Friday, August 23, 2024

Puisi Muhammad Gibrant Aryoseno

Puisi Muhammad Gibrant Aryoseno



Surat Kabar Langit Ketujuh


Halaman 1


Surat Kabar Langit Ketujuh

mengandung serbuk sari yang lusuh.


Semut-semut menangis di pinggir geladak,

berusaha meraih gula yang semerbak.


Bunga-bunga di dalam keranjang layu

karena sekarang matahari menusuk tak tahu malu.


Beringsut petani yang memanen beras,

kalah dengan mereka yang membuat kepala panas.


Anak-anak muda berkeliaran di arena pertempuran,

menghadiri acara pernikahan bapak dan ibu ikan,

singgah sebentar saja sudah jadi asinan.


Halaman 2


Para pelukis dianggap gila 

karena kepala mereka meledakkan warna.

Dan entah bagaimana para keparat gila

mendapat tawa dari kepala mereka yang diborgol penjara.


Saya benang yang memerawani lubang jarum

demi serat cinta yang mengaum-ngaum

ketika lampu menerangi saya dan berdecak kagum.


Gelas kopi di pagi hari berseteru dengan piring mi di tengah malam

meributkan siapa yang pantas memenangkan pertandingan kalam

dan siapa yang pantas terjun ke neraka jahanam.


Sirik tanda tak mampu,

tapi keluarga kami tidak pernah makan lengkap setiap waktu.

Empat sehat, ibu menunggu.

Lima sempurna, bapak turu.


Badut sirkus kebingungan mencari topeng anyar

sebab di toko kejujuran harganya menggelepar.


Bapak presiden yang baik hati,

tolong bantu rakyatmu yang kesepian ini.

Kalau tidak mampu turunkan harga,

setidaknya perbanyak lapangan cinta.


Halaman 3


Piala dengan pilar dibiarkan berkarat

dan orang-orang memuja barisan bangsat.


Halaman buku sang penyair kini meleleh

melihat akang-akang dan teteh-teteh menoreh

pada negeri yang kepalang aneh.


Ibu guru mengamuk melulu

melihat Budi membangkang bertalu-talu.

“Budi punya dendam dengan kelas ini, Bu!” 

teriak Ani sambil merogoh saku

mengambil uang seratus ribu.

“Cepat proklamasikan kekacauan di kelas ini, Bu!” 

tegas Ani menggurui ibu guru.


Halaman 4


Seratus dua puluh delapan ribu sandal mati dibunuh rindu.

Delapan ratus tiga belas langit diperkosa hujan.

Seribu lima ratus kuda gantung diri dengan damai di hatimu.

Dan tujuh belas obat sakit mata lebih peduli mulut bau

dibanding mata tuan mereka yang sudah layu.


Dijual tanah untuk para penghuni surga.

Harganya cuma iri dan dengki saja.

Diskon untuk mereka yang suka berdusta.

Gratis untuk mereka yang menganggap orang lain gila.


Lowongan kerja untuk para hati yang masygul ada di pojok bawah,

katanya kita disuruh merawat diri dan rajin ibadah.


Turut berdukacita atas berpulangnya:

Hati Nurani, yang hilang ditelan bumi.

Anak-Anak, yang harus memakan sisa dunia.

Asmaraloka, yang koyak di antara dua rumah ibadah.

Nasi Rakyat Jelata, yang menikah dengan pemenang suara.

Perempuan, yang kalau mau didengar harus bersusah payah membuat makanan

atau setidaknya perawan seperti Joan.

Ayah, yang selalu lelah, tabah, dan payah 

menunggu waktu tiba menurunkan titah.

Sarjana/Nelayan, yang kalau melaut pilihannya cuma makan angan atau angin,

di tengah ombak susah payah mondar-mandir mencari sesuap asin.

Penyair, yang lelah merajut kata-kata,

entah oleh siapa tulisannya akan dibaca.


Halaman 5


Surat Kabar Langit Ketujuh

mengandung serbuk sari yang lusuh.

Ketika serbuk sari jatuh ke kepala putik dengan gaduh,

tim penerbit berkata, “Aduh!”


______

Penulis


Muhammad Gibrant Aryoseno, lahir di Kulon Progo, DIY. Biasa menulis novel, cerpen, dan puisi. Karya-karyanya dapat dijumpai di beberapa media daring, termasuk di laman Instagram-nya (@gibrantha). Novelnya “Machine with a Heart” adalah pemenang Wattys Indonesia 2022 kategori fiksi ilmiah.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com