Esai Mela Sri Ayuni
Mahasiswa merupakan seseorang yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Umumnya paling rendah berusia 19 tahun sampai tidak terbatas usia, ia berjalan seolah semua keilmuan miliknya (Febri Saefulloh dalam buku Mahasiswa Mencari Dirinya, 2021). Mahasiswa bebas menggunakan apa pun di lingkungan kampus, dianggap sudah dewasa. Pada tahun pertama, ia biasanya cukup disibukkan dengan banyaknya tugas yang harus dikumpulkan pada minggu yang bersamaan. Mahasiswa mengikuti organisasi (entah apa yang dicari, biasanya berhenti di tengah jalan), mencari referensi outfit, nongkrong untuk kopi darat, menyuarakan aksi, dan teman hati. Inilah secuil dari kebiasaan mahasiswa masa kini.
Saya pun sebenarnya masih mahasiswa yang sedang mencari esensi dari mahasiswa itu sendiri. Saat ini saya sedang ada di fase semester akhir yang asyik. Tetapi selama bolak-balik kampus tidak banyak yang didapat, hanya satu, yaitu perubahan pola pikir. Memang terdengar sangat sederhana. Kalau dilihat dari waktu, pikiran, tenaga, dan materi. Bisa dikatakan tidak sepadan dengan apa yang telah dikorbankan. Dan justru, ini yang membuat saya tumbuh. Perubahan paradigma yang tidak ternilai harganya dan hanya bisa didapat melalui pembelajaran dan pengalaman.
Tetapi kembali lagi pada individu masing-masing, apa yang sebenarnya mereka cari? Biasanya mereka sudah menyiapkan jawaban terbaik dan nyeleneh untuk berjaga-jaga kalau ada yang bertanya. Misal, teman saya menjawab bahwa ia berkuliah untuk mencari jodoh. Ada juga yang menjawab agar tidak tertinggal dengan teman-temannya atau sekadar ikut-ikutan saja.
Pada realitanya, kehidupan menjadi mahasiswa tidak bisa terus stagnan di situ saja. Melainkan, mereka harus ada peningkatan di setiap semesternya. Kalau tidak, ia hanya akan menjadi donatur kampus. Dan kalau masih tetap tidak ada peningkatan, mahasiswa ini akan di-drop out dari kampus, tentunya ini sangat merugikan.
Mending saja kalau posisinya masih masa maba (mahasiswa baru), pasti mereka sedang semangat-semangatnya menjadi budak kampus. Bahkan, mereka rela untuk menginap di kampus atau menumpang tidur dengan teman kos. Lantas, bagaimana dengan mereka yang sekarang sedang ada di semester dewa?
Peliknya, berada di fase peralihan remaja menuju dewasa awal. Memang tidak ringan untuk dilalui. Seolah alam dan semesta tidak sudi untuk berpihak kepada manusia yang sering disebut mahasiswa ini. Berbagai problem singgah mengeroyok, tampak biasa saja dari luar. Padahal rasanya, beuh, ingin cepat ke “pelaminan”. Sebenarnya cukup kompleks. Namun, dari banyaknya jalur menuju pembenahan problem, mereka lebih memilih untuk bersembunyi. Dan pada akhirnya, hanya satu video unggahan di sosial media yang bisa mewakili keadaan sebenarnya. Sedikit cukup bijak, tapi masalahnya belum terpecahkan.
Mahasiswa yang sudah memasuki tahun ke empat bisa dikatakan sering memiliki berbagai hambatan. Seperti yang dialami oleh saya, semakin mendekati kelulusan bukannya semakin semangat untuk mengejar skripsi. Eh, malah kurang bergairah. Ditambah lagi keadaan kesehatan ayah yang menurun.
Tidak hanya itu, masih banyak hambatan lainnya bagi seorang mahasiswa yang sedang menduduki semester ini, yaitu seperti keadaan ekonomi tidak stabil, orang tua yang sudah tidak lengkap, pertemanan yang mulai menghilang, dihantui skripsi, menjadi buronan dosen karena ada beberapa nilai yang tidak lulus, dikejar UKT yang semakin mahal. Dan tak kurang yaitu, masalah percintaan dalam satu circle (tidak relate bagi penulis, namun lumrah bagi beberapa).
