Friday, July 26, 2024

Cerpen Ilham Wahyudi | Telepon Misterius

Cerpen Ilham Wahyudi



“Aku tunggu di tempat biasa, dua jam sejak telepon ini kututup! Kalau kau tidak datang, kupastikan kesempatanmu hilang!” kata seseorang dari ponsel. 


Jelas itu suara perempuan. Tapi siapa dia? Mengapa memintaku datang ke tempat biasa? Tempat apa yang dia maksud dengan tempat biasa? Rasa-rasanya aku tidak pernah punya tempat biasa yang akhirnya menjadi spesial. Kalau pun ada, seingatku hanya sebuah toko buku. Tapi itu pun dulu. Belasan tahun lalu aku memang acap ke toko buku itu bersama istriku saat weekend. Maaf maksudku mantan istri. Ya, mantan istriku memang sudah lama pergi meninggalkanku dan menikah dengan orang yang ia cinta melebihi aku. 


Sungguh, itu bukan suara mantan istriku. Bagaimana mungkin aku lupa pada suara orang yang pernah sepuluh tahun hidup bersamaku. Walaupun kalau dihitung-hitung waktu setelah kami bercerai senyata lebih lama dari waktu pernikahan kami, tetap saja aku tidak mungkin lupa pada suaranya. 


Mantan istriku bersuara lembut dan sangat pelan. Sangking lembut dan pelannya, aku tak menyangka ia sampai tega minta berpisah. Sedangkan suara perempuan tadi terdengar tegas dan bernada tinggi. Sebentar! Apa mungkin hantu? Atau seseorang yang punya dendam dan ingin balas dendam saat aku bertemu dengannya. Tapi kepada siapa aku pernah melakukan kesalahan? Maaf, bukan sok merasa tidak pernah berbuat salah, hanya saja rasa-rasanya tidak mungkin aku sampai membuat seseorang mendendam. 


Tapi kalau dipikir-pikir, kenapa juga mesti serius memikirkannya? Bisa saja itu orang salah sambung, misalnya, orang iseng, atau bisa juga seorang penipu yang mencoba ingin memeras bila serius meladeninya. Bukankah modus penipuan sudah semakin canggih? Kemarin saja teman semasa kuliahku bercerita kalau dia hampir tertipu oleh telepon seseorang yang tak dikenal. Untung dia cepat sadar saat si penipu meminta transfer sejumlah uang karena ibunya tertangkap membawa narkoba. Padahal ibunya baru saja meninggal sebulan sebelumnya. Mungkin karena masih belum percaya ibunya meninggal secara tiba-tiba, dia pun sempat percaya ibunya benar-benar ditangkap polisi. Sedih memang temanku itu. Sampai saat ini saja, dia kadang sering mengira ibunya masih hidup.


Ah, lebih baik aku melanjutkan niatku yang sempat tertunda karena telepon sialan itu. Tadi aku sesungguhnya sudah berniat ingin makan mi instan. Memasak mi instan saat hujan deras seperti sekarang ini sememang sebuah kenikmatan yang sulit ditukar dengan hal apa pun. Coba bayangkan mi instan dengan campuran telur, sayur, irisan lombok, sosis, juga bawang goreng dalam sebuah mangkuk dengan uap panas yang mengepul. Aku yakin, melihat itu pastilah dingin cuaca akan tunggang langgang hilang. Apalagi bila berhasil dengan selamat memasukkannya ke dalam lambung yang sedang lapar. Oh, pernahkah kau merasa lapar ketika hujan turun sangat deras? Maka, aku pun melanjutkan misi yang sempat tertuda tadi. 


Pertama-tama setelah mi instan aku merdekakan dari bungkusnya, tanpa ragu aku tenggelamkan ke didih air. Selanjutnya giliran irisan lombok, sosis, sayur, dan telur aku kawinkan bersama mi instan. Oh, ya, jangan sampai lupa bumbu bawaan dari kemasan: itu kunci rahasia setiap mi instan. Aku memang selalu memasukkan bumbu paling akhir sebelum dituangkan ke dalam mangkuk. Kebiasan itu aku peroleh dari teman kecilku yang dulu sering mengajak makan mi instan bila aku main ke rumahnya. Percaya tidak percaya memang terasa lebih nikmat kalau bumbu dituangkan paling akhir.


