Tuesday, August 13, 2024

Proses Kreatif | Zona Nyaman Penulis

Oleh Encep Abdullah




Kepala saya sedang tidak riuh. Tidak ada unek-unek yang kudu diberakin. Saya sedang merasa tenang-tenang saja. Sejenak saya merenung mencari masalah. Tapi, isi kepala saya benar-benar sedang dalam mode dan zona nyaman. Sedang tidak memusingkan, memikirkan, atau menggelisahkan apa-apa. Saya paksa pun, juga tidak menemukan apa-apa. Saya bilang dalam diri saya, ”Ayolah, coba buka lagi isi kepalamu. Barangkali ada yang benar-benar ingin kau sampaikan kali ini. Tulislah!”


Benar sekali, adakalanya kita jangan memaksakan mencari ide. Kalau memang tidak ada, ya sudah. Tidak perlulah kita harus pergi ke pantai. Kita pandangi ombak. Lalu, menulis puisi. Atau istri sedang tidur, kita ganggu. Konyol namanya. Mau baca buku, tapi lagi kurang mood, juga tidak bisa dipaksa. Lampu kamar mandi mendadak mati dan saya menggantinya, itu saja peristiwa yang terjadi sebelum saya menuliskan catatan ini. Mungkin akan berbeda jika saat pasang lampu, saya kesetrum, dan jatuh, tapi jatuh dipelukan istri yang sedang pegangin tangga. Lalu, kita sama-sama saling pandang dan senyum-senyum sendiri. Tapi, itu tidak terjadi. 


Pernahkah Anda dalam posisi saat ini seperti saya? Tidak ada yang memaksa saya menulis. Walaupun hari ini jadwal saya menulis, saya batalkan pun tidak jadi masalah. Siapa yang melarang. Cuma, saya merasa mubazir saja, waktu saya seperti terbuang sia-sia. Saya teringat sebuah postingan di Instagram kemarin.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, "Diam tanpa membaca, tanpa berdzikir, tanpa berdoa, bukanlah ibadah, dan tidak dianjurkan akan tetapi akan membuka pintu was-was, maka menyibukkan diri dengan dzikir kepada Allah lebih utama daripada diam." [Al-Fatawa Al-Kubra (2/298)]


Di situ tidak ada kata ”menulis”. Maka, saya mohon izin Syekh, sekali lagi mohon izin, saya tambahkan sedikit, ”Diam tanpa membaca, tanpa berdzikir, tanpa berdoa, tanpa menulis, bukanlah ibadah ... ”. Definisi diam di sini kalau saya artikan sendiri bisa bermakna mulut yang tidak berbicara, atau hati yang tidak terkoneksi dengan Allah, atau melakukan sesuatu yang  tidak bermanfaat sehingga menimbulkan mudarat. Saya juga teringat satu baris puisi dosen saya, kalau tidak salah, Diamku adalah diam yang bergerak. Saat saya tanya maksudnya apa, beliau menjawab kurang lebih begini, ”setiap manusia walaupun dia tampak diam, sejatinya pikiran dan jiwanya tidak diam. Diam yang bergerak adalah diam berzikir kepada dan menuju Allah". Dalam sekali.


Saya termasuk orang kambuhan yang tak bisa diprediksi kapan dan di mana spesifik harus diam bersemadi. Kadang diam duduk sendirian di belakang rumah. Kadang menepi di sebuah jembatan layang, diam sembari ngopi dan ngudud sendiri. Kadang khusyuk di masjid begitu lama sampai istri mencari-cari (padahal sedang menghindari keributan di rumah untuk menenangkan diri). Kadang berjam-jam diam khusyuk sendiri di kamar baca buku. Kadang seharian menghadap layar laptop, menulis atau mengedit buku. Sering kali mulut ini jadi hemat bicara. Tapi, sebenarnya bisa jadi pikiran dan hati lebih riuh dari suara mulut saya.


Duh, sampai bagian ini kok malah kepala saya jadi pusing. 
Serius. Saat saya menulis dua paragraf awal, saya baik-baik saja. Saat saya masuk di kutipan Syekh Ibnu Taimiyyah, kepala saya mendadak jadi berat. 


Menulis kalau membawa pikiran orang lain, malah jadi agak mumet, rasanya perlu diselaraskan dengan pikiran penulis karena sering kali di sana ada pergulatan pikiran. Kalau setuju, enak. Kalau berbeda, saya sebagai penulis kudu berpikir apa yang melatarbelakangi saya punya pikiran yang berbeda. Sebelum saya menulis ini, saya tidak kepikiran bahwa saya harus membawa kutipan Ibnu Taimiyyah itu dalam tulisan ini. Namun, kutipan itulah yang akhirnya membuat tulisan ini makin panjang.


Sebelum menulis ini, saya juga membaca salah satu esai peserta kelas menulis, Kang Najullah, di grup WA. Lalu, saya komentari begini ”Menulis dengan banyak kutipan dan sumber bagi saya cukup lelah karena perlu menghubungkan dan menyesuaikan ide di kepala kita dengan kutipan-kutipan itu. Bisa jadi gagal, bisa jadi akan lebih baik”. Komentar tersebut ternyata ada hubungannya dengan tulisan ini. Sebelum saya mengutip Syekh, saya merasa baik-baik saja. Setelah saya cantumkan kutipan tersebut, saya malah makin gelisah. Saya tidak tahu karena apa. Apakah karena ada ilmu yang saya dapatkan dari kutipan Syekh sehingga membuka ruang kepada saya untuk berpikir dan merenung? Wallahu ’alam.


Owh, kepala saya makin menjadi. Istri saya mendadak ngamuk karena anak saya baru masuk rumah usai lama bermain di luar dan tidak cuci kaki dengan benar. Oh
, Tuhan kembalikan saya di waktu menulis dua paragraf awal! Saat itu saya benar-benar dalam kekhusyukkan kepada-Mu.


Kiara, 13 Agustus 2024

 

 _______

Penulis


Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatifnya yang sudah terbit berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023).