Friday, August 2, 2024

Sepasang Ingatan Tua | Cerpen Satria Al-Fauzi Ramadhan

Cerpen Satria Al-Fauzi Ramadhan



Hari ini si Penulis ulang tahun. Ini merupakan kelima belas kali ia merayakan ulang tahun seorang diri. Ia tinggal di sebuah kampung yang tidak terlalu ramai. Tetangga hanya debu yang semerbak di udara dan terempas angin, lantas lenyap entah ke mana. Ia benar-benar merasa sendiri di dunia ini. Istrinya meninggal di tahun ke lima setelah pernikahan mereka. Dada sang Istri telah digerogoti oleh sebuah kanker jahat. Kemuskilan yang membuat si Penulis sangat terpukul. Namun, rimba raya kehidupan yang penuh kemuskilan-kemuskilan lain, menuntutnya untuk terus menjalani hidup tanpa ampun. 


Istrinya merupakan seseorang berparas cantik dan anggun yang sering dijulukinya sebagai Dewi Air Muara (ini bisa dilihat dari sajak-sajak yang telah ditulis). Sang Istri bersama si Penulis memimpikan ingin mempunyai seorang anak lelaki yang sifatnya akan menurun dari gabungan sifat mereka berdua. Bahkan sang Istri membayangkan seperti apa wajah si anak kelak.  


“Hanya Tuhan yang bisa berkehendak seperti apa anak kita kelak,” ucap si Penulis.


“Tapi aku juga bisa berkehendak dalam mimpiku,” jawab sang Istri dengan nada datar. 


Meskipun si Penulis merupakan seorang penulis yang tidak diragukan kepiawaiannya dalam meramukan kata-kata, ia sering dibantah oleh kalimat spontan dari sang Istri. Sekakmat! Jika sudah terjadi demikian si Penulis akan terdiam untuk beberapa saat. Ia mencoba mencari topik yang lain. 


Sebagai penulis ia tidak pernah sehari pun luput menulis. Ia tidak ingat sejak kapan ia menjadi penulis. Namun, setiap ia ditanya oleh wartawan tentang hal tersebut, maka jawabannya ialah bahwa ia menulis sejak sekolah menengah. 


Setelah sang Istri meninggal dunia, si Penulis sempat berhenti menulis untuk beberapa bulan. Ia jatuh dalam keterpurukan. Menjalani hari-harinya dengan wajah kusut, gelap, langkah yang carut marut. Sungguh ia tidak melakukan apa-apa selain tidur, makan, dan tidur lagi. Para redaktur koran lokal berkali-kali menghubunginya, tapi ia sama sekali tidak bergairah untuk menulis kembali. Hingga suatu hari ia terbangun dari mimpinya. Dalam mimpi itu ia bertemu Dewi Air Muara—mendiang sang Istri—mengucapkan sesuatu yang tidak pernah diucapkan sewaktu masih hidup: ‘menulislah!’


Dengan demikian, Ia mulai menulis lagi meskipun seolah-olah ada sebuah rantai yang mencengkeram kedua tangannya. Ia menulis dengan tema-tema baru. Para redaktur koran lokal menangkap hal tersebut dengan hangat. Jagat kesusastraan heboh. Seorang penulis yang terkenal dengan gaya menulis berani, penuh api, sinis, dan menggelitik kini menulis dengan nuansa romantis dan melankolis. Lantas ia diundang di berbagai seminar. Namun, tidak satu pun ia menerima. Ia hanya ingin duduk di depan meja tulis, dan menulis, dan menangis. 


Di atas meja tulis ia selalu meletakkan sepasang sepatu tua berwarna cokelat (ini dilakukan setelah ia mulai menulis kembali, sebelum-sebelumnya tidak). Ada sebuah motif cantik di bagian atas. Bagian dalamnya terasa empuk jika dipakai. Meskipun demikian, ia memakai sepatu ini hanya beberapa kali, itu pun saat hari-hari penting. Sepatu ini merupakan hadiah ulang tahun yang ke tiga puluh tahun, hadiah dari mendiang istrinya. Diberikan persis saat ia sedang menulis di depan meja tulis. Tangan cantik nan lembut itu membelai pundaknya. Lantas mebisikkan sebuah ucapan selamat ulang tahun dengan sedikit embusan napas yang kalem dan halus. Setelah memberikan hadiah, sang Istri berkata, “Seharusnya aku memberimu hadiah seorang anak.” 


