Friday, September 27, 2024

Cerpen Maulidan Rahman Siregar | Celaka

Cerpen Maulidan Rahman Siregar



Riri dan Rini berlari-lari kecil di ruang tamu. Mereka akan menuju masjid. Mereka tak mau telat karena sudah janji dengan Ustaz Ridwan yang akan mengajar Iqro hari ini. Bunda yang sedang menonton tivi terkaget-kaget, kenapa Riri dan Rini mau melewatkan sinetron favorit mereka. Ada janji apa lagi dengan Ustaz Ridwan, batin bunda berbisik.

Tak hanya Riri dan Rini yang menuju masjid, di kampung ini, anak-anak seumur mereka memang suka ke masjid. Awalnya memang disuruh masing-masing orang tua mereka. Tak cukup bertahun-tahun, Ustaz Ridwan sudah bisa membuat anak-anak bau kencur tersebut gemar ke masjid. Pembelajaran yang dilakukannya selalu menyenangkan. Hal ini yang selalu Riri dan Rini ceritakan kepada Bunda setelah pulang nantinya.

Ustaz Ridwan lulusan universitas luar negeri. Bahasa Arabnya bagus, dan yang paling mengagumkan, suara lantunan Qur'an Ustaz terasa betul menggetarkan hati. Bunyinya persis seperti yang di kaset-kaset.

“Nak, jangan lari-lari! Nanti keinjak taik,” Bunda menasihati kedua gadisnya yang sedang kasak-kusuk mengenakan kerudung. Riri berhenti lari, sedangkan Rini menuju kamar mandi. Rini mau pipis. Di masjid, airnya susah dan WC-nya jarang dibersihkan. 

Kamar mandi di masjid-masjid kampung memang jarang terurus. Ustaz Ridwan pernah mengeluhkan perkara ini ke pengurus masjid. Hanya saja sampai sekarang belum juga ada perubahan. Makanya, daripada pipis di WC masjid, sesempatnya Riri dan Rini pipis dulu di rumah.

“Cepat sedikit, Rini! Aku mau pipis juga," kata Riri di samping Ayah yang sedang bikin puisi. Riri tersenyum tipis kepada Ayah dan berusaha menyembunyikan perihnya menahan pipis. Bunda lanjut menonton tivi. 

“Tunggu sebentar, jaringan internetnya lemot,” kata Rini seperti tidak ingin berkata. Rini sengaja bawa handphone ke kamar mandi. Selama di rumah mereka berdua memang diberikan kebebasan menggunakan handphone oleh Ayah dan Bunda.

“Ayolah Rini, cepat sedikit,” rengek Riri di depan pintu. Ayah yang sedari tadi bikin puisi di handphone mulai tidak nyaman dengan keributan ini, dan kemudian memakai headshet kesayangannya. Biasanya, memang banyak puisi keren yang ayah buat selagi dan setelah mendengarkan lagu. Terlebih lagu-lagu tersebut memang lagu-lagu kesukaannya.

“Tunggu, lagi buffering, sabar...,” Rini balas teriak.

Bunda masih di depan tivi, siaran India makin lama memang makin bagus. Setelah Riri selesai dengan kamar mandinya, Riri dan Rini pamit undur diri. Mereka cium Bunda, mereka cium Ayah. Di hati Riri, ada perasaan yang menuntutnya untuk singgah ke warnet, sedangkan di pikiran Rini, lebih baik ke warung, jajan kerupuk kuah. Tapi, wajah ustaz yang tampan, serta senyum manisnya, menampar mereka. Mereka tetap ke masjid.

Suasana persawahan yang mulai gelap tidak menyurutkan keinginan mereka. Hujan dan dingin sekalipun akan mereka tempuh. Perjumpaan dengan Ustaz Ridwan adalah perjumpaan yang menyenangkan. Terlebih setelah melihat senyum manisnya yang memang tidak dibuat-buat itu. Ustaz Ridwan bukan garin, ia sebenarnya juga seorang pegawai negri sipil dan mengajar di sekolah Riri dan Rini.

Setelah Riri dan Rini meninggalkan rumah, sebiji puisi paling bagus di muka bumi lahir dari tangan Ayah. Ayah kasih tunjuk itu puisi ke hadapan Bunda. Bunda senyum-senyum, mungkin puisinya memang manis. Dikecup Ayah bibir Bunda. Lalu, bersama kursi roda, Ayah berangkat ke kamar. Mau tidur. Kerja Ayah di rumah memang selalu itu. Kecelakaan kerja membuat kaki Ayah lumpuh. Syukurlah, Ayah bisa menulis puisi yang dapat menyelamatkannya dari kebosanan di usia tua.

Ustaz Ridwan belakangan diketahui adalah ustaz yang tampan, punya jamaah fanatik, dan disukai banyak ibu-ibu majelis taklim. Bagi Bunda, Uataz Ridwan adalah orang nomor 4 setelah Ayah, Riri, dan Rini. Sebenarnya, Bunda juga menyukai Ustaz Ridwan. Hanya saja Bunda tak pernah ada waktu untuk menyampaikan maksudnya. Riri dan Rini sempat ingin mengajak Ustaz Ridwan untuk bertandang ke rumah, tapi entah kenapa mereka selalu lupa menyampaikannya.

