Oleh Aurel Hiskia Putri
Judul: Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati
Pengarang: Ni Made Purnama Sari
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tahun Terbit: 2022
Teba: 176 halaman
Menarilah seperti ular yang melindungi sarang telur tersembunyi.
Secuil kalimat yang bisa dikatakan sebagai pintu gerbang masuk ke dalam cerita buku. Kalimat pembuka dalam buku Yang Menari dalam Bayangan Inang Mati cukup membuat kebingungan dan menimbulkan pertanyaan ketika pertama kali membuka buku ini. Buku yang mengangkat tema kebudayaan karangan Ni Made Purnama Sari ini banyak membahas mengenai polemik kehidupan masyarakat Bali yang bersejajar dengan tradisi masyarakat Bali, khususnya kesenian tari. Tidak heran mengapa buku ini mengangkat cerita berlatarkan kehidupan Bali, karena penulisnya sendiri berasal dari Bali, sehingga mengenal dekat apa yang di ceritakannya dalam buku. Berlatar waktu Bali era 1970-an dengan sedikit dibumbui cerita kelam tahun 1965 membuat siapa pun yang membaca akan mendapatkan gambaran kondisi Bali pada waktu itu.
Cerita buku ini dikelompokkan dalam tiga bagian: pertama (Topeng), kedua (Teror), dan ketiga (Tunas). Bab satu penulis mengisahkan suatu tarian yang diibaratkan ular ketika melindungi sarang telur yang disembunyikan. Dengan kalimat pembuka tersebut, mau tidak mau saya di bawa masuk untuk membaca lebih dalam lagi, apa makna yang terkandung dalam kalimat pembuka buku.
Pada bab satu ini untaian kata-kata dirangkai begitu indah oleh penulis. Walau hanya berbicara mengenai pengandaian “menari” dan sedikit cerita Putu, sang tokoh utama yang kembali ke tanah kelahirannya setelah pergi mengembara di waktu yang lama. Dengan dihadapkan sebuah kebimbangan dan keraguan mencari alasan, mengapa ia kembali ke Bali, sedangkan tidak ada momen berkesan yang ia dapatkan di tempat kelahirannya. Cerita selesai dengan ditutup dengan ungkapan penulis bahwa itulah takdir yang tidak bisa dihindari walau sebenci apa pun dan sejauh apa pun kita tidak menyukainya. Namun, haru kita terima bagaimanapun caranya.
“Ngiseh... sledet… agem kanan. Buin, ngiseh, sledet….”
Penggunaan bahasa Bali yang dijadikan sebagai kalimat pembuka pada bab dua ini membuktikan bahwa variasi bahasa jelas dipakai dalam penulisan novel. Bahasa Bali yang digunakan terkadang membuat pembaca bingung karena beberapa penggunaan bahasa tidak disertai arti atau terjemahan dalam bahasa Indonesia. Sehingga akan membutuhkan waktu lebih untuk memahaminya, atau bahkan tidak memahami bahasa tersebut sama sekali. Dampaknya pada pemahaman cerita yang terputus dari alur cerita sebelumnya dan membuat saya sendiri sebagai pembaca merasa bertanya-tanya apa arti dan maksudnya. Bisa dikatakan bahwa beberapa part novel kurang ramah untuk pembaca non-Bali.
Di sisi lain, penulis tampaknya memadukan unsur seni, khususnya seni lukis dalam novel karyanya. Adanya lukisan-lukisan ilustrasi yang diletakkan di beberapa bab buku halaman terakhir bisa dimaknai dengan lukisan yang menggambarkan kehidupan Putu, si tokoh novel dalam gambaran yang lebih berwarna. Hal ini bisa menjadi poin plus karena tidak banyak karya sastra, khususnya novel yang menggunakan kolaborasi seni lukis dalam penyajian ceritanya. Misalnya, seperti lukisan yang berada di halaman 22 novel, tergambar jelas seseorang yang memakai baju penari dan gerakan tangannya terangkat membentuk gerakan tari. Dari contoh ilustrasi ini saling berkaitan dengan isi novel bab dua buku, di mana pada bab tersebut Putu mengikuti sebuah “tanggapan” pentas tari untuk pertama kalinya dalam rangka menghibur para pelancong salah satu hotel.
