Friday, August 9, 2024

Cerpen Padrika Tarrant | Anatomi

Cerpen Padrika Tarrant



Di dalam diriku terdapat misteri; aku menyimpannya dengan tenang, tenang dalam serpihan dan tulang belulang yang berada di antara isi perut dan darahku yang hangat. Ketika aku berjalan, langkahku sempurna, seperti biasa.


Rahasiaku seperti kampus yang sering kali aku hampiri, meski orang-orang yang kukenal sudah tidak ada, kecuali Finn. Di kantin aku minum cokelat panas, aku duduk di atas kain katun beralaskan mantel hingga minuman itu menghangat. Ke mana pun aku pergi, aku selalu membawa buku tulis, kala siang memanas, lembaran-lembaran itu tampak begitu silau dan cukup membuat mata ini buta. Kantin ini juga menjadi tempat beberapa kelompok mahasiswa untuk sekadar duduk atau membaca. Mereka datang berkelompok atau sering sendiri. Aku pikir mereka juga memiliki rahasia di dalam dirinya; kau bisa mengetahuinya dengan cara bagaimana mereka memegang kepala.


Aku tetap menyimpan rahasiaku di bagian kulit terdalam. Ia mendekap di balik hatiku, melubangi selaput, dan seiring berjalannya waktu ia mendetik mengikuti jantungku yang berdetak.


Di dalam lemak yang lembut, rahasiaku tumbuh, menganak. Mungkin rahasiaku hanya bisa diselusuri oleh stetoskop yang biasa mendiagnosis denyut nadi, tetapi tidak ada yang mampu mendiagnosisnya kecuali aku.


Aku selalu menghabiskan banyak waktu di Museum Pathology. Tempat ini selalu tenang, kecuali saat para mahasiswa tengah melakukan tugas; mereka mengizinkan masyarakat untuk masuk, kau pastinya tahu karena ini bukan hal yang aneh. Mereka pikir aku adalah mahasiswa kedokteran: itu dulu dan tidak lama. Aku masih saja memperlihatkan kartu mahasiswaku pada pria yang berada di mejanya untuk beberapa saat, namun setelah beberapa minggu, aku berhenti untuk menunjukkan kartu padanya. Setiap harinya aku hanya perlu mengangguk dan tersenyum lalu ia selalu berkata “Selamat pagi”.


Aku masuk lalu berdiri di antara kendi dan menghirup udara bersih di antara peti dan beberapa model tubuh manusia yang terbuatkan dari lilin. Aku pun menghabiskan waktu dengan menggambar. Sering kali punggungku bersandar di dinding yang lengang, lalu aku melekuk-lekukan lengan hingga menghasilkan sebuah sketsa rak di atas papan coretan. Sepertinya akan lebih nyaman jika aku duduk di lantai. Aku tidak ingin merusak rahasiaku, apabila aku bersikap gegabah maka hal ini akan menguburku dan menusukku dari segala sudut. Ia tak ingin aku melupakannya; kerahasiaanku tidak ingin terluka.


Dulu tutorku seperti seorang nabi, kau tahu, rambutnya pirang. Kata laki-laki itu kami harus memanggilnya Finn: kami tidak ada yang berdiri ketika ia mengatakan itu. Di kelas bedah pertama, aku khawatir akan membuat hal yang memalukan, seperti muntah; perasaan itulah yang menghantuiku. Meski begitu, sewaktu tangan Finn mengeluarkan alat pencernaan, aku sangat lega, dengan hanya melihatnya sepintas.


Tubuh yang telanjang seperti bunga yang langka, dengan daun yang terkelupas, dan di dalamnya masih ada sisa daun yang berbunga. Dahulu aku pernah mendengar cerita bahwa sang dewi melihat tenggorokan dan di sanalah ditemukan segala kehidupan: bintang-bintang, pusat perbelanjaan, kuda-kuda dan kematian, semuanya bergetar dan saling menyerang, menggigil seperti epiglotis. 


Di pertengahan kelas ia memintaku untuk bertemu. Aneh, seperti ada sesuatu dalam penglihatannya; sering kali aku salah mengira. Aku cemas, tentu saja, dan yakin bahwa aku telah melakukan kesalahan. Di malam itu aku nyaris terlelap; aku melewati waktu di kasur dengan buku catatanku, merevisi, seandainya aku ingin melaluinya sampai pagi, aku juga bisa merenungkannya dengan baik. Kali ini aku memimpikan Finn dengan giginya yang sangat putih. Aku terperanjat, dengan posisi pipiku yang berlawanan dengan sketsa, ketika teman kamarku menyiram toilet.


Saat berdiri di depan cermin yang sesungguhnya, aku melihat sketsa indahku: yang dalam tapi warnanya dangkal, yang tenang juga halus. Rahasiaku mulai menyembunyikan organ-organ tubuh seperti bros yang mahal, yang tak simetris juga membingungkan. 



