Esai Mela Sri Ayuni
Kalau berbicara tentang perempuan, saya yakin ini tidak akan pernah selesai. Perempuan itu unik, ia mempunyai pahamnya sendiri. Tidak bisa dipahami oleh semua orang. Sedikitnya hanya ada beberapa kepala saja yang mengertinya, itu pun harus melalui ilmu tarikat. Perempuan itu bisa jadi lebih rumit dari filsafat, lebih mistik dari tasawuf. Ia bisa bilang “Iya” padahal di hatinya berucap “Tidak”, pun sebaliknya, ia bisa berucap “Tidak” padahal hatinya “Iya “. Bahkan, seorang spiritualis Muslim rela menyisihkan waktu untuk mempelajari darah haid perempuan selama sembilan tahun. Itu baru darahnya, belum nadi, dan itu-nya. Simpelnya, orang bodoh menyebutnya, perempuan itu ribet!
Perempuan bisa diartikan salah satu makhluk Tuhan yang paling menarik. Ia diciptakan ketika Adam sedang tertidur. Kehadiran perempuan mampu memberikan energi untuk peradaban dunia. Bahkan, saking berdampaknya, kalau ingin melihat kualitas suatu negara, bisa dlihat dari perempuannya itu sendiri. Karenanya, perempuan mengalami beberapa fase dalam hidupnya, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Selebihnya yang dilakukan perempuan itu bukan kodrat. Melainkan hobi dan bakti.
Dari segenap keistimewaan perempuan, ada sisi unik yang persoalannya menarik untuk diulik. Perempuan tidak bisa memilih menjadi zigot dari perempuan mana. Karenanya perempuan hidup, dengan keanekaragaman kebiasaan dan mood-nya. Tetapi justru, menjadi perempuan bukanlah hal yang bisa dikatakan mudah. Bayangkan saja, tidak sedikit perempuan yang kehilangan identitasnya. Tentu, ini bukan keinginan dari lubuk hatinya. Ini karena kondisi dan situasi yang menuntutnya.
Sejalan dengan hal di atas, pada suatu hari, saya melakukan perjalanan ke suatu tempat. Sepasang mata saya terfokus kepada satu titik, di sana ada sekumpulan perempuan berhijab, sedang asyik mengobrol dengan teman sebaya. Sambil ditemani kopi hitam dari gelas plastik dan sepuntung kretek alias rokok disela-sela jari. Setelah saya amati dari dekat, mereka merupakan karyawan (sales) dari produk minuman jeruk keliling. Sesekali saya memberanikan diri untuk mengobrol dan bertanya perihal perempuan tersebut, dan sontak saya merasa kaget dengan jawaban mereka, “Saya punya dua orang anak di rumah. Yang satu masih sekolah SD. Satunya lagi masih umur satu setengah tahun. Suami saya nganggur, sekarang dia yang menjaga anak-anak di rumah. Dan saya yang bekerja.”
Dari fenomena di atas, sebetulnya respons perempuan itu dalam menyikapi persoalan kehidupan tidak salah, hanya saja sepuntung kretek yang mereka pegang mampu mengundang asumsi masyarakat. Dan bahkan, dapat mengklaim bahwa perempuan yang akrab dengan kretek adalah perempuan nakal, tidak taat syariat. Seakan masyarakat hanya menilai perempuan dan kreteknya saja. Tidak secara keseluruhan. Jelas, ini tidak adil bagi perempuan. Dari asumsi yang tidak berdasar itu, mampu menimbulkan keresahan dan pembatasan pada perempuan. Bayangkan saja, kalau kebiasaan perempuan dibatasi, sumber peradaban pun tidak akan berkembang.
Tidak ada kekeliruan fatal dari perempuan dan kretek. Toh, jika kita melihat beberapa waktu lalu, perempuan zaman dahulu juga merokok. Tetapi tetap, selalu berhasil menumbuhkembangkan peradaban hingga sebesar ini. Hal tersebut menunjukkan bahwa perempuan perokok aktif masa kini juga terlahir dari adanya campur tangan para leluhur kita yang eksistensinya masih terjaga hingga saat ini. So, jangan salahkan perempuan. Nilailah ia secara menyeluruh. Perempuan tidak suka yang setengah-setengah.
Ini baru secuil gaya hidup dari perempuan. Belum yang ke sonoya. Ya memang betul, jika kita merujuk pada Pasal 28 J Ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara’’. Dari pasal tersebut kita bisa memaknai, bahwa hak merupakan suatu perkara yang dilakukan oleh manusia secara berulang-ulang dalam keadaan sadar dan dapat diterima tanpa mengganggu kepentingan umum. Dengan adanya kepastian hukum seperti ini, seharusnya perempuan bisa lebih leluasa mengekspresikan diri dalam memenuhi kebutuhan dan keinginan hidupnya selagi tidak merugikan pihak mana pun. Tapi justru, perempuan saat ini seolah dituntut untuk bisa memenuhi sudut pandang masyarakat dari berbagai sisi. Padahal di sini sudah jelas, ada payung hukumnya, tapi perempuan sebagai subjek hukum malah risih dalam memenuhi haknya. Seperti kekosongan hukum. Tak bernyawa. Oleh karena itu, tak sedikit, perempuan memenuhi haknya secara sembunyi-sembunyi. Malu, tertikam asumsi. Lantas, perempuan yang ideal itu harus seperti apa, Mas?
Saya pun sebagai perempuan merasa terganggu dengan adanya asumsi murahan seperti itu, bahkan sempat terlintas sekali dalam otak “Apa gue jadi cowok aja yak? Biar bebas!”. Tapi kembali lagi, kalau ini stereotipe perempuan. Mungkin saja, selama peradaban ini masih hidup. Problem ini tidak akan pernah mati. Namun pada realitanya, kondisi perempuan saat ini merasa tertekan dengan adanya berbagai asumsi dari masyarakat, yang sewaktu-waktu bisa saja menyerang kesehatan mental perempuan jika harus mendengar setiap hari. Secara tidak langsung, hal ini menjadikan perempuan wajib memenuhi standar dari konsep perempuan baik. Padahal hakikatnya, manusia mempunyai haknya masing-masing untuk mengekspresikan diri dalam bentuk apa pun, dan kita pun selaku masyarakat itu sendiri harus menghargai hak asasi setiap manusia selagi tidak ada pihak yang merasa dirugikan.
Kalau kita tinjau dari perspektif perempuan, sebetulnya perempuan juga ingin hidup yang lurus-lurus saja. Tetapi, namanya hidup, sudah pasti heterogen. Perempuan perlu mewarnai kehidupannya, agar roda kehidupan terus berjalan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masing-masing guna mempertahankan keberadaan hidupnya. Dan yang terpenting, perempuan juga berhak sesekali tidak mendengarkan cuitan masyarakat. Pun masyarakatnya dari perempuan itu sendiri.
_______
Penulis
Mela Sri Ayuni, dilahirkan di Serang, 19 Februari 2002. Aktif di #Komentar angkatan 11. Pernah menulis jurnal “Peran Agama dalam Mewujudkan Toleransi di Kota Serang” (2022) dan menjadi penulis terpilih nasional dalam antologi Terluka 2 (2024). Kesehariannya dihabiskan untuk belajar dan mencari cilung. Tinggal di Cikeusal-Serang.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com