Friday, September 6, 2024

Cerpen Diana Rustam | Aku Bersaksi, di Mataku Nun Tidur

Cerpen Diana Rustam



NUN


Nun tahu bahwa lima menit yang lalu, ia sudah menelan pil antibiotik untuk batuknya yang tidak kunjung reda selama 14 hari. Di sebuah buku catatan kecil, sudah pula ia mencatat dosis dan waktunya: tiga kali satu, pukul 06.00, pukul 14.00, dan pukul 22.00. Tidak lebih tidak kurang. Akan tetapi, ada suara di kepalanya yang mengatakan bahwa ia belum meminum pil antibiotik pagi itu.


Duduk di meja makan, Nun memandangi kemasan pil antibiotik yang sudah berkurang empat butir di tangannya. Tiga butir sudah ia telan kemarin--pada waktu yang sudah ditentukan.


Lantas dengan perasaan gelisah, laki-laki itu berbicara dengan dirinya:


+ “Aku sudah menelannya tepat pukul enam dengan segelas air putih setelah makan roti lapis. Aku mencatatnya.”


- “Kau mencatatnya, tapi belum tentu kau menelannya. Lihat, kau belum membubuhi paraf di catatan itu.”


+”Soal paraf, mungkin aku hanya lupa.”


- “ Tidak. Jika belum paraf berarti pil itu belum kautelan.”


Nun berhenti sebentar dari percakapan dengan dirinya. Kecemasan dan kenyataan menjadi abu-abu tanpa garis batas yang tegas dalam ingatannya. 


“Aku menelannya tapi mungkin aku juga tidak menelannya,” Nun melanjutkan. 


Mata Nun kemudian mencari ke mana perginya pil ke empat itu. Sehingga, ia bertanya-tanya pada dirinya, haruskah ia menelan satu pil antibiotik lagi?


***


Bondol, tetangga Nun, menceritakan bahwa ada sepasang mata yang tertangkap basah mengintip ke dalam bilik tidurnya pada suatu malam. Mata itu mencuri lihat dari celah-celah lubang angin. 


Saat menceritakan perihal sepasang mata itu kepada Nun, Bondol kelihatan tidak bisa menyembunyikan kemarahan. Ia mengatakan bahwa sepasang mata itu telah menelanjangi kehormatan istrinya dan menginjak harga dirinya.


“Betulkan?” kata Bondol, matanya melotot ke arah Nun. “Istriku itu sangat pemalu, dia tidak pernah memperlihatkan dirinya di depan laki-laki mana pun kecuali aku dan bapaknya.” Bondol melanjutkan. “Lalu tiba-tiba saja ada mata kurang ajar, diam-diam menikmati istriku yang sedang tidur di dalam kamar,” perkataan Bondol susul menyusul.


“Seperti apa mata itu?”


“Bagaimana bentuknya, aku tidak tahu persis. Tapi mata itu mata binal. Tatapannya menjijikkan.”


Penuturan Bondol membuat darah Nun tersirap, seolah-olah semua darah berbondong-bondong berkumpul di puncak kepalanya.


“Kalau kau jadi aku, akan kauapakan orang itu?” serbu Bondol kepada Nun. 


Belum sempat Nun menjawab sebab pikirannya mengambang, Bondol bersuara lagi, “Akan kuhabisi pemilik mata itu. Sebelum kubunuh, kucongkel dulu sepasang mata kurang ajarnya,” Bondol mengacungkan sebilah badik yang ia tarik dari pinggang. Sampai berbusa dua tepi mulut Bondol bercerita bagaimana malam itu ia berusaha mengejar pemilik mata yang tidak jelas sosoknya. “Sayang, orang itu lolos! “ tutup Bondol sembari mendengkus kasar. 


Dag-dig-dug jantung Nun. Ujung badik itu seolah-olah sedang dialamatkan kepadanya. Dan tampak baginya bahwa, Bondol telah bulat tekad dengan ancamannya. Ia kenal Bondol, seorang yang tidak pernah berpikir panjang.


Nun berpikir dalam-dalam dan perlahan-lahan disatroni sepasang mata mesum. Ia mulai mencari-cari dirinya dalam peristiwa itu. Entah dari mana datangnya, Nun malah mencurigai dirinya. Apakah sepasang mata itu miliknya? Tetapi ia yakin bahwa, ia tidak mungkin melakukan hal hina dan memalukan seperti itu. Nun mulai menghubungkan sepasang mata dan keragu-raguannya kepada pil-pil antibiotik: Sudah ia telan atau belum ia telan; mata itu miliknya atau bukan miliknya.


