Cerpen Muhammad Ilfan Zulfani
Seperti biasa, setelah melihat mobilku dari jauh, si bungsu berlari-lari kecil. Lazimnya aku akan memandangnya terus sampai ia tiba di pintu mobil. Tapi, hari ini tidak. Aku malah memperhatikan seorang pria seumuranku yang tiba di gerbang sekolah itu, juga menjemput anaknya. Sepertinya aku kenal orang itu, tapi di mana dan ia siapa?
Si bungsu masuk lalu duduk di jok depan di sampingku. Kupencet tombol pembuka jendela. “Kamu kenal dia, Nak?” tanyaku sambil menunjuk seorang anak perempuan berbando yang tangannya dipegang pria setengah baya yang-sepertinya-aku-kenal itu.
“Yang pakai bando pink itu?”
“Iya.”
“Itu kan si Leila! Aku sering pinjam krayonnya!”
Heh, malu-maluin banget segala minjam! Memangnya aku, bapaknya, tidak bisa membelikan? Tapi, perhatianku sekarang bukan ini.
“Kamu tahu siapa nama bapaknya?”
“Nggak tau, Pah! Ngapain juga aku tahu nama bapaknya? Aneh banget pertanyaan Papah.”
Sepanjang jalan itu aku diam saja, sementara si bungsu sibuk mencoret-coret buku gambarnya. Kulihat ada satu-dua krayon di atas buku gambar itu. Apakah itu krayon punya si Leila? Kenapa tidak dikembalikan? Ah, aku malas memikirkannya. Sekarang yang kurenungkan adalah, pertama, siapa orang yang rada-radanya aku kenal itu? Kedua, seingatku, ketika aku masih berusia seperti si bungsu, aku tahu hampir setiap nama bapak teman-temanku di kelas.
Kenapa pula anak sekarang ini, apakah sekali lagi ini tanda semakin retaknya hubungan-hubungan sosial di zaman modern?
Ingatanku ketika masa-masa sekolah dasar nampaknya sudah lebih pulih ketika kusadari persoalan “nama bapak” di kala itu. Ternyata ini bukan soal kerekatan sosial belaka.
Perjalanan ini membutuhkan waktu dua puluh menit lagi termasuk macet. Kukira itu cukup untuk menceritakan padamu tentang saat-saat itu.
***
Sudah selama empat tahun, Erik bisa menyembunyikan nama bapaknya dari incaran kami. Saat pembagian rapor, ia akan duduk paling depan menunggu wali kelas masuk membawa tumpukan buku-buku berisi nilai itu. Sekali waktu, ia bahkan berinisiatif ke ruang guru dan berpura-pura berbaik hati membantu wali kelas mengangkut rapor-rapor itu. Ia tak memberi kami celah sedikit pun untuk mengetahui nama bapaknya.
Apalagi nama di rapor membeberkan bulat-bulat nama orang tua. Jika nama panggilan bapak saja sudah cukup untuk menjadi bahan olok-olok, lebih-lebih nama lengkap. Walaupun untuk masalah kepraktisan, nama panggilan tetap yang paling simpel untuk dilontarkan.
Kami berhasrat sekali membongkar siapa nama bapaknya Erik. Bukan hanya karena kami suka saling mengejek, tapi karena Erik selama ini bisa petantang-petenteng mengatai-ngatai kami tanpa bisa kami balas. Ibarat dilempari balon air, tapi kami pasrah saja badan kami basah, sementara ia tertawa-tawa dengan badan yang kering.
Maka ketika Rendy bilang ke kami kalau dia tahu nama bapaknya Erik, kami semua memberondongnya. Tapi, ia bergeming saja sambil tersenyum-senyum licik. Licik karena akhirnya ia sajalah yang tak diolok-olok Erik. Rupanya ia mencapai kesepakatan dengan Erik untuk tidak mengejek nama bapak Rendy lagi kecuali Erik ingin nama bapaknya disebar.
“Woi, Evan bin Syamsuri!”
“Bangsat!” ujarku spontan. Rupanya si Erik. Ia meluncur menggunakan sepedanya sambil memberikan senyum paling menjengkelkan di antara banyak senyumnya di bulan itu.
