Cerpen A. Muhaimin DS
Sepulang kerja, dengan isi kepala teramat penuh oleh persoalan baru. Serta pundak yang rasanya seperti memanggul karung beras. Berat. Seutas senyuman pun kulempar penuh paksaan pada setiap orang di sepanjang jalan menuju kos. Aku sebetulnya tak sepenuhnya terpaksa melakukannya, aku sadar betul sebagai orang baru yang tinggal di lingkungan ini harus menyesuaikan diri dengan baik. Hanya saja sore itu aku benar-benar merasa sangat capai saja.
Kubuka gerbang besi penuh karat. Ia tak dikunci. Ini sesuatu yang ganjil, tak seperti biasanya. Padahal Bapak Kos selalu berpesan, keluar-masuk, pagar harus selalu dikunci. Ia selalu mengingatkan pada kami penghuni Kos Cemara bahwa banyak kejadian kejahatan itu bukan hanya karena adanya niat buruk dari penjahat, melainkan ada pula kejahatan yang muncul karena adanya kesempatan.
Iya betul sekali, bagi kita yang pernah menikmati tayangan televisi pada tahun 2000-an tentu saja pesan itu pernah kita dengar dari salah satu acaranya. Namun aku tak ingin terlalu jauh membahas tentang acara televisi itu. Kita kembali pada kenyataan hari ini, bahwa tak biasanya gerbang besi tua penuh karat yang cat aslinya sudah mengelupas di sana-sini itu tak terkunci.
Meskipun bukan aku yang tak mengunci gerbang saat keluar atau pun masuk. Aku tetap berniat menguncinya setelah menutup gerbang. Selain karena sudah kebiasaanku seperti itu, aku juga tak mau maling masuk ke kos.
Sambil mencari-cari kunci di tas. Tiba-tiba muncul suara dari teras rumah.
“Ndak usah ditutup Nduk, tadi Bapak yang buka.”
Aku menoleh ke sumber suara itu. Kudapati Bapak Kos sedang menikmati teh sambil membaca koran. Aku tahu betul koran itu teronggok tak berdaya pagi tadi saat aku berangkat kerja. Memang Bapak Kos berlangganan koran dan sering meninggalkan korannya itu tetap di teras rumah. Dan memperbolehkan kita para penghuni kos untuk membacanya.
“Ada berita besar apa Pak, hari ini?”
“Ah tentu kamu lebih tahu dari Bapak, apa yang terjadi di dunia ini Nduk. Kamu bisa melihat apa yang terjadi di belahan dunia mana pun hanya dengan gawai pintarmu itu kan?”
“Iya sih Pak. Tapi kadang juga ingin seperti Bapak, bisa menikmati teh sambil baca koran.”
“Ya duduk sinilah, jangan berdiri di situ terus.”
“Capek Pak, aku mandi dulu saja biar segar.”
“Iya kelihatan dari wajahmu Nduk, seperti orang lagi banyak beban.”
Sambil senyum-senyum menanggapi Bapak Kos, aku berlalu menuju kamar. Jujur saja sebetulnya Bapak Kos tak salah dengan pernyataannya itu. Aku memang sedang mendapat banyak tugas yang semuanya harus diselesaikan malam ini.
***
“Baru pulang Mbak?” tanya Kikan yang tampak rapi mau bepergian.
“Iya Kan, kamu mau ke mana?”
“Biasa Mbak, hari Rabu waktunya ketemu adik imut.”
“Oh, ok, semangat!”
Setiap hari Rabu sore, Kikan selalu ke rumah Bu Jito untuk mengajar Matematika anaknya. Jadi yang disebut adik imut olehnya itu muridnya. Sudah hampir setahun ini Kikan mengajar anak kelas 4 SD itu.
Melihat Kikan berlalu menuju gerbang, aku pun melanjutkan langkahku untuk naik ke lantai dua menuju kamar. Tanpa kusadari ada sesuatu yang menyentuh kakiku. Aku sebenarnya menyadari ada sesuatu yang halus menyentuh kakiku tadi saat menyapa Kikan. Namun aku mengabaikannya, dan memilih lanjut berjalan ke kamar.