Cerita berpusat pada Putu, si penari Bali yang hidup dihantui asal-usul masa lalunya, tentang siapa ayah dan ibunya. Putu seorang anak tunggal dengan masa lalu yang kelam, hidupnya dianggap sebagai aib dan ia hidup diasuh oleh neneknya yang kerap dipanggil dengan Ninik. Hubungan antara Putu dan Ninik mulai terlihat pada bab tiga novel. Di situ disebutkan bahwa Ninik memberikan izin Putu untuk masuk ke dalam salah satu sanggar tari Pak Wayan Kaler. Betapa bahagianya Ninik mengetahui bahwa Putu memiliki bakat tari sehingga mendapat tawaran dari sanggar tari Pak Wayan Kaler, maka dari itu sudah pastilah Ninik memberikan izin Putu.
Penceritaan pada bab tiga juga mulai membahas mengenai awal pembangunan Pulau Bali yang saat ini terkenal menjadi pulau wisata dengan banyaknya hotel dan tempat penginapan. Pembangunan hotel awal mulanya didirikan pada tahun 1930-an, Robert Koke, begitu namanya di sebutkan dalam novel. Bule yang dengan berani mendirikan tempat penginapan pertama kalinya di pondok tepi Pantai, tidak jauh dari Kawasan isolasi para pengidap kusta dari Puri Denpasar dan sekitarnya. Nama bule inilah yang tersohor sebagai salah satu perintis lahirnya Kawasan turistik di Kuta.
Seni tari pada zaman itu mulanya hanya dijadikan sebagai seni pementasan untuk ritual-ritual keagamaan atau acara-acara adat di Bali. Namun, seiring dengan perjalanan waktu, seni tari ini dijadikan ajang pertunjukan untuk wisatawan-wisatawan yang berkunjung di Bali. Walau memang pada tahun 70-an belum marak pementasan untuk wisatawan, tapi pada tahun tersebut seni tari menjadi tonggak awal diikutsertakan sebagai seni pertunjukan umum. Masyarakat Bali tentu menyambutnya dengan sukacita, karena dengan ini seni tari Bali dapat dikenal masyarakat luas juga bermanfaat bagi masyarakat Bali untuk menambah penghasilan.
Setelah melalang buana berkelana di desa-desa bali bersama Pak Wayan Kaler, Putu merasa sangat bahagia lantaran bisa melihat berbagai pementasan tari di berbagai desa dengan jenis, kostum, dan gerakan yang begitu beragam. Dan dengan berkelananya tersebut Putu jadi lebih mengerti tarian apa yang menjadi ciri khas dan akan ia tekuni. Tari Topeng merupakan satu dari banyaknya tarian yang dipilih oleh Putu. Dengan tarian tersebut syarat akan filosofi membuat putu tertarik mendalaminya. Pada dasarnya Putu menari bukan karena tergiur dengan imbalan atau uang yang didapatkannya, ia menari karena memang seni tari menjadi kesenangannya, seni tari membuatnya menjadi hidup dan dengan menari ia bisa menyalurkan perasaannya.
Kendati demikian, Ninik beranggapan bahwa putu harus menari dan mendapatkan uang. Tidak diketahui secara pasti apa alasan Ninik sedikit tergambar “mata duitan” di benak Putu karena hanya berharap Putu menghasilkan uang saja dengan menari. Bahkan di saat waktu istirahat Putu, atau waktu di mana Putu bersantai di rumah tanpa belajar menari, Ninik akan marah dan menyuruhnya agar belajar menari atau setidaknya pergi ke sanggar tari.