Di depan sekolah, Andri sedang membeli pentol bakso. Erik merapat ke sampingnya dan dengan lantang mengumpat, “Iwaaan!”
“Bungul!” Andri memaki. Erik mengayuh sepeda lagi, masih cengar-cengir.
Mengapa mengejek nama Bapak terasa amat menyenangkan dan diejek nama Bapak terasa
menjengkelkan, inilah yang mau ku-review lagi. Nama bapakku, Syamsuri. Mereka hanya menyebut nama bapakku tanpa gelar atau tambahan lucu saja sudah cukup untuk menjadi olok-olok. Padahal, oleh orang-orang tua sepantarannya, bapakku dipanggil dengan nama “Syamsuri Basuh” karena pekerjaan bapakku adalah membasuh atau mencuci mobil dan motor. Tapi, teman-teman di sekolah dasar jarang sekali menggunakannya. “Syamsuri” sudah cukup.
Kenapa aku merasa jengkel ketika nama bapakku disebut? Bukankah tidak ada embel-embel penghinaan dalam panggilan itu, hanya nama? Kukira ini masalah nada. Ya, masalah irama. Juga gestur dan mimik saat mengucapkannya.
Seperti ketika aku mengejek nama bapaknya Andri. “Iwan!!!” ujarku. Aku berteriak. Mukaku seperti orang tolol atau mentolol-tololi orang. Sama halnya dengan orang menyebut “gila”, ada kalanya itu bersifat hinaan, tetapi bisa juga pujian, atau datar saja. Semua tergantung irama, gestur, dan mimik, dan tentu saja konteks.
Aku juga mencoba kembali merasakan impresi kala itu, saat namaku disebut teman-teman dengan nada mengata-ngatai. Bagaimana rasanya? Susah dideskripsikan. Semacam… “Hei, itu nama yang kuhormati setengah mati. Kau malah enteng saja menyebut namanya.”
Atau bisa jadi karena antara generasi kami (Generasi Z) dan generasi bapak kami (Baby Boomers dan Generasi X), ada perbedaan yang mencolok. Kami membayangkan orang tua kami sebagai orang yang lain, orang yang berbeda, sehingga lucu kalau namanya disebut-sebut di depan anaknya. Sewaktu kau masih siswa sekolah dasar, kamu bisa membayangkan betapa bedaknya cara bapakmu berpakaian? Bagaimana bahasa yang bapak kau gunakan? Apa hobi bapakmu? Dan apa yang menurut bapakmu “lelucon lucu”?
Di umur sekarang ini pun, kamu masih tetap menyadari betapa generasimu memang berbeda dengan generasi orang tua. Tapi sekarang bukan lagi sebagai hal yang lucu ataupun memalukan sehingga kamu tidak menikmati lagi mengejek dan diejek nama bapak.
***
Sekalipun kau mendapat peringkat satu, dua, atau tiga dalam satu semester sekolah dasar, bentuk kecerdasannya tetap terbatas. Sebab kecerdasan juga dibentuk oleh pengalaman (dan bahan bacaan) yang tidak ada di kurikulum sekolah dasar. Anak SD tidak pergi bekerja, memimpin rapat warga, ataupun menghadang kelakuan mertua.
Tapi kecerdasan yang semacam itu tetap ada pada diri Andri. Sekalipun peringkat paling tinggi yang pernah ia dapat adalah 22 dari 30 siswa, ia tetap memiliki bentuk kecerdikan yang tak dimiliki juara umum seangkatan sekalipun. Bapaknya seorang hansip bernama Iwan Setiawan. Ia sering menemani bapaknya ronda sampai larut malam. Dan menurut pengakuannya, ia pernah mengejar seorang maling menggunakan sepedanya.
Setelah kelas olahraga berakhir, sementara anak-anak yang lain menghambur ke kantin, Andri mengumpulkan kami berempat. Ia sendiri, aku, Khalil dan Eka. Dengan berbisik-bisik (padahal tidak ada seorang pun di kelas selain kami berempat), ia membeberkan sebuah rencana yang menurutnya akan mengubah situasi menjadi satu-satu, atau bahkan berbalik dua-satu.
“Kita pergi ke Jalan Batu Benawa, tempat tinggalnya Erik.”
“Apa yang kita lakukan di sana?”
“Membongkar nama bapaknya.”
