Cerpen Emroni Sianturi
Dan malam ini, tempat biliar lebih ramai dari minggu-minggu sebelumnya. Di ruang yang terpisah, disekat dinding tebal adalah tempat bagi petarung yang haus akan pertaruhan. Tak hanya uang puluhan juta, hal-hal yang mewah dipertaruhkan di ruang yang akan kita kenal dengan ruang penghabisan. Tak jarang yang keluar dari sana akan bernasib mujur atau sial seperti kepala plontos yang mempertaruhkan satu miliar uangnya dengan harga diri lelaki yang akan kita kenal dengan sebutan Gamba’.
Dulu pernah terjadi, seorang lelaki, mungkin terlampau ambisi mempertaruhkan segalanya tidak terkecuali permatanya. Dan hari ini ia datang kembali, persis seperti film laga yang berhasrat tinggi untuk membalas dendam dengan cara paling tak terduga. Ia melakukannya setelah menghilang selama enam tahun. Kedatangannya ditunggu-tunggu penjudi kelas kakap di ruang rahasia itu. Rasanya pertaruhan malam ini bakal lebih gila. Mungkin melebihi kekalahan seorang lelaki yang terdesak mempertaruhkan permatanya yang entah berada di mana? Besar kemungkinan permatanya itu menjadi simpanan, atau yang lebih ngeri menjadi pemuas nafsu lelaki hidung belang.
Di sana, di ruang yang rahasia, lelaki berkepala plontos kali ini datang dengan seluruh yang ia punya. Perasaan dendam berkumpul di dada, mengalir melalui darahnya seolah membara. Semua tahu, lelaki yang mengalahkannya bakal datang seperti pada waktu biasa dan seolah-olah tepat pada pukul sembilan malam. Ia akan datang, tetapi dengan dandanan pada waktu enam tahun lalu.
Lelaki berkepala plontos itu terkejut dengan kedatangannya. Sebab, ia adalah saksi kekalahan lelaki itu bersama kawan karibnya. Seorang lelaki dengan setelan jas abu-abu, yang bila dilepaskan kemeja mewahnya, yang berwarna hitam jelas tampak mengkilap. Kemudian ia akan menarik kedua ujung baju menekuk siku. Sambil merapikan rambutnya yang klimis, ia sudah siap untuk memulai pertarungan di meja biliar. Lelaki itu masih mengingat kejadian awal pertarungannya sebelum menenggak beribu kali wine yang diolesi anestesi di permukaannya. Selalu ada yang mengganjal di setiap pertarungan, dan kali ini ia akan lebih berhati-hati membawa dendam masa silamnya.
"Kau rupanya," lelaki berkepala plontos tersenyum sinis sembari memberi isyarat dengan sedikit mengangkat kepala pada kawan karibnya bernama Sambas. Lelaki yang membawa dendam masa silam membalas ucapannya dengan satu senyuman. Sebentar sekali. Kemudian ia melangkah mendekatinya. Hampir dekat, meski jarak di antara mereka seolah tinggallah maut.
"Siapa yang akan saya lawan lebih dulu?"
Sorot mata lelaki yang mulai dikenal dengan sebutan Gamba’ seakan menunjuk satu per satu lawannya dengan tatapan mata yang tajam. Musuhnya tertawa, diikuti lelaki kepala plontos sambil menambahkan,
"Baru sekali menang, sudah jemawa!"
Mereka kembali tertawa, kecuali beberapa orang di dalam ruangan menyaksikan mereka dengan serius, meski ada pula yang terpaksa tertawa.
"Saya yang akan mengalahkanmu lebih dulu," lelaki berkepala plontos maju selangkah. Gamba’ menutup badan. Wajahnya sedikit menoleh. Sorot matanya tertuju langsung pada musuhnya. "Saya tidak akan bermain dengan orang yang sudah saya kalahkan," lelaki berkepala plontos hendak menyerang, namun ditahan oleh Sambas.
"Aku menunggumu untuk kekalahan terakhir."
Keduanya saling menatap tajam, bahkan tapapan keduanya membuat seisi ruangan jadi ikut tegang. Sementara waktu terus berjalan hingga menuai langkah keduanya untuk berjabat tangan seraya mulai mengeluarkan nilai pertaruhan.
“Segalanya?”
“Bagaimana?”
Sambas berpura memberi jeda.
"Deal?"
"Ya, deal."
Di antara meja biliar dengan sorot lampu yang cukup terang. Lima belas bola angka disusun rapi oleh perempuan muda. Sedang keduanya sama-sama menggenggam erat bola putih, meletakkannya di garis meja. Mereka bersiap menyodok untuk menentukan siapa yang akan lebih dulu memulai permainan. Saat hendak menyodok, Gamba’ tersadar pada trik awal musuhnya. Dan ia terlambat di langkah awal.
***
Biji matanya seolah tak berkedip melihat bola putih yang memantul kembali menuju garis meja, seolah sama dengan ingatannya pada enam tahun lalu. Musuhnya yang akan memulai permainan lebih dulu, kemudian ia duduk sembari meratap dan menduga-duga. Lelaki berkepala plontos datang menghampiri membawa sebotol wine dengan dua gelas sloki. Si kepala plontos berbasi kata menyodorkan sloki yang sudah terisi wine. Tak ada yang tahu, satu gelas sloki telah dioleskan anestesi di permukaannya.
Ia terus menenggak tanpa menyadari luka akan tercipta dari ketidakmampuannya menahan hasrat dan kesadarannya mulai melemah. Sampai harta untuk pertaruhannya habis, takhta yang dimilikinya seakan lepas dari kepala, dan akhirnya permatanya menjadi taruhannya.
Adegan enam tahun lalu kembali terulang, tetapi ia telah menyiapkan sebelumnya. Ia menerima permainan waktu, kedatangan si kepala plontos serta taruhan edannya. Ia akan berhati-hati untuk menuntaskan dendamnya sebagaimana dalam film laga. Ia datang sendirian dan akan berhasil membalaskan dendamnya yang terasa sia.
Hingga keesokan harinya. Matahari yang mulai beranjak naik, memamerkan keindahan sinarnya. Ramai orang-orang bergunjing tentang sesosok tubuh yang tergeletak kedinginan di area tak jauh dari tempat yang hanya dikira tempat bermain biliar saja.
Kalibuntu, 2022 – 14 Juli 2024
Catatan :
Gamba’ atau Ghambha’ dalam bahasa Madura artinya seseorang yang berambut panjang dan lebat.
______
Penulis
Emroni Sianturi kelahiran Probolinggo, Jawa Timur. Keseharian menjaga kios pulsa. Menulis puisi, cerpen, kadang esai yang tersebar di berbagai media masa. Saat ini masih aktif mengelola perpustakaan untuk masyarakat di desa Kalibuntu dan sekitarnya di @kamianakpantai. Dan buku terbarunya kumpulan cerita pendek yang berjudul Sebuah Pilihan (2022).