Cerpen Muhammad Faisal Akbar
Jena dan Rosado adalah pasangan baru. Dua bulan sebelumnya, mereka melaksanakan pernikahan di sebuah kapel kecil yang ada di pinggiran kota. Kapel itu, yang berlokasi di atas sebuah bukit dengan pemandangan laut lepas, merupakan satu-satunya tempat ibadah di Kota Langsam yang diperuntukkan bagi agama mereka. Sejak lama, bangunan persegi itu memang hanya boleh digunakan untuk acara pernikahan, sementara peribadatan lainnya hanya bisa digelar di rumah masing-masing.
Maka Jena, Rosado, beserta seluruh keluarganya menyelenggarakan pernikahan seadanya sambil diam-diam melakukan perayaan Natal yang kebetulan jatuh di hari yang sama. Hal ini tak begitu memusingkan karena selama ini pun seluruh sanak saudara Jena dan Rosado selalu memilih satu di antara dua tanggal yang bertepatan dengan hari Paskah atau Natal agar bisa beribadah secara sembunyi-sembunyi tanpa menimbulkan kegaduhan yang tak perlu.
Kota Langsam merupakan sebuah daerah kecil yang dihidupi ribuan mitos sepanjang hayatnya. Salah satu yang terkenal ialah bahwa siapa pun yang menggelar pesta pernikahan dengan anggota keluarga inti yang tak lengkap, maka pasangan tersebut akan ditimpa kesialan di awal masa pernikahan. Musibah yang biasa diterima pasangan-pasangan baru ini cukup beragam, dari susah hamil, keadaan batin yang tak stabil, hingga kondisi finansial yang porak-poranda. Dan petaka terakhirlah yang mesti diemban Jena dan Rosado.
Ayah Jena, Damler, terbukti bersalah di pengadilan atas kasus penggelapan mobil, dua hari sebelum acara pernikahan dilangsungkan. Damler pun divonis empat tahun penjara. Mengingat mitos terkait perkawinan yang tumbuh subur di Kota Langsam, Jena dan Rosado pun lekas-lekas menguras tabungan senilai puluhan juta untuk menebus si Damler tua supaya bisa datang di pesta pernikahan mereka tepat pada waktunya.
Namun, betapa pun kerasnya usaha dan banyaknya uang yang telah digelontorkan, Damler baru dapat menghirup udara segar delapan hari setelah acara selesai dan menjadi satu-satunya anggota keluarga inti yang absen. Dalam imajinasinya yang paling liar, tak pernah terbayangkan oleh Jena bahwa Damler tak hadir menggandeng tangannya menuju altar. Dan mitos tersohor asal Kota Langsam itu pun mulai menggerogoti Jena dan Rosado.
***
Di suatu malam, Rosado membelai rambut Jena dari belakang. Sudah dua bulan berlalu, namun laki-laki jangkung itu belum juga meniduri istrinya. Ia belum menyentuh tubuh kekasihnya itu barang sejengkal pun. Jena, yang pura-pura tidur sambil memejamkan mata, hanya mendengus pelan.
“Jena, maafkan aku,” kata Rosado, seperti malam-malam sebelumnya.
“Maaf kenapa?”
“Atas keputusanku untuk tidak menidurimu.”
“Simpan bualanmu itu,” balas Jena yang berusaha menyingkirkan jemari Rosado, “adakah yang salah denganku?”
“Tidak ada. Kamu masih sempurna, sama seperti saat pertama kali aku melihatmu di sudut Toko Buku Bahana.”
Enam tahun silam, Jena dan Rosado bertemu di Toko Buku Bahana, sebuah toko buku bekas yang terletak di pusat Kota Langsam. Di antara buku yang berjejal, Rosado mengajak Jena untuk berkenalan. Lelaki itu masih mengingat momen itu dengan jelas, ketika Jena tengah menggamit Nadira karya Leila dari sebuah rak.