Hore! Aku berhasil mendaratkan mi instan dengan selamat ke dalam mangkuk bergambar ayam jago. Tinggal bagian sepaling akhir: menuangkan bawang goreng—sebelum rasa lapar pada akhirnya melahap semua. Namun ketika bawang goreng ingin aku terjunkan, ponselku kembali berdering. 


Nomor yang sama. Sesaat pikiranku dibawa kembali pada kalimat tempat biasa. Kulihat jam, sudah 30 menit waktu berlalu sejak dia menelepon pertama. Berarti kalau aku menanggapinya, waktuku hanya tersisa 90 menit untuk tahu dan sampai ke tempat biasa yang dia maksud.


Ponsel masih berdering. Tiada kupikir panjang, kuletakkan saja di meja dan kubiarkan terus berdering. Lagi pula apa pentingnya mengangkat telepon orang yang tidak dikenal dalam kondisi perut yang senyata sudah sangat lapar. Bosan sudah berlama-lama, kutumpahkan segera bawang goreng sebagai penutup—dari rangkaian memasak mi instan—ke dalam mangkuk yang telah pula melahirkan kepul uap. 


Tanpa basa-basi lagi, langsung saja kulahap mi instan buatanku. Duh, hangat betul tenggorokan saat mi itu meluncur terjun ke dalam lambungku. Setibanya di lambung, cacing dalam perut pun segera bersuka cita. Seketika hawa dingin yang dilahirkan hujan mereda di tubuhku. Tidak sampai lima belas menit, mangkuk bergambar ayam jago berhasil kubuat kosong melompong—tanpa sehelai pun mi instan yang tersisa.

 

Sempurna sudah makan malamku hari ini. Makan malam ditemani hujan deras dan dering suara telepon orang tak dikenal. Eh, kenapa aku masih teringat dering telepon sialan itu? 


Aku ambil ponselku di meja. Sepuluh panggilan tak terjawab dan sebuah pesan masuk. Waktumu hanya tinggal satu jam. Segera ke toko buku tempat biasa kita menghabiskan weekend!


Toko buku? Tidak mungkin itu mantan istriku. Bagaimana suaranya bisa berubah drastis begitu? Kalau pun benar itu dia, kenapa mesti sok misterius segala sih? Tunggu! Apa dia malu kalau langsung berterus terang? Soalnya kan dialah yang dulu meninggalkan aku. Apa mungkin dia ingin memintaku menerimanya kembali? Tapi kenapa saat hujan deras seperti ini? Tidak bisa besok atau weekend saja biar sekalian mengulangi masa-masa indah kami dulu? 


Waktu hanya tersisa 30 menit dari yang dia katakan. Baiklah. Mengingat toko buku itu tidak begitu jauh dari rumahku dan yang meminta bertemu adalah mantan istriku (anggap saja begitu), maka kuputuskan menyusulnya. Tapi jangan kira aku menginginkan hal yang sama dengannya bila dia sememang ingin kembali. Bagiku, pantang menerima yang sudah pergi! Ini bukan semata soal harga diri, lebih dari itu, aku sungguh tidak pernah suka kembali kepada mantan.  


Toko buku itu sepertinya sudah mau tutup. Pegawai toko sudah mulai menyusun buku-buku dan mengemasi barang-barang dalam toko. Toko itu memang salah satu toko buku terbesar di kota tempatku tinggal. Bukan hanya buku, toko itu juga menjual banyak kebutuhan. Selain itu, sebuah kedai kopi juga tersedia dekat tempat parkir kendaraan. 


Pertama-tama aku masuk ke toko buku. Di lantai satu tidak kulihat mantan istriku. Kemudian aku naik ke lantai dua, tapi saat ingin naik seorang karyawan menyapaku.


”Lantai dua sudah ditutup, Pak.”


“O, berarti tidak ada siapa-siapa lagi di atas, ya?”


”Ada, Pak, karyawan kami.”


”Bukan, maksud saya pengunjung?”


”Sudah tutup, Pak!”


Aku pun langsung menuju ke parkiran; menuju kedai kopi. Mungkin dia menunggu di sana, pikirku. Di kedai kopi itu dulu kami memang sering menongkrong sehabis membeli buku, atau sekadar duduk-duduk menghabiskan waktu; minum kopi dan makan makanan ringan seperti kentang goreng atau risoles.


