Friday, August 30, 2024

Cerpen Erna Wiyono | Mathilda Perempuan Panggung

Cerpen Erna Wiyono



“Rambutnya pantas dibakar api. Ia penganut mantra jaran goyang. Sudah berapa pria ia tarik dalam pusarannya. Lalu, perlahan pria itu mati meranggas seperti ranting kering yang mengabu.”


Mathilda tidak sendirian menyandang status itu. Dia ditemani sepasang buah hatinya. Mathilda memainkan peran sempurna, wanita kuat yang menyangga diri dan kedua belahan jiwanya.


Namun, saat tak ada orang yang melihatnya, Mathilda tertawa riang seorang diri.


“Mereka aku tipu dengan watak-watak yang kuciptakan. Bumi ini layaknya sendratari. Jadi, kupuaskan untuk bermain dan melakukan apa pun yang kusuka bahwa setiap lelaki bisa kutaklukkan.”


Berapa puluh rumah tangga yang hancur oleh pesonanya. Bukan kecantikan natural, namun pemikat jaran goyang dia embuskan pada nama-nama pria yang dia coba rasakan. Tak lain Mathilda hanya butuh jiwa-jiwa pria yang sudah bercinta dengannya.


Mathilda, sosok yang misterius dan penuh intrik, terus menggelar drama kehidupannya di panggung yang tak pernah sepi. Di balik senyumnya yang manis, tersembunyi rahasia-rahasia yang hanya dia sendiri yang tahu.


Di balik tirai panggung, Mathilda menjalani kehidupan ganda yang rumit. Sebagai perempuan panggung yang cerdas, dia tidak hanya membagikan ilmu seni hingga petang, tetapi juga melatih para remaja dalam seni peran. Namun, di balik kecerdasan dan keahliannya, terdapat kesedihan yang dalam.


Mathilda, dengan segala misteri yang disematkan dalam ruang kosongnya, seolah memuja kesepian sebagai teman setianya.


Dia merasa sebagai korban permainan suaminya, dan hanya dia yang tahu betapa sulitnya menjalani kehidupan di balik tirai yang seolah-olah sempurna.


Status berpisah yang dia tulis, menjadi kata pertama yang mencerminkan kehidupan pribadinya.


Di media sosial, Mathilda terlihat berubah-ubah, dari cadar hingga bikini, dari santai hingga serius, dan dari misterius hingga menggoda.


Pria-pria terpesona pada pesonanya, terjebak dalam permainan yang dia ciptakan.


Namun, di tengah semua itu, Mathilda tidak sendirian. Dia memiliki sepasang buah hati yang menjadi sumber kekuatannya.


Wanita kuat yang menopang dirinya dan kedua belahan jiwanya, namun hanya dirinya yang tahu betapa sebenarnya dia tertawa riang seorang diri.


Di balik semua peran, Mathilda merasa puas. Baginya, dunia ini layaknya sebuah skenario yang dimainkan dengan penuh semangat.


Dia menikmati setiap momen dan melakukan apa pun yang dia inginkan, merasa bahwa setiap lelaki bisa ditaklukkan.


Di balik senyumnya yang manis, terdapat kehidupan yang rumit dan penuh warna. Mathilda, perempuan panggung yang penuh misteri, terus melanjutkan drama kehidupannya dengan segala intrik dan pesonanya yang memikat.


Mathilda selalu merasa haus akan perhatian dan kehadiran lelaki di sekitarnya.


Salah satu pria yang dia dekati adalah seorang bernama Rambu Kalia. Meskipun sudah dia rayu dan hampiri berkali-kali, Rambu Kalia tidak sepenuhnya merespons dengan serius dalam percakapan mereka.


Dia menyadari bahwa Mathilda adalah wanita yang licik dan penuh tipu daya di balik pesonanya yang menawan.


Mathilda, dengan segala daya tariknya, sering kali berhasil menarik perhatian pria-pria di sekitarnya. Namun, Rambu Kalia memiliki intuisi yang tajam dan mampu melihat melampaui topeng yang Mathilda coba tampilkan.


Dia menyadari bahwa di balik senyum manis dan pesona yang memikat, Mathilda sebenarnya adalah seorang wanita yang licik dan penuh tipu daya.


Meskipun Mathilda terus berusaha merayu Rambu Kalia, namun pria itu tetap waspada dan tidak terpancing dengan rayuan-rayu yang dia lontarkan.


Rambu Kalia tahu betul akan sifat ular yang sejati dalam diri Mathilda, dan dia tidak ingin terjebak dalam permainan yang bisa merugikan dirinya.


Dengan kecerdasan dan kepekaannya, Rambu Kalia mampu menjaga jarak dan tidak terbawa arus pesona Mathilda.