“Bagaimana caranya?”
“Kalian tak perlu tahu! Soal siasat, aku yang atur. Kalian tinggal ikut saja dan bawa ketapel!”
Sepulang sekolah, lalu makan siang di rumah masing-masing, kami bersepeda ke titik pertemuan yang sudah disepakati yaitu tukang es potong yang mangkal di pertigaan jalan. Aku menjemput Eka yang tidak bisa naik sepeda. Khalil menjemput Andri karena sepeda Andri rusak setelah mengejar maling di tengah malam waktu itu (lagi-lagi ini masih menurutnya).
Sambil mengemut es krim masing-masing, Andri membeberkan siasatnya. “Jadi begini, kita tanya saja abang tukang es krim ini.”
“Bang, tahu rumah baru berpagar seng itu milik siapa?” tanyanya.
“Oh, itu… orang sini memanggilnya Bos Usuf. Anaknya sering beli es krim juga, kok.”
“Erik ya?”
“Nah, iya. Itu nama anaknya.”
Kemudian kami bersepeda lagi, masuk ke sebuah gang kecil. Di gang itu, ada halaman yang luasnya cukup untuk bermain bola. Setelah menembaki burung layang-layang dan burung pipit yang hinggap di pagar dan kabel-kabel listrik menggunakan ketapel, kami saling mengejar dan menendang bola plastik sebelum diusir oleh pemilik halaman rumah yang baru pulang kerja.
Bertanya ke tukang es krim di dekat rumah Erik adalah sebuah muslihat yang sederhana, tapi tak pernah kami pikirkan apalagi kami eksekusi. Bayangkan, “problem” kami selama empat tahun belakangan tak pernah terselesaikan. Andri datang dengan pikiran yang simpel.
Di kemudian waktu, saat kuliah, Andi menjadi ketua BEM dan sering menggalang mahasiswa untuk demo. Setelah ia lulus, senior kampus mengajaknya masuk sebuah LSM bidang lingkungan. Pada percobaan pertama ia gagal menjadi ketua lembaga tersebut di tingkat nasional, tapi berhasil di percobaan kedua dan bahkan terpilih lagi untuk kali kedua. Kalau kalian pernah membaca berita tentang LSM lingkungan yang suka menghadang kapal, dialah otaknya. Sementara itu, Iwan Setiawan, bapaknya, meninggal dua tahun yang lalu karena habis umur.
***
Satu hari setelah melontarkan pertanyaan ke tukang es krim dan menembaki burung, di kelas, kami berempat saling melontarkan senyum keji. Guru bahasa Indonesia sedang menjelaskan perihal kalimat tunggal dan majemuk, tapi kami hampir-hampir sudah tak memperhatikannya. Tak sabar menunggu bel istirahat berbunyi.
Akhirnya bel itu berdengung juga. Setelah cepat-cepat membeli gorengan di kantin, kami buru-buru kembali ke kelas dan menunggu Erik tiba. Lima menit sebelum bel masuk menderau, Erik datang membawa sisa pop ice, diikuti oleh anak-anak yang lain. Inilah saatnya. Ya, inilah saatnya!
“Suf!” Andri yang memulai. Erik menoleh. Tapi, rupanya ia belum sadar juga. Mungkin karena belum terbiasa diejek nama bapak.
“Woi, Usuf!” ujarku menegaskan.
“Hah?”
“Nama bapak kau Usuf!” Khalil membuatnya makin jelas.
“Bangsat!”
“Haaa, Usuf!” lanjut Eka.
“Tahu dari mana kalian, Syamsuri, Iwan, Johan, dan Burhan!?” Erik membalas kami.
“Intelijen!” sahut Andri. Ia senyum untuk dirinya sendiri, merasa bangga.
“Usuf itu siapa sih?” tanya salah satu anak yang lain.
“Bapaknya Erik!”
“Loh, iya? Usuf!!! Hahahaha!!!” Yang satu ini rupanya sudah lama menyimpan kesumat pada anak Bos Usuf.
“Bunguuuul!”
