Tuesday, August 6, 2024

Proses Kreatif | Kenikmatan Menulis

Oleh Encep Abdullah



Kemarin saya ikut menghadiri acara Dies Natalis ke-5 Sekolah Filsafat di Perpusda Banten. Salah satu peserta di sana berkata, ”ruangan ini adalah surga”. Saat mendengar kalimat itu, saya merasa terwakili. Ruang diskusi karya, buku, pemikiran seperti ini memang bagi sebagian orang adalah oasis di tengah hiruk-pikuk realitas yang menjemukan. Bagi sebagian lagi mungkin hal yang menjenuhkan.


Salah satu narasumber, anggota dewan, juga mengatakan hal serupa. Ia merasa muak dengan kepalsuan-kepalsuan, misalnya sok alim, sok sopan, basa-basi, sungkem-sungkem kepada pejabat dan sebagainya, serta sibuk dengan urusan-urusan yang bukan substanti. Pak dewan merasa lelah dengan kepalsuan-kepalsuan itu. Di ruangan itu, saya merasa punya banyak teman yang sefrekuensi padahal sebagian besar tidak saya kenal.


Aktivitas berpikir memang sesuatu yang asing di tengah hiruk-pikuk manusia yang hidup serba instan. Aktivitas berpikir bukan tempat bagi orang-orang yang malas membaca, malas bertanya, malas berdiskusi, malas beretorika. Aktivitas yang memang sangat terbatas dikonsumsi publik. Bagi saya ruang-ruang seperti ini harus terus hadir dalam hidup saya sebagai upaya agar saya tetap menjadi manusia yang berpikir alias homo sapiens dan merasa berguna minimal untuk saya sendiri. 


Karena saya penulis, aktivitas berpikir itu sangat penting. Otak saya tidak nyaman bila lama dalam kekosongan, misal tidak membaca buku, tidak berdiskusi, tidak menulis. Menjauhi aktivitas itu, saya seperti hidup dalam keterasingan. Harus ada hal-hal baru yang memaksa otak saya terus berpikir dan bertanya tentang sesuatu hal. 


Sebenarnya saya sedang kangen dengan komunitas yang saya dirikan di Pontang. Sudah beberapa ”abad” tidak beroperasi. Saya merasa kesepian. Saya butuh oasis. Pikiran saya atas realitas hidup ini perlu ditumpahkan. Walaupun sebuah komunitas tidak menjadi tolok-ukur seseorang bisa menjadi lebih cerdas atau lebih pandai dalam berpikir atau menulis, setidaknya, di sana ada ruang-ruang pemantik. Kalaupun bukan pemantik menulis, ya pemantik agar saya tetap bergairah membaca buku, atau pemantik agar pikiran saya yang karut-marut ini bisa dilepaskan. Kadang, pertemuan-pertemuan itu bukan menyelesaikan masalah hidup, sering kali malah menambah masalah hidup. Akan tetapi, entah mengapa, prosesnya, perdebatan-perdebatannya, terasa begitu nikmat. Bukan kenikmatan mencari hasil, melainkan kenikmatan-kenikmatan berpikir itu sendiri: berdiskusi, beretorika, bertanya.


Saat membaca buku karya filsuf Emmanuel Levinas, saya cukup tercengang membaca salah satu argumennya bahwa sebenarnya manusia bukan mencari pengetahuan melainkan kenikmatan. Selama ini saya gandrung membaca buku dan menulis, jangan-jangan memang bukan mencari pengetahuan dsb. padahal aktivitas ini bikin puyeng. Tapi, benar kata Levinas, saya sedang mencari kenikmatan, sedangkan pengetahuan dan sebagainya adalah akibat dari kenikmatan itu sendiri. 


Kalau Anda ingin tahu, satu paragraf di atas itu adalah status di beranda FB saya pada 4 November 2019. Bahkan, di kolom komentar, seorang rekan, Cak Ndor menyarankan saya agar membaca buku Misykat al-Anwar karya al-Ghazali biar mateng (opo sing mateng?). Pada 6 Agustus 2024, saya baru menemukan buku itu, dan entah akan dibaca kapan. Nah, barangkali inilah buah kenikmatan itu. Saat saya menulis status di FB itu, mungkin nikmat saat itu, tapi entah untuk apa kenikmatan itu. Ternyata, buahnya ya saat ini, bahkan menjadi inspirasi lahirnya catatan proses kreatif ini.  


Kembali kepada persoalan kesepian tadi. Vakumnya komunitas menulis yang saya asuh karena ditinggalkan oleh para pengurusnya itu, membuat saya merenung. Saya perlu membuka ruang lagi. Untung saya masih punya wadah lain bernama Klinik Menulis, sebuah grup WA yang saya buat pada tahun yang sama dengan komunitas yang saya dirikan di Pontang, yakni 2016. Bedanya, komunitas di Pontang itu pertemuan langsung di TKP, sedangkan Klinik Menulis pertemuan secara online. Pada awal Agustus 2024, para peserta sudah aktif menulis dan berdiskusi. 


Selain itu, belakangan ini, saya juga sering mendapatkan undangan diskusi. Saya kadang agak berat hati menerima undangan tersebut karena harus meninggalkan anak istri beberapa hari. Namun, di satu sisi, ini ruang saya untuk hadir. Sering kali saya tidak tahu itu acara apa, saat diminta, saya iyakan saja. Setelah diiyakan, barulah sadar, ”ini acara apa ya?”. Kadang saya takut ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Namun, saya selalu yakin, orang yang mengajak atau mengundang saya, berarti tahu tempat, tahu kapasitas saya. Mereka tidak akan menghubungi saya kalau kegiatan itu memang bukan ranah saya. Saya juga tentu akan menolak bila undangan itu tidak sesuai dengan ”selera” saya. Tidak semua tempat diskusi saya hadir. Saya selektif, sangat selektif. Juga, tidak semua saya tulis, saya juga selektif, termasuk menulis catatan ini.


Selamat berkarya!


Kiara, 6 Agustus 2024


_______


Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatifnya yang sudah terbit berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023).