Friday, September 20, 2024

Cerpen Andria Septy | Serbuk Beracun

Cerpen Andria Septy



Pada akhirnya, aku bekerja di sebuah distributor obat-obatan farmasi. Setelah sebelumnya bekerja di aneka perusahaan yang bikin tertekan setengah mati. Siapa yang tahu, aku didera gejala depresi, lantaran bukan bagian dari pekerjaan yang sesuai angan-angan. Impianku ialah menjadi atlet atau pebulu tangkis nasional. Seperti yang kucita-citakan dulu sewaktu kecil. Oke. Setidaknya, aku pernah menjadi atlet tingkat daerah. Aku memang bukan salah satu pemain ganda putri yang disegani. Lain halnya mantan pasanganku, Venda. Ia sempat juga menjadi pemain profesional dan gonta-ganti pasangan puluhan kali. Namun lantas berhenti di tengah jalan. Singkat kata, ia bekerja sebagai Insinyur Struktural di sebuah perusahaan besar. 


Semakin besar kepalanya ketika ia lebih moncer berkarier di bidang fotografi. Aku tidak yakin, apakah Venda masih ingat padaku atau tidak. Singkat cerita, kuberanikan diri menghubungi dirinya.

 

Venda menerimaku dengan tangan terbuka dan penuh kelembutan. Tutur manis fotografer berambut hitam sebahu itu mengalir santun. Lantas, kami bertemu janji di sebuah kedai kopi. Kedai kopi kawasan agak pinggir kota. Aku memasuki kedai yang sepi itu dengan harapan berbunga. Berkenderungan bangga oleh karena prestasi dan ketenarannya. Kepalaku jadi berkunang-kunang ketika ia mengembangkan senyum.


Ia menawariku secangkir kopi pahit. Tentu saja, dengan gelagatnya yang masih karismatik. Sedari dulu, kusadari fotografer tenar itu tak bisa kusentuh. Keengganannya menikah pasti karena status ningrat. Di mana mementingkan bibit dan bobot bakal calon suami. Aku tahu. Aku tak masuk hitungan. Aku hanya berasal dari keluarga penjahit. Satu-satunya dalam keluarga yang bekerja sebagai pegawai hanyalah aku. Selain penjahit, sebagian besar keluarga kami berprofesi sebagai olahragawan. Bahkan, ayahku masih menjadi pelatih bulu tangkis di Malaysia. Ia sudah melatih hampir dua puluh lima tahun silam. Barangkali empat tahun lagi akan pensiun. Saat aku memutuskan pindah haluan, berkuliah dan menjadi buruh perusahaan, hubunganku dengan ayah menjadi renggang. Selama hampir dua belas tahun. Ia menginginkanku menjadi seorang atlet sama seperti dirinya. Membawa harum nama keluarga, bangsa, dan negara katanya. Hidupku memang diambang ketidakpastian. Aku punya alasan kuat. Aku dan Venda tak bisa menyatu oleh karena darah birunya itu. 


***


Setelah pertemuan di pameran foto tunggalnya dan juga kedai tempo hari, aku kabur karena alasan kekanak-kanakan. Lupa mematikan air keran sewaktu mandi dan setrika bajuku (agaknya) masih belum kucabut dari stop kontak, begitu kataku. Aku menelepon Venda pagi ini. Aku mengajaknya bertemu dengan tajuk pembicaraan kami belum tuntas.


“Wah, kebetulan ini minggu-minggu tersibukku. Ada pameran sampai akhir bulan. Bagaimana kalo awal bulan depan?” selorohnya lengkap dengan suara yang bagiku menyejukkan itu.


“Tidak bisa. Aku harus bertemu kamu sekarang!”


“Oh, sepertinya penting banget ya?” sahutnya sopan. “Aku di studio baruku di Tangerang. Aku lumayan lengang sebelum jam dua siang. Kalo mau, kamu bisa ke sini nanti alamatnya aku kirim.”


“Aku segera meluncur ke sana.” 


Aku langsung tancap gas. Sudah empat puluh sembilan hari lamanya aku tiada tidur nyenyak. Ada perasaan bersalah oleh karena meninggalkan Venda sebelum pembicaraan tuntas karena keberpengecutanku. Terlebih kala itu, ia sampai mencuri-curi waktu bertemu di tengah pameran foto tunggalnya di Perpustakaan Nasional. Dari mantan atlet, sampai pemain yang masih aktif juga pelatih pun hadir pada pameran itu. Selain mereka, ada sederet seniman ternama yang Venda kenal baik. Boleh dikata, Venda memang lumayan terkenal di kalangannya. Hasil karya fotonya mengusung tema-tema eksperimental. Selayaknya puisi dan lukisan dalam bentuk foto. Sederet seniman pun mengaku begitu mengaguminya.


Kini, Venda mendorong pintu studio dengan senyum penuh ketenangan surgawinya itu. Ia tampak segar dengan rambut barunya dan antusias ketika bersemuka denganku. Seperti biasa, ia memangkas rambutnya lagi dan lagi bilamana mulai panjang. Venda masih terlihat seperti mahasiswa semester awal, kendati sudah kepala tiga.