Si Penulis sontak memeluk tubuhnya. Terjadi semacam adegan puitis yang sulit untuk digambarkan. Air mata sang Istri tergerai. Sebuah isak tangis yang senyap. Senyap dan sepi. Di pelukan Si Penulis sang Istri berucap kembali, “Kita sungguh mendambakan seorang anak lelaki, bukan?” 


Si Penulis tidak menjawab, sesungguhnya ia sudah menerima keadaan. Lebih dari itu, ia sudah cukup bahagia bisa hidup bersama istrinya. Tanpa membuahkan sesuatu yang mungkin lebih berharga, ia tidak digentayangi oleh kesedihan. Namun, tidak demikian dengan Istrinya. Ia belum sepenuhnya bersahabat dengan kenyataan. Di malam hari sang Istri kerap menangis. Pernikahan tanpa membuahkan sekuncup bunga harum adalah sesuatu yang hampa, pikir sang Istri. Si Penulis sudah berkali-kali berusaha menenangkan sang Istri. Dan rupanya sebuah mimpi itu—mimpi memiliki seorang anak lelaki—merupakan mimpi yang abadi. Maka mau tidak mau si Penulis harus menampung mimpi itu. Lagi pula ia percaya bahwa sepasang suami-istri haruslah bersedia saling berbagi mimpi. 


Dan mungkin itulah alasan mengapa si Penulis selalu meletakkan sepasang sepatu tua itu di atas meja tulis. Ada sebuah memori yang terekam di antara meja tulis dan sepatu itu. 


Pada ulang tahunnya kali ini, si Penulis memutuskan untuk bergadang di depan meja tulis. Ia akan menulis apa saja yang terlintas di kepalanya. Sebelum duduk, ia terlebih dulu menyeduh secangkir kopi pahit. Dan sebungkus rokok telah dibelinya di Toko Madura siang tadi. Kini ia siap bertempur dengan malam. Bertempur dengan kerinduan dan kemuskilan. 


Sesaat setelah duduk, sebuah foto polaroid yang tertempel di pinboard menyita perhatiannya. Juga sepatu dan kertas itu. Semua yang ada di dekatnya kini menyita perhatiannya. Suara cecak yang berderik. Detak jam dinding. Bahkan detak jantungnya sendiri bisa ia dengar kali ini. Keenam indranya seolah-olah berfungsi lebih baik dari biasanya. Ia bisa mencium aroma tanah basah di luar. Juga aroma pesing dari kamar mandi. Tubuhnya merasa dingin. Ia meraih kopi lantas diminum. Sebatang rokok ia keluarkan dari bungkusnya. Dibakar dan terciptalah semerbak aroma tembakau. Matanya masih memandangi foto polaroid. Sepasang pengantin, berpelukan, saling balas senyum. 


Air mata si Penulis melentik dan menetes. Membasahi kertas-kertas yang tergelar megah di atas meja. Ini hari ulang tahunku, ulang tahunku, berulang-ulang, setiap tahun, seorang diri. Ia tidak sanggup menulis apa pun malam ini. Kepalanya ditaruh di atas meja—menumpuk kertas-kertas. Kepalanya menjadi sebuah sajak tiga dimensi. Ia tertidur. Lelap sekali.


*** 


Persis seperti suara ketukan pintu, lantas suara bisikan dokter saat mengatakan sebuah kata s-k-i-z-o, lantas suara perempuan, dan suara-suara lain meraung mengganggu ‘tidurnya’. Si Penulis terbangun. Suara ketukan pintu masih terdengar. Sebelum beranjak ia mengusap wajahnya, mengucek kedua matanya. 


Ketika pintu dibuka terlihat seorang pemuda setinggi dirinya berdiri tegak. Si Penulis memerhatikan sekujur tubuh si Pemuda. Dan sebaliknya, mata si Pemuda berjalan dari bawah ke atas dan berhenti di mata si Penulis. Saling bertatapan. 


“Apakah benar ini rumah penulis Purba Budi?” 


“Ya, saya Purba Budi,” jawab si Penulis sedikit tegas, “ada keperluan apa, ya?” 


“Aku mencari sepasang sepatu. Sudah dua hari aku mencari alamat ini,” ucap si Pemuda sembari menunjuk kertas di tangan kirinya. 


“Beruntunglah jika benar Anda Purba Budi.” 


“Sepasang sepatu katamu?” 