Dia menyadari bahwa di balik keindahan yang terlihat, terkadang terselip bahaya yang mengintai.


Dan dengan itulah, Rambu Kalia memilih untuk tetap waspada dan tidak terjebak dalam permainan yang Mathilda coba mainkan.


Mathilda merasa terpukul mundur oleh keteguhan Rambu Kalia dalam menolak pesonanya.


Selubung cahaya leluhur yang memagari pria itu tampaknya tidak dapat ditembus oleh segala upaya licik dan rayuan yang telah dilancarkan Mathilda.


Dalam keheningan malam yang menyelimuti panggung kehidupan mereka, Mathilda merenungkan kegagalan dan kekecewaannya.


Dia merasa terjebak dalam permainan yang sulit untuk dimenangkan, terperangkap dalam pertarungan antara kecerdasan dan kehati-hatian.


Namun, di balik ketidakberhasilannya merayu Rambu Kalia, Mathilda tetap memendam keinginan untuk bisa memenangkan hati pria itu.


Dia merasa tertantang oleh keteguhan dan kebijakan yang ditunjukkan oleh Rambu Kalia.


“Rambu Kalia, mengapa kau begitu keras kepala? Apakah tidak ada ruang bagi kita untuk saling mengenal dan memahami?”


“Mathilda, pesonamu mungkin memikat, namun aku tidak ingin terjebak dalam ilusi yang kau ciptakan.


Selubung cahaya leluhur ini melindungiku dari tipu daya dan intrik yang kau tampilkan.”


“Aku merasa terpukul mundur, Rambu Kalia. Namun, aku tidak akan menyerah begitu saja.”


Mathilda merasa terpukul mundur oleh keteguhan Rambu Kalia dalam menolak pesonanya.


Selubung cahaya leluhur yang memagari pria itu tampaknya tidak dapat ditembus oleh segala upaya licik dan rayuan yang telah dilancarkan Mathilda.


Dia merasa terjebak dalam permainan yang sulit untuk dimenangkan, terperangkap dalam pertarungan antara kecerdasan dan kehati-hatian.


Namun, di balik ketidakberhasilannya merayu Rambu Kalia, Mathilda tetap memendam keinginan untuk bisa memenangkan hati pria itu. Dia merasa tertantang oleh keteguhan dan kebijakan yang ditunjukkan oleh Rambu Kalia.


Dalam upayanya yang semakin memaksakan diri untuk mendekati Rambu Kalia, Mathilda merasakan semakin terkikisnya energinya.


Setiap langkah yang diambilnya terasa begitu berat, dan kekuatan pesonanya yang dulu begitu memikat mulai memudar.


Saat dia terpelanting, Mathilda merasakan perubahan yang mendadak. Wajahnya yang sebelumnya dipenuhi pesona dan keanggunan tiba-tiba kembali ke wajah yang sesuai dengan usianya.


Mata hitamnya yang dulunya penuh dengan daya tarik kini terlihat lelah, kerutan di wajahnya menjadi saksi dari perjalanan hidup yang panjang.


Kecantikan yang dulu begitu memikat kini tandas oleh ilmu dan pengalaman yang dia miliki.


Mathilda merasakan kekecewaan dan kekesalan yang mendalam ketika satu per satu rayuannya ditolak oleh Rambu Kalia.


Dia mulai menyadari bahwa tarik ulur yang terjadi antara mereka bukanlah sekadar kebetulan, melainkan strategi yang disengaja dari Rambu Kalia.


Dalam kebingungan dan kekecewaannya, Mathilda merenung tentang alasan di balik tindakan Rambu Kalia. Apakah itu hanya sekadar permainan atau ada motif lain yang lebih dalam dibalik sikapnya yang terus berubah-ubah.


Dengan hati yang terluka dan kepercayaan yang terguncang, Mathilda mulai memahami bahwa permainan tarik ulur ini bukanlah sekadar permainan cinta biasa. Ada sesuatu yang lebih kompleks dan dalam di balik sikap Rambu Kalia yang sulit dipahami.


Rambu Kalia merasa tidak rela melihat pencapaian karier yang telah dia bangun dengan susah payah hancur begitu saja oleh mantra jaran goyang yang ditebarkan Mathilda padanya.


Dia menyadari bahwa pesona dan tipu daya yang dilancarkan Mathilda dapat mengancam segala yang telah dia raih dalam kariernya.


Dalam keputusasaan dan kegelisahan, Rambu Kalia merenung tentang bagaimana dia dapat melindungi diri dari pengaruh negatif yang dibawa oleh Mathilda.


Dia menyadari bahwa keberhasilan dan reputasi yang telah dia bina selama ini tidak boleh hancur karena rayuan yang dipenuhi tipu daya.