Nun, mengajukan pertanyaan kepada dirinya, “Adakah aku sudah melakukan sesuatu tapi aku lupa? Ataukah aku telah melakukan sesuatu di luar kesadaranku? "


***


Berbaring di atas ranjang, Nun tidak berani menutup mata. Ia sedang mengawasi dirinya, jangan sampai melakukan sesuatu yang aneh. Dan ia masih menelan pil antibiotik yang dibuntuti catatan-catatan dan swafoto dirinya sedang menggigit pil itu. Sebuah dokumentasi untuk meyakinkan bahwa ia sudah melakukan segala sesuatu dengan benar tanpa kesalahan sedikit pun, bahwa waktu dan jumlah tidak keliru.


Tidak tidur malam selama tiga hari membuat Nun lesu. Matanya yang lelah dan redup dipaksa untuk tetap menyala. Dan selama tiga hari, ia selalu bertanya pada Bondol, apakah mata yang mencuri lihat di ventilasi itu kembali lagi atau tidak.


“Sudah tiga hari tidak tampak,” jawab Bondol. “Mungkin sudah kapok sejak tertangkap basah malam itu.”


Jawaban Bondol yang lega justru membuat Nun gelisah. Ia semakin curiga, barangkali mungkin mata itu adalah matanya. Sehingga, malam ke empat, Nun memutuskan untuk tidur, tidurnya begitu pulas, sebab mata yang menahan lelah tiga hari membalas tunai kantuknya.


Bangun dari tidur yang pulas, Nun tidak bisa menahan diri untuk segera bertanya pada Bondol, padahal hari masih terlalu pagi. 


“Tidak ada," jawab Bondol. “Tapi aku sempat mendengar suara mencurigakan dari tembok luar bilik kamarku. Aku berdehem keras dan suara itu hilang. Kenapa?”


Nun mengangguk-angguk. Ia berpura-pura menunjukkan gelagat prihatin dan menyembunyikan gelisah, agar Bondol tidak curiga bahwa sebenarnya ia sedang mencurigai dirinya sendiri. “Aku hanya tidak menyangka di lingkungan kita ada orang seperti itu,“ jelasnya kemudian. 


“Ventilasinya sudah kututup dengan tripleks. Tak usah kuatir,” timpal Bondol.


Keterangan Bondol lagi-lagi membuat pikirannya menjadi susah payah menimbang-nimbang antara “Dirinya” atau “Bukan dirinya”.


Dan demi mengawasi dirinya sendiri, Nun memasang dua kamera pengawas. Satu ia letakkan di luar bilik tidurnya dan satu lagi ia pasang di dalam bilik tidurnya.


KAMERA PENGAWAS


Mata Nun menatapku. Ia berbicara kepadaku dengan wajah yang menderita. Ia berkata, “Matamu adalah mata yang tak pernah tidur. Maka tunjukkan bahwa bukan aku pelakunya.”


Nun mengucapkan kalimat itu berulang-ulang. Dan seperti sebuah keharusan yang tidak boleh tidak, ia terus-menerus memeriksa keadaanku, apakah aku sudah bekerja dengan baik atau belum. 


Terang bagiku bahwa Nun tak yakin letakku sudah cocok sehingga ia berputar-putar dalam biliknya untuk mencari tempat yang pas untuk aku tempati, tempat yang pas untuk aku bisa mengawasinya sepanjang malam. Paling tidak itu yang kutangkap dari perkataannya.


“Aku mohon, awasi aku dengan baik. Aku ingin tidur dengan tenang. Kau adalah saksi mata." Sesungguhnya aku tak suka mata Nun. Mata itu menatapku dengan tatapannya yang gelisah. 


Duduk di tepi pembaringan, Nun menatapku hampir sepanjang malam, dan membuang separuh waktu istirahatnya. Sebelum pagi ia bangun dengan tersentak seperti diguncang gempa, dan tergopoh-gopoh bertanya padaku, “Apa yang sudah aku lakukan malam ini?” lantas ia memeriksa layar laptopnya dengan saksama.


Ah, gila! Hanya untuk meyakinkan dirinya bahwa aku telah mengawasinya dengan baik, lelaki itu mengawasiku seolah-olah aku telah berbuat curang padanya.


Dan aku bersaksi, di mataku Nun tidur.



Makassar, 2024



______

Penulis

Diana Rustam lahir di Kolonodale, Sulawesi Tengah. Saat ini berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan. Menyukai puisi dan cerita pendek, dan belajar untuk menuliskannya. 



Kirim naskah ke redaksingewiyak@gmail.com