Friday, July 12, 2024

Cerpen Armin Karam | Mata Kaca

Cerpen Armin Karam


“Hei, ini Aku ...,” ujarku melalui gawai mungil ini. Para pijar sepanjang lorong memalingkan kenyataan dari angka tertera di arlojiku. Angka 21:02 terpampang jelas mencerminkan betapa temaram bumantara kini. Meskipun begitu, penghuni stasiun transit ini masih berlalu-lalang, baik mereka yang berbusana necis maupun peron-peron yang saling membalap di tiap lajur bajanya. Lumrahnya, keramaian ini mampu bersanding dengan semarak pesta yang akhir-akhir ini rutin digelar. Nyatanya, Aku justru menekan pilu di keramaian yang bungkam.


“ .... “ 


Tiada satu pun jawaban dari seberang sana, persis dengan yang Aku duga. Memang betul jika di sekitarku amatlah bising. Di satu sisi, kumpulan manusia saling berpapasan berikut seribu satu macam ulah dari seluruh tubuhnya, entah dari derap langkah maupun dari jerit histeris. Di sisi lain, para kencana dalam kota saling beradu bunyi sumbang kala rodanya bergesek dengan rel baja secara berulang. Hanya saja, sesekali terdengar bunyi dengung berulang dari layar penuh cela menyimpulkan nihilnya pesan yang mampu tersampaikan.    


“Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi ....” 


Balasan yang kuterima justru dari program milik penyedia layanan. Sayup-sayup yang terdengar bukanlah manusia. Di beberapa kesempatan, terselip suara bising khas mesin algoritma bersembunyi di balik ucapan nan syahdu. Mungkin Aku akan jatuh hati namun mendapati sambungan yang berulang bak kaset rusak rasanya begitu nahas. Aku menunggu satu huruf saja darinya, tetapi berakhir dikasihani oleh piranti lunak yang memohon untuk mengakhiri panggilan. 


Sepanjang langkah lunglai ini, Aku memalingkan muka terhadap sekitaranku. Nihil perubahan suasana yang Aku harapkan. Sering kali hanya para insan yang berlalu lalang demi waktu mereka sendiri sembari dua hingga empat kencana baja melintas dan singgah sejenak dengan acuhnya. Kencana cepat itu memang tidak peduli satu pun pada Kami hingga terlelapnya satu atau beberapa saja kala ia melintas sepanjang jalurnya sudah menjadi asupan bulanan mereka. Menjadi saksi ironi nyata secara kontinu membentuk sukmaku kian remuk redam.


“Apakah Aku kembali menjadi seseorang?” 


Pikiranku merenungi dua sisi mata uang yang sering disebut sebagai “kehidupan”. Baru satu bulan silam, Aku mendekap pujaan hati dua atau tiga hari lamanya sebelum perantauanku di ranah ini, ranah Sunda Kelapa. Hari pertama dan kedua yang Kami jalani membekas di jiwaku dengan amat hangatnya. Kala bulan Desember bersambut, Dia lekas membantuku berbenah sembari bertukar ragam barang penanda kenangan nan indah. Kami bertukar cerita kala saling menerima barang yang menjadi saksi bisu tiap momen tertentu bagi Kami saling berbagi rasa dan kasih. Sesekali wajah meronanya disusul dengan tawa riang, kemudian munculah mata kaca yang tertahan di sudut pelupuk kelopak nan indah. 


Akan tetapi, hari ketiga menjadi titik balik bagiku. Keteguhan batin dirinya menerima perjalananku runtuh berantakan setibanya di Bandara. Dekapannya berguncang begitu dahsyat. Kehangatan yang kuerima dari kening dan telapak tangannya lenyap begitu saja. Tangisnya yang sempat tertunda dilantunkan demikian hebatnya. Pintanya meronta-ronta untuk tidak mengambil satu langkah pun berpaling menuju perantauan. Segala yang terkunci di bilik sanubari dirobohkan sembari meracau tentang mimpi, kenangan, hingga nasib yang Aku dan Dia pertaruhkan di masa kini. 


Adapun diriku hanya mengulang keyakinanku yang hampir ikut jatuh, persis seperti jawaban telepon tadi. 


“Aku akan berjuang, bersabarlah sejenak.” 


Itulah balasku sembari mendekap jua pada raganya yang kian mendingin. Dekapnya amat menyesakkan, tetapi sahutan petugas dengan datarnya menyeret kembali dirinya kepada kenyataan. 