Diingatkan oleh kenyataan, aku semacam belum terbiasa melihatnya bunting. Dari koran yang kubaca Sabtu lalu, kira-kira kandungan sudah memasuki tri-semester kedua. Mengapa sampai sebegitu tega merahasiakan ini dariku? Bodoh betul! Mengapa baru tersadar, kalau pameran tunggal kala itu dia tengah mengandung? Apa karena ia mengenakan pakaian hitam longgar, ketimbang sekarang yang terlihat seperti bumil sungguhan? Aku gundah gulana dan butuh segera penjelasannya. Aku merasa telah ditipu. Sudah. Sudah. Oke. Baiklah. Jangan mengajariku. Aku tahu. Ini penjabaran lain dari kata cemburu.   


“Kenapa malah bengong, sih? Katanya mau ngomong!” seru Venda bersemangat seperti biasa. Aura bintang terpancar dari wajahnya, yang bagiku cantik meski tanpa polesan. Ia menjamuku dengan kopi instan hangat. Aroma kopi bikin terngiang-ngiang masa kami berkuliah di Surakarta dulu.


“Aku cuma mau bilang, selamat sudah menjadi fotografer terfavorit versi Majalah Basura.” 


Ia mengernyit sekaligus melongo. Raut wajah kakunya membuat kegugupanku tampak semakin terang saja. Tenggorokan pun kering sedikit mau basah. “Ah,  jauh-jauh ke sini, cuma itu yang mau kamu bilang?”


“Sebenarnya, memang ada lagi yang mau kukatakan,” tukasku kikuk. Telapak tanganku basah. Aku mengelap tangan dan jidat dengan sapu tanganku sendiri tak berkesudahan. Ah, tentu saja. Pertanyaanku selanjutnya semacam bisa ditebak dari segala penjuru mata angin.


“Jadi mau ngomong apa nih, nggak perlu sungkan-sungkan. Kayak bukan teman saja.” tukasnya dengan rekah senyum menghiasi bibir tipisnya itu. Sekarang ia terlihat seperti aura bumil pada umumnya. Yang mana tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.


“Baik. Begini Venda…, siapa bapak dari anak dalam kandunganmu?”


Venda memutar kedua bola matanya dengan helaan bosan. Aku paham ia akan merespon sedemikian. Tetapi aku tahu pun. Venda bergegas pasang wajah ramah walaupun suaranya berkesan angkuh. “Sebenarnya kedatanganmu, bermaksud mencari tahu siapa suamiku, ya?”


Aku mengangguk dan lantas melongo takjub. Sebagaimana anak kecil yang meminta belas kasihan. Venda mengeluarkan pendapatnya tanpa belas kasih.


“Ah, seharusnya kamu tidak usah jadi ketua klub baca, kalo membaca saja malas-malasan. Aku sudah menjelaskannya di koran hari Sabtu lalu,” singgungnya yang sama sekali tak membuatku tersinggung. Walaupun aku seperti dihinggapi awan mendung oleh karena kata-katanya itu.


Sekonyong-konyong tatapannya membuatku kesulitan bernapas. Betapa memendam rindu dan lagi kasih tak sampai senelangsa ini. Kakiku lemas seketika melihat foto pernikahan berbingkai putih di atas meja kerjanya. Aku tahu. Suaminya seorang peneliti botani. Ia membudidayakan anggrek hitam, juga tumbuhan langka apa saja. Tahu-tahu, lenyap begitu saja setelah menghirup serbuk bunga langka di Kersik Luway, Kutai Barat. Bahkan, bunga langka itu pun entah bernama ilmiah apa. Belum ada penelitian lebih lanjut. Harus ada penanganan lebih intens terkait ini. Terlebih lagi untuk menemukan serbuk beracun misterius itu. Aku tahu, Venda masih berbelasungkawa. Tetapi mengapa ia memilih lelaki yang bukan dari kalangan ningrat?


Itu hal yang ingin kupertanyakan. 


Ketiga karyawan Venda berlipstik warna gelap, segelap pakaian para dukun itu saling bersitatap. Mereka buru-buru menarikku untuk tak menyinggung tentang suaminya. Seberapa detail aku menjelaskan dan mengatakan agar ikhlas, Venda tetap bersikeras ayah dari si jabang bayi masih hidup. Kenyataannya, ia sedang bunting. Ini menarik. Mengapa aku seolah tak boleh mengetahui kehidupan pribadinya? 


Lebih dari itu kalau boleh, aku bisa menjadi suami pengganti. Sebagai pengganti ketidakterbiasaan ini, ketiga karyawannya menjurus iba kepadaku. Bahkan ketiganya mengelus-elus pundak dan punggungku. Sebelum terjadi sesuatu, aku benar-benar butuh obat penenang yang reaksinya selekas serbuk sari beracun misterius itu. 


Gunung Kelua, 2022


______

Penulis


Andria Septy, lahir dan besar di Samarinda, Kalimantan Timur. Menyelesaikan studi  Ilmu Pemerintahan di FISIP, Universitas Mulawarman. Emerging Writer MIWF 2020. Sejumlah karya telah tersiar di surat kabar, situs daring dan beberapa antologi bersama. Di antaranya kompas.id, Koran Jawa Pos dan Koran Tempo. Belajar sastra berbagai komunitas sejak 2017.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com