Dengan tekad yang kuat, Rambu Kalia berusaha menjaga jarak dan tidak terbawa arus pesona yang memikat, namun berbahaya dari Mathilda.


Dia memahami bahwa keberhasilan kariernya tidak boleh dikorbankan atas godaan yang hanya sekadar ilusi.


Dalam pertarungan antara ambisi dan godaan, Rambu Kalia harus menemukan kekuatan dan keteguhan untuk tidak terpengaruh oleh mantra jaran goyang yang ditebarkan Mathilda.


Perjanjian mantra jaran goyang membuat Mathilda terdiam, menyadari bahwa tidak selamanya dia bisa merayu dan memikat lawan jenis dengan cara yang tidak lazim.


Kesakitan yang dia rasakan akibat dari mantra tersebut menjadi pengingat bahwa tindakan tidak etis tidak akan pernah membawa kebahagiaan atau keberhasilan jangka panjang.


Dalam perjalanan panjangnya, Mathilda menyadari bahwa nasi telah menjadi bubur. Tahun demi tahun, dia menikmati peran ganda yang dimainkannya di depan publik. Namun, ketika ilmu dan kecerdasannya mulai meredup, Mathilda tidak lagi bersinar seperti sebelumnya.


Kegelapan menjadi kawannya, menyelimuti dirinya dengan kesunyian dan ketidakpastian. Mathilda merasakan kesepian yang mendalam, saat pesona dan keanggunannya mulai memudar.


Dalam keputusasaan dan kebingungan, Mathilda memilih untuk membohongi relasi, kawan dekatnya, dan para teman bahwa suaminya menyakitinya dengan berselingkuh dan berbagai tuduhan lainnya.


Namun, pada kenyataannya, Mathilda yang menjadi pemain utama dalam drama kehidupannya.


Dalam tulisannya, dia mengurai kesedihan dan menyajikan keelokan parasnya untuk menggiring simpati dari lawan jenis.


Namun, takdir berkata lain. Mathilda, perempuan panggung yang selalu memainkan peran dengan begitu lihai, meranggas di waktu yang tak pernah dia prediksi.


Hukum langit menghentikan sepak terjangnya, membuka tabir dari semua tipu daya dan kebohongannya.


Malam itu, di tengah kegelapan yang menyelimuti ruangannya, Mathilda merasa gelisah.


Sekujur tubuhnya terasa gatal dan panas, sensasi yang mengganggu ketenangan batinnya. Di luar sana, bulan purnama bersinar terang, namun anehnya hujan turun dengan lebat.


“Apa yang terjadi padaku? Mengapa tubuhku terasa gatal dan panas seperti ini?”


“Aku merasa takut dan terempas oleh keadaan ini. Apakah ini pertanda dari akhir dari segalanya?”


Kapal bahtera rumah tangga yang sudah dikacaukan oleh rayuan Mathilda sudah tidak terhitung jumlahnya.


Suami-suami orang yang dirayu, lalu ibarat barang bekas, setelah selesai dibuangnya, berganti target lain, begitu seterusnya.


Mathilda menyisir rambut panjangnya dengan gerakan lembut, seakan ia mencoba melupakan beberapa hari malam yang dilaluinya dengan kesakitan dan kegelisahan.


Dia mengenakan blazer nuansa hitam dengan penuh kepercayaan diri, pagi ini siap untuk memberikan ilmu dan inspirasi kepada para muridnya.


Di pertigaan tikungan, Mathilda merasa kegelapan mulai menghampiri sepasang matanya, seolah ada banyak kabut yang menghalangi pandangannya.


Cahaya lampu jalan yang redup dan kabut yang menyelimuti sekitar pertigaan membuatnya merasa terbatas dalam melihat arah yang benar.


Dalam kegelapan dan kabut yang menyelimuti, Mathilda merasakan ketidakpastian dan kecemasan yang mendalam.


Seketika klakson terus menyala, orang-orang mengelilingi tempat kejadian, layar retak itu berbunyi bip dua kali.


“Mantra jaran goyang sudah di-upgrade, mohon lunasi tagihanmu.”


Jakarta, 30 Juni 2024


________

Penulis 


Erna Wiyono adalah seorang seniman visual, penulis, jurnalis, desainer program kreatif, dan penari tradisional. Karya puisinya diterbitkan dalam antologi bersama dan dua buku puisi tunggal: Tea Without Sugar dan Stasiun Rupa Aksara. Erna aktif dalam pertunjukan panggung membacakan puisi, termasuk Women Poetry Slam 2017 & 2018 di Ubud Writers & Readers Festival. Tulisannya dimuat di berbagai media online dan cetak. Dia juga aktif melukis dan berpartisipasi dalam pameran seni, termasuk “Postcards From Indonesia Series 1” di Swiss.

Erna bisa ditemui di IG : @na_wiyono 



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com