Semakin bertambahnya angka, sebagai mahasiswa tingkat akhir pasti memiliki tingkat kecemasan yang tinggi (anxiety disorder). Misal, yang paling lumrah ketika berkumpul dengan teman SMA ditanya “Kapan kawin? Kapan lulus? Kerja di mana? Kapan doi dihalalin?” dan masih banyak lagi. Kalau disebut dunia ini kejam, sebetulnya tidak. Cuma, kadang kita saja yang lemah. Siap tidak siap mahasiswa harus siap, mereka tidak akan peduli dengan kondisi psikis kita. Mereka hanya akan melihat dari progres, tidak dengan proses. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dari orang yang itu-itu saja, keluarga, atau teman. Sedasar-dasarnya pertanyaan apabila sering dilontarkan, itu akan menambah tingkat kecemasan, tetapi tidak perlu dipikirkan terlalu jauh. Nanti stres! Cukup diingat, dan buktikan kepada dirimu sendiri, umumnya untuk orang lain. Dan sebetulnya, beberapa pertanyaan tidak harus ada jawabannya. Seperti pertanyaan diatas.
Jadi, yang bercanda tak perlu dicemaskan. Karena yang tidak mengetahui tak akan pernah mengerti, dan yang tak pernah mengalami tak akan pernah memahami. Toh, selama-lamanya hidup di dunia pasti hanya sekali. Selama hidup tak bergantung pada mereka, kita yang memiliki kedaulatan dan kekuasaan penuh untuk memerdekakan diri. Tentu, di samping itu harus didampingi dengan tujuan hidup yang jelas.
Mahasiswa yang mendapatkan gelar semester tingkat dewa bukan karena ia malas ataupun tidak mampu untuk menyelesaikan skripsi, melainkan ia lebih mengutamakan mencari pengalaman di organisasi. Saya pun saat ini mahasiswi yang sedang menulis skripsi, tetapi rasa jenuh sering menghantui. Lebih gairah pada pengabdian di sekolah dan menunaikan hobi. Kadang sempat berpikir “Nanti ajalah lulusnya. Toh sudah ada kesibukan.”
Sepertinya pepatah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya itu nyata. Haha. Cara berpikir tersebut dihasilkan semasa saya belajar di kelas.
Seperti halnya dosen saya, beliau pernah bercerita, menjalani kuliah di S-1 dengan kurun waktu tujuh tahun, padahal jarak dari kampus ke rumah sangat dekat. Bahkan, saking dekatnya, beliau terkadang berjalan kaki. Dan S-2 tiga tahun. Kurang lebih, baliau satu dekade menyelesaikan kuliah. Beliau bukan tipe mahasiswa yang mengagungkan nilai, melainkan lebih kepada pengalaman. Bukan berarti beliau pun tidak mempunyai tujuan, tetapi beliau sibuk mencari relasi yang menurutnya kalau mempunyai relasi akan mudah untuk mendapatkan prestasi. Tak jarang, beliau pun sering mendoktrin saya dan teman-teman di kelas untuk tidak terlalu terburu-buru untuk lulus kuliah “Mending mencari pengalaman saja dulu yang banyak, kembangkan hard skill. Nilai itu hanya angka, nanti setelah lulus yang paling dibutuhkan itu keterampilan.”
Sedangkan, kebanyakan mahasiswa saat ini ingin memiliki sesuatu secara instan. Seperti yang dilansir pada kumparan.com (19 Juni 2024) dua mahasiswa terjerat judi online yang mengakibatkan fatalnya ia sebagai seorang cendekia. Ujungnya, mahasiswa malas memedulikan keterampilan. Yang penting IP bagus. Walhasil, banyak yang berujung tak sesuai ekspektasi. Mereka cenderung stres lebih dulu. Dan kalian tahu cara mereka melampiaskan masalah ini seperti apa? Mereka rela melakukan peminjaman uang secara online, minum alkohol, dan tidak sedikit juga yang mengakhiri dengan gantung diri.
________
Penulis
Mela Sri Ayuni, dilahirkan di Serang, 19 Februari 2002. Aktif di #Komentar angkatan 11. Pernah menulis jurnal “Peran Agama dalam Mewujudkan Toleransi di Kota Serang” (2022) dan menjadi penulis terpilih nasional dalam antologi Terluka 2 (2024). Kesehariannya dihabiskan untuk belajar dan mencari cilung. Tinggal di Cikeusal-Serang.