“Ya, benar. Sepsang sepatu tua. Ada motif cantik di bagian atas. Bagian dalamnya terasa empuk jika dipakai. Itu sepatu milik ibuku.”


Si Penulis terentak. Detak jantungnya berpacu. Prasangka buruk mulai memaku pikirannya. Matanya kembali menelisik sekujur tubuh si Pemuda. Apakah, apakah mendiang istrinya pernah bermain belakang? 


Si Penulis masuk ke dalam rumah, meninggalkan si Pemuda begitu saja. Ketika keluar, ia sudah menenteng sepasang sepatu. Si Pemuda sontak tersenyum. 


“Ya! Itu dia sepatu ibuku.” 


Si Pemuda sangat ingin meraih sepatu itu. Ketika tangannya menjulur, si Penulis sontak menarik sepatu itu, menjauhkan dari tangannya. 


“Enak saja. Aku tidak percaya ini milik ibumu!” 


“Aku berani bersumpah!” 


“Siapa nama ibumu?” 


***  


Langit berangsur-angsur gelap. Tetesan air mata si Penulis terus melentik. Suatu pikiran merasuk, menyergap kepalanya. Tadi pagi—ketika si Pemuda mengucapkan nama ibunya—ia seketika mematung, jiwanya seolah-olah terbang melayang. Dan sebuah pisau menusuk tubuhnya hingga tembus. Sesaat kemudian ia masuk ke dalam rumah, meninggalkan si Pemuda. Mengunci semua pintu. Duduk di depan meja tulis. Sejak itu ia menangis. 


Ia menyobek kertas-kertas, menyobek polaroid. Semua yang ada di dekatnya ingin dia hancurkan. Malam semakin larut. Lagi-lagi, kepalanya disandarkan di atas meja—sobekan kertas-kertas tertumpuk. Air mata telah menjadi perekat yang sangat lengket. Matanya berangsur-angsur terkatup. 


Suara ketukan pintu, lagi-lagi meraung. Ia bangkit. Membuka pintu. Si Pemuda sudah berdiri tegak persis seperti kemarin. Mereka saling bertatapan.


“Aku mohon, berikan sepatu itu.” 


Si Penulis tidak menjawab apa pun. Matanya menyipit memerhatikan tubuh si Pemuda. Semakin lama ia memerhatikan, hatinya terasa semakin berdenyut. Pemuda ini, sangat mirip mendiang istrinya. Ia masuk ke dalam rumah meraih sepatu. Mata si Pemuda bersinar. 


“Biar adil, kuberikan kau hanya sebelah.” 


Si Pemuda tidak setuju. Ia ingin lengkap sepasang. Namun, si Penulis tetap bersikukuh. Hingga akhirnya ia menerima. Membawa pulang sebelah sepatu. 


*** 


Meja tulis yang karut-marut. Terdapat sobekan kertas, tumpahan kopi, dan sepatu tua yang kini hanya sebelah. Entah mengapa si Penulis merasa begitu lega setelah memberikan sebelah sepatu itu kepada si Pemuda. Mengingat semua hal itu, ia tertawa, keras sekali. Tangannya meraih sobekan polaroid. Dan ia tertawa semakin keras. Semakin keras. 


Sebuah ironi. Ketika tepat pukul sebelas malam, ia berhenti tertawa. Seisi rumah seketika hening. Senyap dan sepi. Ia tertidur. Lebih lelap dari biasanya. 


Kali ini, tidak ada suara yang mengganggu. Tidak ada raungan apa pun. Ia bangun dengan perasaan riang dan segar. Tidak ada ketukan pintu. Ia mengucek matanya. Melihat jam dinding. Pukul tujuh pagi. Meja tulisnya rapi. Tidak ada sobekan kertas dan tumpahan kopi. Dan sepatu tua itu berdiri lengkap sepasang.

 

Ia tertawa. Seakan menertawai diri sendiri. 


Mojokerto, 2024 


_______

Penulis


Satria Al-Fauzi Ramadhan, lahir di Jakarta, tahun 2005. Saat ini menetap di Mojokerto. Sedang menempuh pendidikan tinggi: Sastra Indonesia di Universitas Negeri Surabaya. Tulisan-tulisannya, baik fiksi maupun non-fiksi, telah tersebar di berbagai media. Ia bergiat di Komunitas Rabo Sore dan sedang merancang manuskrip kumpulan puisi pertamanya.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com