Rumah jadi hening. Sambil membayangkan Riri dan Rini mengaji bersama ustaz Ridwan, Bunda tetap saja menonton tivi. Meski sesekali, bunda ke dapur, mencari sesuatu untuk mengganjal perutnya yang mulai mengeluarkan musik rock. Ada beberapa camilan di meja. Agar kerongkongan Bunda tidak kering, ia juga mengupas jeruk yang ia ambil di kulkas. Tak ada jus mangga, jeruk pun jadi, begitu kata Bunda sebelum mengupas jeruknya.

“Kau mengapa bersama orang lain. Apa kurangnya aku di matamu. Seksi aku punya. Harta aku ada. Rumahku juga tidak terlalu jelek. Lihat sekali lagi, di mana letak kekuranganku,” Bunda menyimak kata-kata itu dengan penuh perhatian, seperti sedang mendengar pidato presiden saat kemerdekaan. Bunda mulai jengkel sebabtokoh lelaki dalam sinetron itu tidak sedikit pun merasa bersalah, telah menyia-nyiakan si tokoh perempuan. 

Tak terasa, ada air sederas hujan keluar dari mata Bunda. Bunda ingat lagi pernikahannya dengan Ayah. Kapan pertama kali bertemu, kenangan-kenangan yang manis saat pacaran, dan lahirnya kedua anak mereka: Riri dan Rani yang sungguh mengagetkan. Bunda tidak menyangka kalau ia akan melahirkan sepasang anak. Padahal, rasanya ia hanya merasakan satu tendangan saja manakala perutnya seperti ditendang.

Terdengar ada sesuatu yang melompat di jendela. Tidak mungkin binatang. Bunda sedang asyik-asyiknya menonton tivi sampai siaran India habis. Riri dan Rini telah kembali. Riri dan Rini ingin segera tidur karena besoknya ada acara menarik di sekolah. Seorang YouTuber akan berkunjung ke sekolah mereka dan mereka tidak ingin melewatkan kesempatan emas itu. Setelah mengantar Riri dan Rini ke kamar, Bunda kaget, di televisi, ada berita, seseorang yang mungkin bapak-bapak, bunuh diri secara langsung di Facebook. Bunda matikan tivi. Dan rupanya, di kamar, Ayah sudah tiada.

“Riri, Rini, bangun...! Ada lihat Ayah?”

“Tidak, Bunda. Bahkan di dalam mimpi,” sahut Rini.

Riri sebenarnya bangun. Namun, tidak mau menjawab pertanyaan Bunda. Bunda selalu bertanya perihal itu, lebih-lebih ketika malam telah larut. Riri juga tahu, kalau sakit Ayah hanya pura-pura. Meski terpingkal, Ayah sebenarnya sudah bisa jalan. Riri juga tahu, puisi-puisi yang diracik Ayah untuk Bunda hanyalah salin ulang dari beberapa situs yang memuat puisi.

Puisi yang paling memuat bunda menangis itu adalah puisinya Sapardi. Dan puisi yang membuat Bunda tertawa dengan sangat adalah puisinya Jokpin. Riri dan Rini tahu itu setelah diskusi sastra yang pernah digelar Ustaz Ridwan di masjid. Riri sebenarnya ingin bilang kepada Bunda soal perselingkuhan Ayah dan soal kesembuhan Ayah. Tapi, mereka berdua sudah diancam Ayah beberapa waktu lalu.

Bunda masih bermain di dalam gelap, entah apa yang dicarinya. Tidak mungkin Bunda mencari seekor kodok.

***

Ayah rupanya di kamar tetangga. Namanya Hesti. Dan setiap lelaki yang melihat Hesti, pasti klepek-klepek. Matilah! Bagi Ayah, Hesti adalah seseorang yang istimewa. Nyaris mendekati malaikat. Hesti yang merawat Ayah ketika Ayah sendiri di rumah. Bunda sibuk terus dengan urusannya sebagai kepala sekolah. Berganti-ganti kurikulum, berganti-ganti pula kepanikan Bubda. Kecelakaan parah yang menimpa Ayah membuat Ayah tidak bisa keluar rumah. Sebagai janda yang tidak punya anak, Hesti adalah jawaban yang tepat.

Riri dan Rini pernah mendapati Hesti menyuapi Ayah. Mereka berdua serempak menyebut “Hai Tante!” Hesti membalas sapaan mereka dengan senyuman. Senyuman penuh cinta. Senyuman yang terus ia lemparkan buat Ayah.

***

Bunda mau keluar kota. Bawa Riri dan Rini. Untuk belajar betul, bagaimana lagu dangdut. Goyangan mana yang halal dan suara manja mana yang harus dijauhkan. Bunda akan memproduksi "Hesti-Hesti". Di dalam hatinya, ada gambaran yang jelas bahwa Ayah akan bunuh diri secara langsung di Facebook setelah ini. Akan tetapi, Bunda tak peduli.

"Mampuslah seluruh lelaki yang tidak setia dari muka bumi ini!" Doa Bunda pakai tanda seru. Bunda mungkin butuh psikolog. Riri dan Rini kangen sama Ustaz Ridwan.Bunda sepertinya sudah tidak.

_______

Penulis

Maulidan Rahman Siregar, lahir di Padang 03 Februari 1991. Menulis puisi, cerpen dan artikel musik. Bukunya yang telah terbit, Tuhan Tidak Tidur atas Doa Hamba-Nya yang Begadang (2018), dan Menyembah Lampu Jalan (2019).

Media Sosial
Facebook: Maulidan Rahman Siregar
Instagram: @maulidanrahmansiregar


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com