Tidak ada siapa-siapa di kedai kopi itu selain seorang wanita muda yang tak aku kenal duduk sendiri. Apa aku dikerjai mantan istriku? Sial!


Seseorang yang tidak aku kenal mendekat. Ya, wanita muda yang duduk sendiri tadi. Oh, mungkin mantan istriku menitipkan pesan kepadanya dan mungkin juga dialah yang meneleponku tadi. Itu sebab suaranya tidak aku kenal.


”Syukurlah kau tidak terlambat. Lima menit lagi kau tidak muncul aku pasti akan pergi.”


”Maaf, tapi Anda siapa?”


Dia tertawa. 


”Wajar kau tidak mengenalku. Tapi tidakkah kedai kopi ini mengingatkan kau pada seseorang?”


”Ya, tapi bukan Anda. Sebentar, apa Anda yang menelepon dan mengirim pesan tadi?”


”Benar. Apa suaraku berbeda?”


”Ok, tidak usah bertele-tele! Sekarang katakan apa mau Anda? Saya tidak mengenal Anda. Tolong jangan membuat waktu saya terbuang percuma! Apa Anda suka saya terlihat bodoh dengan semua ini?”


Dia kembali tertawa. Dan tawanya mirip hantu kurasakan.


”Kamu tidak berubah, Mahli. Aku pikir sampai kapan pun kau tidak akan pernah berubah. Kalau begitu, apakah perasaanmu padaku masih sama, Mahli?”


Aku kaget dia begitu fasih menyebut namaku. Tapi perasaan macam apa yang dia maksud? Melihatnya saja aku baru kali ini. Duh, siapa sebenarnya wanita ini. Boleh tidak ini segera berakhir? Macam mimpi buruk saja aku merasakannya.


”Nona, Anda sungguh membuang-buang waktu. Maaf saya harus pergi!”


”Tunggu, Mahli! Aku ingin cerita sesuatu. Mohon dengarkan sebentar saja!”


Aduh, apalagi sih? Baiklah, bersebab sudah di tempat ini, aku dengarkan saja bualannya. 


”Ok, tapi setelahnya aku pergi.” 


”Terserah.” 


Dia kemudian membakar rokok. Gayanya membakar rokok mirip sekali dengan mantan istriku. Tapi, bukankah hal semacam itu sering terjadi. Di dunia ini pastilah banyak gaya seseorang yang mirip saat merokok. Seperti aku saja, yang kata temanku mirip Chairil Anwar kalau merokok. 


Dia kemudian mulai bercerita.


”Sebulan yang lalu aku mengalami kecelakan. Lebih tepatnya percobaan bunuh diri. Aku melompat dari lantai dua rumahku. Itu aku lakukan karena tak tahan dengan perlakuan suamiku. Aku segera dibawa ke rumah sakit dalam keadaan koma. Saat tersadar dari koma, aku sudah seperti ini. Maksudku entah bagaimana aku terperangkap dalam tubuh wanita ini.”


Kepalaku mendadak terasa sangat pusing mendengar cerita wanita itu. Kucoba meyakinkan diri kalau ini pastilah mimpi. Sungguh hanya mimpi.


Kriiing!


Dering ponsel membangunkan aku. Sebuah panggilan dari nomor yang tidak aku kenal masuk. 


”Halo?”


“Sayang, maafkan aku. Tapi aku mohon tolonglah aku, sayang! Kalau kau tidak segera datang, nyawaku akan terancam! Ampun... ampun Rio...,” telepon terputus. 


Siapa dia, kenapa meminta tolong padaku? Apa mungkin dia mantan istriku? Tapi itu bukan suara mantan istriku. Sama sekali bukan! Mana mungkin aku lupa pada suara mantan istriku. Lagi pula sudah lebih 15 tahun dia meninggalkanku. Itu waktu yang terlalu lama untuk tahu bahwa lelaki yang kini hidup bersamanya adalah bajingan. 


Ah, sudahlah! Bisa saja semua ini hanya mimpi, bukan?


                                                                              Akasia, 2024


________


Penulis


Ilham Wahyudi, lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia salah seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur. Selain menjadi seorang Fundraiser di Adhigana Fundraising, ia juga dikenal sebagai tukang mabuk. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan banyak yang ditolak redaksi. Buku kumpulan cerpennya Kalimance Ingin Jadi Penyair tidak akan diterbitkan.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com