Saat membuka pintu kamar, dan kurasakan lagi sentuhan halus itu, akhirnya pandanganku kuarahkan ke kakiku. Dan ternyata Kurnia, kucing hitam milik Bapak Kos yang dari tadi mengikutiku. Kucing hitam yang sering dielus manja oleh Ibu Kos dan sering diajak jalan-jalan pagi oleh Bapak Kos itu memang unik. Ia jarang bersuara, namun sering sekali menempelkan dan menggosokkan kepalanya pada manusia yang membuatnya nyaman.
“Ia begitu hanya pada orang yang tidak menakutinya,” kata Bapak Kos saat pertama kali melihat Kurnia mengeluskan kepalanya di kakiku. Seingatku, itu sekitar seminggu yang lalu. Setelah aku iseng memberikan sebagian kecil dari camilan berbahan dasar ikan laut padanya. Sepertinya dari situlah ia merasa bahwa aku bisa bersahabat dengannya.
Aku memang tak benci kucing. Namun aku juga tak bisa menyebut diriku sebagai pecinta kucing. Jadi, aku sering sekali menolak Kurnia untuk masuk ke kamar. Biasanya dengan halus ia kubawa ke kandangnya, lalu aku buru-buru lari masuk kamar.
Sore ini berbeda, entah mungkin aku yang terlalu capai untuk membawa Kurnia pada ke kandangnya. Tiba-tiba saja, sebelum aku menutup pintu kamar, sudah kudapati Kurnia duduk di kasurku. Saking capainya, aku pun terbaring di sebelahnya, tanpa menghiraukannya.
***
“Jangan lupa, besok harus sudah selesai ya!”
Pesan singkat itu muncul di layar gawaiku. Aku tak sampai membukanya, tapi jelas sekali pesan itu datang dari atasanku, yang mengingatkanku akan tugas yang harus kuselesaikan malam ini juga.
Alih-alih membalas pesan itu, aku memilih untuk tiduran menatap langit-langit kamar. Sesekali Kurnia mengeluskan kepalanya di lenganku. Aku memilih diam. Aku tak berniat tidur, hanya saja, aku ingin punggungku tak kaku saja, dan berharap tubuhku jadi lebih segar setelahnya.
Tiba-tiba azan Magrib sudah berkumandang di musala depan kos. Aku benar-benar ketiduran. Awalnya aku ingin tiduran sebentar saja sebelum mandi. Ternyata justru ketiduran beneran dan lumayan lama. Dan bangun dengan tubuh terasa lebih segar dan capainya sedikit berkurang.
Kudapati Kurnia masih tidur pulas di kasurku. Sedangkan aku bersiap mandi, tentu saja semakin cepat aku mandi, semakin cepat pula aku makan dan melanjutkan mengerjakan tugas yang sudah menanti di laptopku.
***
Kurnia masih tak beranjak dari kasurku saat aku bergegas mengambil handuk dan keluar kamar menuju kamar mandi. Kamar mandi ada di lantai satu dekat dapur. Kusapa Bapak dan Ibu Kos yang sedang makan malam berdua. Maklum saja anak-anaknya sedang merantau semua. Aku sendiri belum pernah bertemu dengan anak-anaknya. Tapi banyak cerita tentang mereka sudah diceritakan oleh Ibu Kos.
Di dalam kamar mandi ingatanku kembali pada Kurnia. Sedikit khawatir kalau dia tiba-tiba kencing atau buang kotoran sembarangan di kamarku. Tapi ketakutan itu segera kutepis. Sudah tinggal di kos nyaman ini sekian waktu, aku tak pernah melihat Kurnia melakukan hal itu. Artinya ketakutanku sungguh tak berdasar.
Satu guyur air membuat tubuhku lebih segar. Kepalaku serasa ringan, lalu ingatan tentang tugas-tugas itu muncul juga. Kilatan tentang bagaimana aku akan menyelesaikan tugas-tugas itu muncul dan aku tersenyum karenanya. Barangkali aku lupa berdoa saat masuk kamar mandi. Makanya khayalanku sungguh kemana-mana.
Tiba-tiba sebuah khayalan aneh muncul lagi tentang Kurnia. Bagaimana kalau Kurnia itu sebenarnya laki-laki yang sedang menjelma menjadi kucing hitam. Bukankah kucing hitam itu sungguh tampak seperti kucing hitam jantan. Tapi aku tahu betul Kurnia pernah beranak, dan karena anak-anaknya sangat lucu, ketiga kucing mungil itu dicuri orang. Dan pada akhirnya itu menjadi salah satu alasan kenapa gerbang besi itu harus selalu dikunci.