Cerita berlanjut hingga memasuki bab kedua (Teror). Dalam bab ini di ceritakan Putu menginjak masa remaja. Dikisahkan bahwa putu mulai tertarik pada seorang gadis yang ditemuinya saat belajar menari, kisah asmara terjalin begitu manis walau memang putu tidak mendapatkan respons yang baik dari pihak keluarga perempuan. Putu masih terbayang-bayang akan asal-usulnya di masa lalu. Rumor-rumor yang mengatakan bahwa orang tuanya adalah seorang pembelok kiri menyebabkan ia tidak percaya diri dengan dirinya sendiri, anggapan bawa latar belakangnya terlalu tidak jelas yang membuat Putu sedemikian rendah diri.
Pada awal bab besar kedua (teror) buku ini memakai alur maju mundur. Kilas balik cerita ketika Putu kecil belajar menari di sanggar Pak Wayan Kaler dan selalu disambut hangat oleh keluarga Pak Wayan. Pada bab ini cerita berubah ke zaman tahun 1980-an di mana Putu mendapat tawaran Pak Kakul, guru tarinya yang mengajari berlatih tarian topeng. Lewat Pak Wayan, putu ditawarkan berkuliah di ASTI, karena Pak Kakul mempunyai koneksi di perguruan tinggi tersebut, dan Pak Kakul melihat bahwa Putu memang benar-benar berbakat dan layak mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk mengembangkan hobinya tersebut. Dengan diiringi rasa bimbang dan juga mendapat restu dari Ninik walaupun pada awalnya Ninik merasa berat hati melepaskan Putu untuk pergi jauh dari rumah. Namun, akhirnya Ninik menyetujui Putu untuk mendaftar ASTI. Singkatnya, Putu diterima belajar di ASTI berkat bantuan Pak Kekul.
Tarian bisa menjadi identitas siapa penarinya, siapa gurunya, dan apa kisahnya. Hal ini di alami Putu pada saat awal perkuliahan, banyak pertanyaan mengenai tempat tinggalnya, salah sedikit berkata-kata maka teman-teman atau dosennya akan menanyakan perihal Pak Kakul atau Pak Wayan. Dengan begitu Putu pun harus jujur bahwa ia adalah murid dari dua maestro tari yang terkenal tersebut. Tidak jarang juga ketika putu memperagakan gerakan tarian, para teman dan dosen langsung mengetahui bahwa tarian tersebut menjadi ciri khas dari Pak Wayan dan Pak Kakul. Maka tidak diragukan lagi cerita yang Putu ucapkan kepada teman-temannya.
Selama masa studinnya di ASTI, Putu merasa bahwa bukan ini yang ia inginkan. Bukan belajar tari yang kontekstual seperti ini, Putu biasa belajar tari-tarian dengan praktiknya langsung, bukan malah berdiam diri di kelas mendengarkan penjelasan yang tiada habisnya. Semakin lama Putu menjadi tidak betah dan semangatnya memudar dalam perkuliahan. Bahkan putu lebih sering membolos daripada berangkat pembelajaran, sampai akhirnya ia memutuskan untuk mengundurkan diri menjadi mahasiswa ASTI. Putu lebih menyukai belajar tari secara nyata bukan hanya teori, tari itu kebebasan, begitu ungkapnya.
Sejak keluar dari ASTI, Putu akhirnya melanjutkan kegiatan berkelananya seperti yang ia lakukan dulu bersama Pak Wayan Kaler menelusuri desa-desa di penjuru Bali agar lebih mengenal lagi tentang seni tari tradisional bali serta perkembangannya. Walau awalnya merasa bahwa hidupnya begitu-begitu saja, tapi jauh didalam hati, Putu merasakan kebebasan dan kebahagiaannya.
_______
Penulis
Aurel Hiskia Putri, penulis lepas.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com