sahih berpinak; hingga menjalar ke roh Qabil sang putra pertama buana (bila pada nenek kami ia berniaga ketamakan, kepada si kembar ia jual pula iri hati). Ikhtiarnya tak kunjung usai kepada anak cucu kami, meski nyala api berkobar-kobar siap menanti tubuhnya yang juga ialah api. Maka teruslah berhati-hati, sebab ia begitu terampil memikat hati.
Akasia 11CT
Rimbun
Demi rambutmu tebal menggumpal
Atau panjang akarmu tumpah menggenang
Izinkan kami sedikit menukilkan
Apa yang papa kami miliki
Sehingga bila kelak tidak cukup luas
Peribahasa melafazkan madahnya
Pohon maafmu janganlah tumbang
Setiap cabang kemolekanmu
Kami ibaratkan pintu yang terbuka
Yang memanggil-manggil
Demit atau sebagian serangga
Dan beberapa binatang malam
Berumah-bertelur di sana
Pun acap pula kami dengar
Kisah pengembara tersesat
Atau hilang engkau telan
Dalam mantelmu yang kadang hijau
Kadang cokelat tua atau kuning belaka
Jua kadang hitam semenjana
Sebab itukah rimbun nama kau pilih semata?
Akasia 11CT
Ramai
Riuh rendah suara itu
apakah kau yang membentangkannya
seraya khidmat melepaskan
jubah sunyi yang nyaris abadi
betah di hati kami.
Tengoklah anak-anak riang gembira
datang berlari menjilati merah muda gulali
dan bukan kepalang cengang mereka
mendengar meriah bunyi-bunyi
yang kau lempar di angkasa raya
laksana kembang api malam
di langit kota yang sebentar
biru sebentar kelabu.
Tapi tidakkah kau maklum wajah
khawatir yang melekat tipis
di antara bibir dan lipstik para istri
ketika menyaksikan pujaan hati mereka
sibuk menggulung lengan kemeja
sampai ke ujung siku sambil berdiri
sedikit menyandar memainkan kaca mata
nan gelap lagi berkilauan.
Orang-orang lalu lalang membicarakanmu
seakan pernah melihat lapang tubuhmu
seolah-olah paham merdu suaramu
yang sesungguhnya tak lebih sekadar
tuturan igau yang terkurung jeruji pilu.
Akasia 11CT
Berhala
Betapa megah moyang kami dulu menegakkan istana-istana untukmu yang teramat sungguh pemalu bicara. Serupa pasukan penjaga, adakalanya kau bersusun-berbaris mengelilingi rumah Tuhan yang dibangun Ibrahim. Sampai akhirnya Al Amin datang merubuhkan kau dengan tongkatnya sendiri.
Di bawah kaki keras bekumu itu, beragam hasil bumi serta hewan ternak yang enak di pandang dan lezat dicicipi kami letakkan upeti. Kadang anak perempuan kami, rela belaka kami hadiahkan kepadamu sebagai kurban. Supaya lancar lalu lintasmu mengatur semesta, seraya semakin melimpah perniagaan dan jual-beli, kata si bebal kepala berapi-api.
Sebenarnya sebelum anak cucu Ismail meramaikan tanah gersang nan tandus itu, bukan main rutin kau lahir dalam kisah orang-orang pilihan. Entah bagaimana kakek-kakek kami begitu percaya pada bisikan roh jahat yang menyaru orang saleh agar di setiap rumah mereka, kau tekun tegak berdiri.
Namun selalu saja cahaya kesahihan jua yang meratakan kau di tanah—meski kelak di penghujung masa kami pun senyata mahfum kau akan unjuk diri kembali. Sebagai salah satu tanda buana tak lama lagi akan mati.
Dan lihatlah kini, itu mulai terbukti. Lihat! Alangkah mahir engkau menjelanak ke dalam harta kami, istri-istri kami, anak-anak kami, pangkat-jabatan kami. Bahkan telah pula menyaru ke dalam rumah Tuhan kami. Hingga di mana-mana kini, engkau semata yang acap kami cari.
Akasia 11CT
Rami
Seraya berdoa tibalah kami pada luhur rambutmu. Yang menjulur; meminta akal budi segera mahir terampil menukilkan apa-apa yang patut dan layak dinukilkan. Begitulah, bila adab kami dahulukan, pastilah budi yang mekar bestari. Sehingga yang gelap dari pengetahuan, terang percuma kami memandang. Maka kokohlah kapal-kapal kami di pelabuhan, terlindungilah bahan pokok kami dari serangga pencuri keterlaluan, dan tentu saja elok nian kami menepis kilau syamsu yang berkibaran. Namun, setakat itukah engkau kami lestarikan, sedangkan rahasia alam terlampau luas ’tuk kami taklukan.
Akasia 11CT
_______
Penulis
Ilham Wahyudi, lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia seorang juru antar makanan di DapurIbuMataAngin, salah seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur, dan Fundraiser di Adhigana Fundraising. Puisi-puisinya banyak sekali ditolak redaksi. Buku kumpulan puisinya Pertanyaan yang Menyelinap entah kapan terbit.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com