Lantas teman-teman lain di kelas –korban Erik selama ini yang tak bisa membalas– turut serta juga. Nama “Usuf” memenuhi langit kelas. Dua-tiga teman yang melewati kelas kami mengintip-ngintip di pintu, penasaran apa yang sedang terjadi. Kini, Erik lah yang seperti dihujani tembakan bola air. Ia bisa saja menyerang balik dengan menyebut nama setiap Bapak kami, tapi tak kuasa karena serangan terlalu banyak. Basah kuyup. Hanya sibuk berlindung. Empat tahun yang begitu lama. Kami menunggu momen ini. Skor: 20 - 1.
Serangan bertubi-tubi ini berhenti dengan berbunyinya bel masuk kelas disusul masuknya guru matematika. Hanya memutus sebentar “peperangan tak seimbang”, lalu lanjut lagi setelah sekolah bubar. Erik buru-buru ke parkiran lalu mengayuh sepedanya, pulang cepat sambil tersenyum ciut.
Situasi ini masih berlanjut esok, dan esoknya lagi. Erik tersenyum-senyum kecut saja, seperti mengerti bahwa karma suatu saat akan menimpanya juga. Tapi di hari keempat, Erik menangis. Padahal kami sudah mengendurkan serangan karena “permainan menyenangkan” ini sudah mulai mendekati equilibrium —pasca empat tahun yang menjengkelkan.
Kami diam saja. Bingung. Karena selama ini tak pernah ada yang menangis ketika nama bapaknya diejek bahkan ketika menerima olokan itu dari berbagai arah. Esoknya, batang hidung Erik tak nampak. Juga esoknya.
“Ada apa?”
“Apakah kita keterlaluan?” Andri was-was.
“Tidak. Kalau soal mengejek nama bapak, dia juga melakukannya. Malah tak ada yang membalasnya selama kurang lebih empat tahun.” Aku memberikan analisis.
“Mungkin dia memang cengeng.”
“Aku tak pernah melihat Erik menangis. Kemarin dia senyum-senyum saja, kok. Ia juga pernah memukul anak kelas sebelah karena anak itu menyingkap rok anak perempuan kelas kita. Anak itu yang menangis.”
Saat bel istirahat berbunyi, guru BP tiba-tiba ada di depan kelas kami. Aku dan Andri sudah bisa menebaknya. Entah bagaimana caranya, guru BP tahu siapa yang harus dipanggil di antara banyak murid. Bukan ketua kelas, tapi Andri.
“Andri ke ruang BP, ya?”
“Iya, Pak.”
Ia melirikkku. Aku mengerti. Baiklah, aku ikut juga.
Di ruang BP, Bapak Khaidir memulai maksudnya.
“Kalian tahu kenapa kalian dipanggil? Eh, omong-omong, terima kasih ya Evan, sudah menemani Andri. Itu kesetiakawanan yang baik.”
“Masalah Erik, bukan, Pak?” Andri menjawab.
“Betul sekali.”
“Kami minta maaf…” seduku.
“Yang aku butuhkan bukan maaf kalian. Sebentar…” Ia mengambil lembaran koran dari laci meja. “Kalian rajin membaca koran, kah?”
“Saya membaca,” masih Andri yang menjawab, “tapi hanya koran hari Minggu, Pak”
“Lihat ini.” Ia membentangkan lembaran koran itu kepada kami. Di halaman kedua yang masih berwarna, terpampang jelas berita itu. Juga foto wajahnya. Aku membacakannya, “Polisi Menciduk Bos Usuf di Rumahnya.” Napasku tertahan sebentar demi membaca judul tersebut.
“Biarku ringkaskan untuk kalian apa isi beritanya. Lagi pula, aku tak mau kalian tak sempat jajan. Jadi, tiga hari yang lalu, bapaknya Erik dibawa ke kantor polisi. Ditahan. Ia terlibat suap begitulah, soal pengadaan barang bla-bla-bla. Kalian tahu kan bapaknya pengusaha? Tapi bukan itu yang penting…”
“Jadi bagaimana, Pak?”
“Aku tahu bagaimana serunya saling mengejek nama bapak. Tapi kali ini kalian tak perlu lagi mengejek nama bapaknya Erik.”
Aku dan Andri saling pandang lalu sama-sama mengangguk, menyanggupi perintah Pak Khaidir.
“Okelah kalau begitu. Sekarang kalian boleh ke kantin.”
