NGEWIYAK.com, KAB. SERANG -- Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah VIII Provinsi Banten dan DKI Jakarta menyelenggarakan kegiatan "Sarasehan Komunitas Budaya" pada Rabu (18/9) di Tegug Cafe dan Resto, Jalan Sengir, Desa Baros, Kecamatan Baros, Kabupaten Serang.
BPK Wilayah VIII merupakan unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang mengampu tugas dan fungsi pelestarian Cagar Budaya dan Objek Pemajuan Kebudayaan dengan wilayah kerja Provinsi Banten DKI Jakarta. Kegiatan ini dilaksanakan dalam upaya untuk membangun kemitraan dalam rangka menggali, mengidentifikasi, dan menyebarluaskan informasi mengenai kebudayaan, sebagaimana diamanatkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Kerja BPK yakni meliputi bahasa, sastra, teknologi tradisional, tradisi lisan, manuskrip, adat tradisional, ritus, permainan rakyat, olahraga rakyat, dan pengetahuan tradisional.
Pengundang peserta sekaligus moderator acara, Rasyid Ridho, mengatakan bahwa kegiatan BPK semacam ini pernah dilakukan sebelumnya di Tangerang. Kali ini dijadwalkan di Serang.
“Saya sebetulnya masih pemula untuk mengumpulkan teman-teman. Tapi, alhamdulillah saya bisa duduk di sini bersama teman-teman. Saya ucapkan terima kasih sudah berkenan hadir memenuhi undangan kami,” ujar Ridho yang juga pegiat Linggih Studio.
Kepala BPK Wilayah VIII DKI Jakarta dan Banten, Lita Rahmiati, dalam sambutannya mengatakan bahwa sarasehan ini dilakukan untuk membangun silaturahmi. Ia ingin mendengar suara-suara pelaku kebudayaan.
“Kita di sini satu keluarga sebagai pelestari kebudayaan. Saya harap ada efek jangka panjang dari pertemuan hari ini,” ujar Lita.
Pemantik diskusi dalam Sarasehan Komunitas Budaya ini adalah Hifdi Ridho, akademisi UIN Ciputat dan Pendiri Ciujung Institut. Hifdi melihat kebudayan di Kab. Serang yang antah-berantah ini perlu ditinjau kembali oleh para pelaku budaya, pemerintah, dan masyarakat setempat. Poin-poin yang disampaikan Hifdi di antaranya keterkaitan antara kebudayaan dan nilai ekonomi, inovasi dalam mensyiarkan suatu kebudayaan, misalnya bagaimana caranya agar orang-orang tidak memandang debus sebagai sesuatu yang menyeramkan dsb.
“Kita jangan risih dengan kebudayaan. Husein Haryanto mengatakan bahwa manusia tercerabut dari akar spiritualitasnya. Modernisme membuat manusia lupa. Saat ini kebudayaan seperti berjarak dengan kita. Kita harus kembalikan budaya kepada esensinya,” ujar dosen yang bergelar Penyair Kayseri tersebut.
Hifdi juga berharap pemerintah setempat bisa menyediakan ruang apresiasi kepada para pelaku budaya, misalnya berupa panggung atau sebuah galeri pameran atau pertunjukan.
Pemantik diskusi kedua dari seniman gerak Umah Budaya Kaujon, Putri Wartawati. Ia mengatakan bahwa modal seniman adalah kreativitasnya. Menurutnya, kreativitas pelaku budaya bisa menjadi peluang untuk dijual kepada publik dan peluang ini bisa dikerjakan bersama dengan pemerintah. Putri juga menjelaskan semua yang duduk dalam kegiatan ini bukan untuk saling menyalahkan.
“Saya dari Kramatwatu. Di sana saya merasa kering. Saya ingin bertemu dengan pemangku kepentingan agar pemetaan kebudayaan jelas dan terarah. Saat ini belum ada koneksi antara pemangku kepentingan dan pelaku budaya. Bagaimana agar semuanya bisa saling bersinergi, bisa difasilitasi. Aturan main pelaku budaya dengan pemangku kepentingan perlu ditulis dan diperjelas,” tegas Putri.