Sejak saat itu pula, mereka secara rutin berjumpa di Toko Buku Bahana lalu menjalin hubungan cinta kasih dengan berlandaskan komitmen. Dalam benaknya, terlintas kalimat Jena yang kerap tersembur dari kerongkongannya saat masa-masa perkenalan itu, “Ros, kamu harus baca buku Nadira ini!”
“Sudah kubilang, aku masih ada bacaan lain.”
“Percayalah, buku ini amat menawan,” ujar Jena penuh semangat, “bisa jadi inspirasi untuk cerpenmu di kemudian hari.”
“Jujur saja, Jen. Aku mulai tak yakin dengan impianku itu.”
“Tenang saja, Sayang. Aku selalu percaya bahwa suatu saat nanti kamu mampu menjadi penulis besar dan hidup dari karyamu.”
Rosado mengakhiri memorinya itu. Selama dua bulan belakangan, Jena dan Rosado masih mencoba menikmati musibah yang melanda. Sesukar apa pun rintangan yang dihadapi, seperti janji suci yang mereka lafalkan di altar, Jena dan Rosado harus saling menguatkan. Mereka mesti merintis semuanya dari titik nol. Segenap kepahitan harus buru-buru ditelan agar roda kehidupan tak berhenti berputar lalu hancur berkeping-keping.
“Ros, sejujurnya aku belum bisa menerima alasanmu,” suara Jena menyambar telinga Rosado, memecah kesunyian kamar pasangan muda tersebut.
“Kenapa? Bukankah alasanku sudah jelas?” lanjut Rosado, “aku akan menidurimu ketika aku telah mampu menafkahimu. Karena setidaknya, aku tahu diri.”
“Padahal aku sama sekali tidak keberatan bila kita melakukannya sebelum kamu bisa memberiku nafkah.”
Sudah dua bulan lamanya setelah terakhir kali Rosado bekerja, atau tepatnya tiga hari sebelum tanggal pernikahan. Sebelumnya, Rosado dipecat secara sepihak oleh sebuah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang kosmetik, tempat ia mengabdi selama lima tahun. Kontraknya sebagai staf pengemasan diputus lantaran kinerjanya dinilai menurun dan tak lagi menguntungkan perusahaan. Ditambah seluruh tabungan yang lenyap, ia tentu tak bisa menafkahi istrinya sepeser pun.
Jena sadar, suaminya tak pernah sungguh-sungguh mencintai pekerjaannya itu. Selama bekerja, Rosado memiliki segunung tuntutan kerja dengan gaji yang rendah, seperti yang sering terjadi di banyak tempat. Tatkala kariernya dianggap sudah tamat, ia lantas diminta untuk mengundurkan diri dan jangan harap menerima pesangon. Namun demikian, Jena tetap saja menyayanginya. Dengan tulus Jena mendampingi suaminya yang sedang terpuruk sambil bekerja di sebuah bank lokal demi membantu perekonomian rumah tangga.
“Apa tidak ada yang bisa membuatmu berubah pikiran?” sambung Jena dengan nada yang dinaikkan, “ini adalah fase di mana semua pasangan baru sedang panas-panasnya di ranjang.”
“Syaratku tidak dapat diganggu gugat lagi,” tegas Rosado, “sekali ini tercapai, aku akan menyetubuhimu semalam suntuk. I swear to God.”
Begitulah Rosado, gemar menetapkan syarat untuk diri sendiri. Suka memperburuk situasi yang sudah kadung kacau balau. Dan inilah yang membuat Jena berulang kali gelisah sebelum terlelap. Dalam lamunannya, ia kerap mempertanyakan tabiat makhluk bernama laki-laki yang doyan menimbun masalah yang tak penting.
“Pegang sumpahku ini. Ketika aku bisa menghasilkan uang dari tulisanku, saat karyaku masuk surat kabar kelak, aku akan langsung menggaulimu.”
“Kenapa harus begitu?”