Hari ini Finn datang, tetapi ia tidak melihatku. Aku melihatnya: ia tampak berkilau dengan warna merah, abu-abu, juga biru; tulang parasnya tampak lembut seperti diselimuti kunci-kunci piano yang kuning. Aku melihat tulang tenggorokan yang melompat-lompat ketika ia menelan, kemudian aku memperhatikannya di balik pohon limau.


Kejadian ini tidak lama, mungkin bisa dikatakan seperti itu. Ia telah membetulkan dasinya dan menyisir rambutnya dengan jemari. Tampaknya ia sudah lupa bahwa aku berada di belakangnya. Aku meraih mantel dan peralatanku lalu pergi. Ia tidak tahu karena ia sedang mengambil bolpen dan mulai memukul-pukul meja dengan benda itu.


Aku tidak segera pulang. Teman-teman serumahku berada di sana, mengobrol dan memakan roti bakar sambil menyaksikan televisi di saluran anak-anak. Aku memilih menenggelamkan diri di dalam museum, melakukan perburuan di antara kendi-kendi dan model anatomi plastik, aku memandangnya dengan perasaan kalut. Tempat itu mulai gelap dan wanita petugas kebersihan itu datang dengan berdeham, tapi aku masih belum menemukan benda itu, maka kuputuskan untuk pulang dan masuk ke kamarku secara diam-diam.


Kemudian, di bak mandi, aku membentangkan tangan yang ditutupi oleh gelombang busa kemudian aku menceburkan diri di dalamnya, mencepak-cepukannya dan keluar lagi. Selagi airnya mengalir, jari-jariku berdeklamasi bagai sebuah syair: yang meliputi tulang-belulang, urat dan syaraf. Di pergelangan tanganku terdapat luka memar.


Di malam pertama, sebuah rahasia telah terbentuk; seolah angin ribut yang bisa meretakkan jendela ia bernyanyi. Selama sepekan aku takut karena aku tengah mengandung. Aku sudah melakukan tes dan beberapa kali, hingga para pelayan toko kesehatan Boots and Superdrug mulai memandangku curiga. Tentu saja aku tidak setuju dengan pandangan aneh mereka; tak ada anak yang terlahir dari pedang dan mata pisau maupun kepingan email gigi. 


Setelah itu aku tidak masuk kelas. Bulan demi bulan pun berlalu, aku sadar aku tidak lagi kuliah; aku akan mendapatkan sesuatu yang baru, yang tidak diketahui: ini merupakan misteri fisiologi. Saat mereka mengirimiku surat yang isinya bahwa di tahun ini aku gagal, aku tidak peduli.


Aku telah mengirim gambar rampungku kepada Finn, tentu saja mesti selalu tepat, yang menampakkan tulang rawan dan cakar kuku juga rambut kepala yang kusut. Aku tidak membutuhkan pisau bedah lagi; kerahasiaanku begitu menyakitkan karena aku dapat merasakan bentuk garis di permukaan kulitku, aku seperti baru menelan jarum jahit. Setelah ketiga kalinya, amplop itu mulai ditutup. Aku mengirimkan gambar-gambar itu.


Kadang aku menyelinap ke dalam Lecture Theatre dan duduk di belakangnya. Sesekali, Finn menatap mataku, kemudian kembali ke papan tulis. Lama sekali, aku begitu penasaran mengapa ia tidak mengusirku; lambat laun ia marah lantaran ia takut padaku karena rahasia itu. 


Akhir-akhir ini aku lebih waspada. Aku tidak ingin diusir universitas; karena tak ada lagi tempatku untuk pergi. Maka aku bersikap ramah pada orang-orang kantin; aku memberi mereka kartu Natal. Mereka pikir aku orang baik.


Di dalam museum terdapat kematian dan kelayakan yang sering memberikan keseimbangan. Setiap rasa sakit itu sudah terkatalogkan dan tersusun, mencipta kesucian dalam kotak-kotak kaca dan lonceng, sampai rasa itu benar-benar perih. Di tempat ini terdapat banyak sindrom terkecuali yang kualami; aku sudah memandangnya dengan teliti; alamiah; dan sistematis. Di dalam Path Museum tidak ada rahasia. Walau di dalamnya begitu menyenangkan, tapi hujan di luar sana telah membasahi hari-hari. Kini aku berada di rumah. Bersama rahasia terpendamku.


______


Penulis


Padrika Tarrant lahir tahun 1974 dan tinggal di Norwich. Ia telah menamatkan studinya di Norwich School of Art. Cerpen di atas yang diterjemahkan dari antologi cerpen Broken Things oleh Eka Ugi Sutikno (0819 1115 4291).


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com