Peserta yang hadir dalam kegiatan “Sarasehan Komunitas Budaya” terdiri atas 51 lembaga/organisasi, yakni Kawasan Gerabah Center /Daya Desa Bumi Jaya, Linggih Studio, Komunitas Kembali Indonesia, Suluk Tanah, Konscarya - Konsep Foto Cagar Budaya, Ciujung Institute, Tirtadaya, Sanggar Anak Sungai, Klinik Pusaka Banten, Chip Banten, Tema Bambu Desa, Tegal Maja, Margagiri, Kampung Seni Yudha Asri, Ubrug Giri Muda Cikeusal, ACN Musik Production, Desa Karya Production (D'Arya), Lam Alif Pictures, Art Digital, Bayang Tirta, Komunitas Menulis Pontang-Tirtayasa (#Komentar), Komunitas Musisi Serang Utara (KMSU), Pelestari Cikoneng Lampung Say, Teater Nol Banten Jawilan, Kesti TTKKBI Kab. Serang, New RBG (Jefri Yonansef) Keragilan, Viola Musik, Komunitas Golok Ciomas, Peguron Pencak Silat Maung Bodas Anyer, Daya Desa Pamarayan, Daya Desa Mander - Bandung Bobokoh, Kebuyutan Picture, Kesenian Calung – Cikolelet, Pepetan Wewe – Kesampangan, Kaukus LH Serang Raya, Bhakti Budaya Padarincang, Sanggar Sibadui Ciruas, Padepokan Bandrong Renggong Ampel, Pasentra (Paguyuban Seni Budaya Tradisional), Sanggar Bastari, Pencak Silat Terumbu Prabujaya, Padepokan Pencak Silat Cakra Sejati Panglipur, Sanggar Ratu Padarincang, Yayah MUA (Pengantin Kaserangan ), Daya Desa Panyabrangan Cikeusal, IPSI Kab. Serang, Komunitas Literasi Sejarah Islam, Komunitas Debus Kab. Serang, Komunitas Manuskrip Serang, Tim Medsos, serta perwakilan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Serang dan BPK Wilayah VIII.
Acara lainnya dalam sarasehan ini adalah berbagi cerita atau bertukar pikiran. Beberapa peserta begitu antusias bertanya kepada narasumber. Salah satunya adalah Rahmatullah, pegiat Sanggar Bakti Budaya dari Padarincang. Rahmat menyampaikan bahwa aktivitas kebudayaannya selama ini sering kali dianggap tabu, pamali, angker oleh warga dan pemuka agama setempat. Padahal, menurutnya aktivitas tersebut merupakan potensi untuk digali.
“Tidak menutup mata, sebelum Islam datang, ada kerajaan Hindu-Buddha. Kami sekuat mungkin jelaskan kepada agamawan setempat. Dari Sanggar Bakti Budaya memohon kepada dinas setempat, tolong bimbing dan wadahi kami di semua elemen. Tentang batasan-batasan seninya. Memberikan koridor agar kami tetap ada di tengah masyarakat modern ini,” ujar Rahmat.
Kabid Kebudayaan Dindikbud Kab. Serang, Leni Yuliani, juga turut hadir membersamai peserta. Ia menyampaikan bahwa kegiatan pada hari ini adalah silaturahmi untuk saling mengenal satu sama lain.
“Saya masih baru di sini. Masih belajar. Dan adanya forum ini adalah bukan forum saling mengadili, tapi forum saling berbagi. Saya tampung dan dengar apa yang para peserta sampaikan,” ujar Leni.
Sebelum penutup, Kepala BPK Wilayah VIII DKI Jakarta dan Banten, Lita Manan, menanggapi dan ia memahami bahwa kebanyakan pertemuan sarasehan adalah ajang curhatan.
“Saya mengapresiasi komunitas yang bisa berjalan sendiri. Tanpa bantuan uang. Yang saya dapat simpulkan adalah bahwa teman-teman butuh bimbingan. Saya mendorong BPK untuk melakukan ini agar bisa saling mengenal dan tahu poin apa yang teman-teman inginkan,” jelas Lita.
(Red/Encep)