“Karena itu adalah langkah awal dalam menggapai cita-citaku.”
Usai kata-kata itu menguap, Jena memejamkan matanya dan terbang ke sudut Toko Buku Bahana, tempatnya dan Rosado dulu bersua. Jena mengenang sikapnya yang senantiasa menyemangati Rosado untuk menjadi seorang penulis. Dahulu, ia acapkali menegaskan bahwa dirinya tak ingin Rosado berakhir seperti ayah Nadira Suwandi, Bram Suwandi, si tokoh fiksi karangan Leila yang menjadi pemurung di sisa umur setelah cita-citanya larut.
Namun demikian, andaikan seluruh ucapan dan sikapnya itu bisa ditarik, Jena pasti akan melakukannya dengan senang hati. Seiring dengan bergulirnya waktu, ia tahu bahwa kebanyakan penulis akan berakhir di kubang kemiskinan. Jena pun mengerti, penulis zaman kini tak ubahnya kameo yang durasi kemunculannya singkat dan peran yang dimainkannya tak krusial. Belum lagi perkara pembajakan buku yang tak kunjung surut. Baginya, menulis hanya mempersempit penghidupan belaka.
“Jadi…,” sambut Jena seraya mendesah pelan, “apa tema cerpen yang akan kamu tulis untuk surat kabar sialan itu?”
“Kisah kita berdua.”
***
Ini merupakan hari ke sekian sejak Jena terakhir kali membaca surat kabar edisi Minggu. Setiap pagi di akhir pekan, Jena kerap menyelisik bermacam surat kabar yang menggunung di atas meja makan. Ia tahu, pagi-pagi sekali Rosado pergi ke agen koran yang berada tak jauh dari kediaman mereka untuk membeli dan mengecek apakah cerpen suaminya itu berhasil dimuat atau tidak. Tapi, setelah naskah ditolak berkali-kali, Jena memutuskan untuk mendiamkannya.
Namun kali ini, Jena tergugah untuk membaca koran edisi teranyar yang tergeletak di tumpukan teratas. Ia segera melompat ke halaman ke-7, mendarat di rubrik Budaya yang berisi sebuah cerpen dan beberapa puisi. Di pojok kiri halaman, tampak foto dan nama sang penulis yang dapat Jena identifikasi dengan gamblang. Ia menyunggingkan senyum. Kemudian, matanya sontak menjurus ke paragraf pembuka cerpen berjudul “Pasangan Baru”.
Cerpen tersebut menceritakan tentang sepasang pengantin baru yang belum pernah bercumbu selama berbulan-bulan. Si suami selalu saja berkelit setiap kali si istri memaksa untuk bersetubuh demi kelancaran komunikasi, kepuasan, dan sebagainya. Namun, lantaran sudah tak sabar, si istri akhirnya main serong. Ketika mengetahui perilaku menyimpang itu, si suami dengan sadisnya membunuh si istri tanpa secuil pun keraguan.
Tak lama usai bacaannya rampung, perempuan berpipi tirus itu menelan ludah. Jena hanya terpaku pada koran di genggamannya, menyisakan mulutnya yang setengah terbuka dan emosi yang bergejolak hebat. Ia melayangkan pandang ke arah samping, di mana ada sosok Rosado yang sedari tadi mematung seperti boneka kain perca.
“Kenapa kamu berbohong padaku?” tanya Jena.
“Bohong apa?”
“Katamu, ini adalah cerpen soal kisah kita berdua.”
“Betul, begitulah adanya.”
“Lalu, kenapa di sini aku selingkuh?” sergah Jena, sorot matanya berubah tajam, “dengar baik-baik, aku tidak pernah selingkuh.”
Suasana ruang tengah mendadak sepi. Rosado, yang tengah mencengkeram cangkir kopi hitamnya, masih membisu. Kendatipun demikian, raut mukanya tetap teduh tanpa tekanan. Ia telah memperkirakan reaksi Jena sejak dirinya mengetik huruf pertama dalam naskah cerpen tersebut.