Aku mengalungkan manik-manik kerang sembari berkata, “Sampai nanti!”


Adapun dirinya, sembari menatap kosong kepadaku, hanya membalas, “Selamat tinggal!”


“Nomor yang Anda Tuju tidak dapat dihubungi  ....” 


Balasan itu mencuat lagi dengan setengah hati. Entah terlupa atau memang diulang kembali, rupanya gawai ini masih berupaya menggapai dirinya yang entah di manakah keberadaannya. Mendapat sambutan berulang dengan rasa yang patah amat menjemukan hingga kupilih balon telepon merah untuk mengakhirinya. 


Betapa jejalkah dirimu menerima pesanku?


Bisikan itu selalu terselip dengan kejamnya tanpa mengenal waktu. Tiap jemariku gemetar dibuatnya kala ia muncul di tengah agenda besar bersama atasan. Kerongkongan seketika mengering bila ia menyisip di tengah pesta pora sesame kolega. Perutku berguncang amat pedihnya tiap kali hasutan lembut itu terselip bersamaan kala ada wanita menaruh duduknya berdampingan denganku. Kalaupun bias tertahan, Aku tetap menanggung malu kala disangka menderita penyakit berkepanjangan. Namun, bukankah Aku memang merasa sakit sejak lama?


Sapuan angin lembut berhias lampion warna-warni yang menjadi idaman banyak manusia justru memantik hadirnya rasa takut yang tiada terjadi di masa lalu. Di beberapa kesempatan, aroma getir maupun rasa hampa menjangkit amat gesit kala sayup-sayup mereka mulai bergosip atas perjuanganku seorang diri. Bahkan, sambutan bunga jalanan yang merekah bergandengan dengan naungan hangat mentari justru membuatku menggigil kedinginan. Jika segala perasaan itu bermunculan dan mengalun amat dahsyat, bukankah aku memang menderita sakit yang begitu kerasnya?


“Hei, ini Aku ...,” dengan nada serak nan sumbang, Aku meracau asal. Sia-sia saja rupanya. Berapa pun mereka yang berpapasan sambil lalu, tidak satu pun yang menanggapi. Meskipun si layar mungil sama modelnya, Tidak ada yang dapat tersambung. Betapa mengherankannya ketika aku jatuh tersenggol, tiada yang sadar kalau aku di sini. Sesamaku rasanya jauh lebih tak-acuh ketimbang program milik penyedia layanan yang masih mau untuk terhubung. Segala rasa yang kucurahkan pada jiwa-jiwa ini hanyalah sambil lalu. Pengabaian ini menusuk inti hati ini.


Aku hanya berpasrah kala memandangi gawai dan membuka riwayat panggilan. Sudah dua tahun aku berpijak di ranah asing ini, tetapi sapaan basa-basi pun tidak pernah kudapatkan dari Engkau. Di tengah lorong dengan pijar jalan yang remang, tidak dapat lagi kupahami keberadaanmu kini. Aneh rasanya kala jarak malah tidak lagi terjangkau di saat memiliki gawai yang bahkan menjangkau belahan dunia yang lain. Aku hanya ingin berbicara berdua namun berjuang seorang diri. Yang tersisa hanya harapan terakhir yang tersembunyi di balik mata kaca ini sembari memandang rembulan di waktu yang amat larut.


Bukalah ponselmu sejenak. Berilah Aku kejelasan ....


_______


Penulis


Armin Karam adalah nama pena Akram Irman. Ia lulusan Hubungan Internasional di salah satu universitas di Sumatera Bara. Lahir di Jakarta, 27 November 1999. Kini tinggal di Pasie Sebelah, Kelurahan Pasie nan Tigo, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang. Kegemaran penulis terhadap karya sastra bermula dari membaca tiga karya yang masing-masing berasal dari Jepang, Turki, dan Britania Raya. Perkenalannya dengan sastra sejalan dengan ketertarikan penulis terhadap budaya dan relasi antarbangsa yang menjadi alasan penulis menempuh pendidikan tinggi hingga tahun 2023. Ketertarikan penulis tidak terbatas pada karya sastra, melainkan juga pada artikel ilmiah di mana pernah menyusun makalah ilmiah dan menjadi pembicara pada Webinar tentang Masa Depan Uni Eropa yang diselenggarakan 2021 oleh Komunitas Indonesia Kajian Eropa (KIKE). Jika ingin bertukar pikiran soal sastra atau fenomena internasional lainnya, Anda dapat menghubungi e-mail akram27111999@gmail.com.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com