Seusiaku waktu itu, aku belum mengerti betul betapa bejatnya seorang koruptor. Tapi aku tahu betapa memalukannya jika ayahku dipenjara. Bapakku bekerja di tempat pencucian motor, aku tak pernah malu nama bapakku disebut. Bapaknya Andri hansip bersenjatakan pentungan, dia tak pernah malu juga.
Lalu baru aku mengerti, seseorang bisa malu setengah mati saat nama bapaknya disebut jika bapaknya itu adalah penerima suap. Padahal, di teve, aku melihat seorang istri pejabat tinggi tersangka korupsi tersenyum-senyum saja bak habis menang Uber Cup, melambaikan tangannya ke kamera, di depan ruang persidangan.
“Jangan bubar dulu!” kata Andri setelah bel tanda pulang menggema. Dua-tiga teman yang sudah di luar kelas dimintanya kembali. Andri bukan ketua kelas, tapi aku tak mengerti mengapa anak-anak menurut saja. Ah, andai dia tahu kalau suatu saat dia akan jadi tokoh nasional.
Ia maju ke depan kelas. “Kita tak perlu lagi mengejek nama bapaknya Erik. Bukan masalah ia bersifat bajingan: suka mengejek, tapi tak mau diejek. Sesuatu telah terjadi pada diri keluarganya, dan itu tak memungkinkan lagi bagi kita untuk menyebut nama bapaknya. Tak usahlah kalian tahu masalahnya apa! Aib! Pokoknya nurut saja! Toh, tebakanku Erik juga tak akan menyebut nama Bapak kita lagi.”
Mungkin karena kami waktu itu terlalu kecil pula, kami (kecuali aku dan Andri yang memang diberi tahu) tak berminat mencari tahu perkara apa yang sedang dihadapi Erik sampai-sampai ia tak tahan nama bapaknya disebut. Anak-anak di kelas juga tak ada yang membaca koran. Walau pada akhirnya, yang lainnya juga tahu bapaknya Erik dipenjara. Tapi ya sudah, ribut sebentar, selanjutnya kami lupa. Lebih seru bermain playstation daripada mengurusi persoalan itu.
Aku tak sengaja mendengar orang-orang tua berbicara, bahwa bapaknya Erik divonis tiga tahun kurungan. Satu hari setelah keputusan hakim, ia pindah sekolah entah ke mana. Tak sengaja kudengar pula kalau Erik pindah ke pulau seberang.
“Sampai segitunya ya gara-gara perkara nama Bapak ini? Sampai bikin dia pindah!” Khalil menggerutu.
“Tidak ada hubungannya! Bapaknya dipenjara emang gara-gara kita?” Andri berlogika sederhana.
Ya begitulah cerita tentang perkara nama bapak. Keseruan sekaligus ketidaksopanan ini tetap berlanjut sampai kami lulus. Lalu, aku pindah ke provinsi lain, masuk sebuah SMP berasrama.
Suatu kali, ketika sekolah sedang libur, aku bersama teman-teman SMP pergi ke mal di kota itu. Entah bagaimana kisahnya, tiba-tiba aku melihat bapaknya Andri sedang melihat-lihat di toko arloji. Aku kenal dengan bapaknya. Menjumpai seorang yang sangat dekat bagiku (karena Andri adalah sahabatku) di sebuah tempat yang tak mungkin bertemu (karena kota asli kami cukup jauh), membuatku berteriak kegirangan, “Bapaknya Iwan!!”
“Eh, salah, maksud saya Bapaknya Andri!”
Om Iwan kagok sebentar. Lantas ia berseri-seri lalu memelukku.
Aku sudah memasuki gerbang perumahan tempatku tinggal. Si bungsu tertidur dengan krayon masih di tangan. Cerita itu selesai di sini. Kalau nanti ada waktu luang, aku akan mengajakmu bernostalgia lagi. Tapi tidak janji.
______
Penulis
Muhammad Ilfan Zulfani lahir dan tumbuh di Banjarmasin. Lulusan Sosiologi Universitas Indonesia. Sejak pertengahan 2023, belajar menulis fiksi secara serius setelah sebelumnya banyak membaca saja. Menyenangi jika ada yang dapat menyampaikan kritik atas tulisannya ke Instagram (@ilfanzulfani98).
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com