“Ros, ini masalah besar, jangan main-main. Ayolah, apa artinya semua ini?” Jena mulai mencerocos, “kamu berani menuduhku lewat cerpen picisan ini? Kenapa tidak langsung ngomong saja?”
“Makna sebuah karya ada di tangan pembaca, tak perlu dijelaskan,” jawab Rosado dingin, “ketika teks terlahir, maka pengarang itu telah mati dan digantikan oleh pembaca yang bebas menafsirkannya. Kita sepakat akan hal itu.”
Jena menatap Rosado untuk beberapa detik. Rahangnya bergetar. Tangannya mengepal hendak menampar suaminya itu. Jena hilang akal. Dalam batinnya, ia memekik kencang-kencang bahwa dirinya tak pernah selingkuh dengan lelaki mana pun. Ia masih bersih seperti sediakala. Bersamaan dengan itu pula, air matanya meleleh.
“Masih diam saja? Kamu mau menghancurkan hubungan ini?” tutur Jena lagi, “aku tahu, kamu masih belum terima dengan tingkah Damler—si bedebah itu—yang menghabiskan seluruh tabungan kita. Tapi di sisi lain, aku pun belum paham dengan polahmu yang ogah meniduriku. Dua bulan, Ros! Atau jangan-jangan, kamu punya selingkuhan di luar sana?”
Rosado menghela napas. Ia menyesap kopinya dalam-dalam. Menantu Damler itu akhirnya mengalah. Rosado berusaha menata kalimat untuk menerangkan maksud dari cerpennya itu kepada sang pujaan.
“Apa kamu lupa bahwa tempo hari, kamu sangat yakin kalau aku bisa jadi seorang penulis?” kata Rosado.
“Aku tidak lupa.”
“Lantas, kenapa sekarang kamu malah mengingkari perasaanmu itu sendiri?” Rosado meninggikan aksennya, “bukankah itu esensi dari perselingkuhan?”
Jena termangu, bersusah payah meresapi kata demi kata yang mengalir deras ke daun telinganya yang tertutup rambut. Tatapannya nanar seolah-olah baru saja ada yang memukul tengkuknya.
“Banyak orang berpikir bahwa perselingkuhan hanya bertumpu pada raga semata, tanpa sedikit pun memperhatikan apa-apa yang ada di dalam raga itu sendiri,” bibir Rosado komat-kamit, “mereka justru mengabaikan hal-hal yang mereka percayai selama ini dan memilih untuk mengkhianatinya, menikamnya dari belakang.”
Jena masih membatu, air matanya perlahan mengering. Tapi, koran yang dipegangnya telah terlanjur basah, meninggalkan tinta cetak yang mengabur. Dipandangnya pohon kersen yang bergoyang halus di luar jendela. Jena mafhum, sebagai pasangan baru, terlampau banyak hal mendasar yang urung terungkap, masih terkubur di sela-sela perjalanan mereka.
Perempuan berpipi tirus itu bisa merasakan pelukan Rosado yang hangat di sekujur tubuhnya. Dari sini Jena kembali mengumpulkan dan memupuk kepercayaannya pada sang kekasih yang sempat luruh, meskipun dunia menghantam mereka dari segala penjuru. Tanpa ia sadari, Rosado telah membunuh dirinya—dirinya yang ingkar—persis sebagaimana yang terlukis dalam cerpen.
Bumi Serpong Damai, 2 Agustus 2024
______
Penulis
Muhammad Faisal Akbar, lahir di Jakarta, 1996. Ia merupakan seorang lulusan Hubungan Internasional yang memilih tersesat dalam belantika sastra. Puluhan karya fiksi dan nonfiksinya telah dimuat di sejumlah media daring. Di sela-sela kesibukan, ia tengah merintis Instagram @bukuakhirpekan.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com