Kuguyurkan kembali air yang meski kutahu tak terlalu dingin. Tapi sangat segar rasanya. Aku seperti benar-benar ingin membuang kotoran-kotoran yang menempel pada tubuhku. Termasuk isi kepala dan pundak yang menganggap tugas yang harus selesai malam ini sebagai beban.
Sebetulnya aku ingin teriak, atau bernyanyi. Tapi aku ingat ada Bapak dan Ibu Kos sedang makan malam. Alangkah malunya kalau aku telanjur bernyanyi keras.
Tok tok tok. Suara pintu kamar mandi diketuk.
“Iya sebentar,” kataku sedikit kesal karena merasa terganggu. Sebab aku sendiri selalu menghindari mengetuk pintu kamar mandi kalau tidak benar-benar mendesak.
***
“Siapa Bu yang mengetuk pintu tadi?”
“Pintu mana?”
“Kamar mandi, Bu.”
“Ndak ada yang ketuk pintu, kok,” Bapak Kos ikut menanggapi pertanyaanku itu.
“Terus tadi siapa yang yang ketuk pintu. Jelas banget kok suaranya.”
“Jangan-jangan ada hantu,” Bapak Kos lagi-lagi menanggapi dengan candaannya. Yang disambut cubitan dari Ibu Kos yang belakangan takut di rumah sendirian setelah kuajak nonton film horor di laptop.
“Aku tadi yang ketuk pintu. Perut Bapak sakit ini,” Bapak Kos akhirnya mengaku sambil sedikit berlari masuk kamar mandi. Aku pun melanjutkan berjalan naik ke lantai dua masuk ke kamar
Kudapati Kurnia masih tertidur, hanya sesekali membuka mata. Begitulah cara kucing tidur, kepekaannya pada keadaan sangat kuat. Ada gerak sedikit kupingnya bergerak. Ada gerak sedikit matanya terbuka. Tapi masih bisa lanjut tidur lagi.
Usai ganti baju dan salat Magrib, akhirnya pertempuranku dengan tugas-tugas itu akan segera dimulai. Kilatan bayangan tentang cara mengerjakan tugas yang muncul di kamar mandi tadi akan kuterapkan. Tentu saja agar tugas-tugas ini segera selesai. Kubuka laptop di meja dan aku duduk di kursi kayu.
Kurnia yang tadinya tampak tidur pulas tiba-tiba sudah mengeluskan kepalanya di kakiku. Melihat ia ingin dimanja, kuraih tubuhnya lalu kuletakkan di pangkuanku. Ia benar-benar tampak menggemaskan. Sorot mata dan bentuk wajahnya ternyata tak sejantan itu. Ia benar-benar cantik dan manis.
Layar laptop sudah menyala. Keinginanku untuk menunda mengerjakan justru muncul. Entah bagaimana bermulanya. Sebagai orang baru di lingkungan baru, aku harus menyesuaikan dengan banyak hal yang serba baru untukku. Jujur saja itu sedikit melelahkan, tapi aku menikmatinya.
Seperti tahu akan hal itu. Kurnia tampil dengan sorot mata ingin menjadi pendengar yang baik untukku. Tanpa kusadari aku pun bercerita panjang lebar pada Kurnia. Dan ia tak protes sedikit pun. Ia benar-benar tampil menjadi pendengar yang baik. Dan tanpa kusadari waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.
Mungkin saking asyiknya aku bercerita dengan Kurnia. Sampai-sampai aku lupa bahwa aku mau mengerjakan tugas. Tapi karena sudah bercerita panjang lebar dengan Kurnia, aku merasa ada kelegaan tersendiri. Yang ternyata itu berdampak baik saat aku mengerjakan tugas. Benar-benar mudah dan cepat sebab ide-ide itu muncul dengan mudahnya.
***
Setelah kejadian malam itu, Kurnia kini selalu menyambutku saat pulang kerja. Lalu menemaniku sepanjang malam. Dan aku jadi lebih sering bercerita dengannya, tentang apa pun itu.
Malang, Agustus 2024
________
Penulis
A. Muhaimin DS, lahir di Nganjuk (Kota Angin), seorang penikmat cerita. Menulis puisi, cerpen, dan juga membuat catatan ringan tentang keseharian di rumah sederhananya amuhaiminds.blogspot.com. dan catatan tentang pengalaman minum kopi di serupakatakita.blogspot.com. Beberapa cerpennya telah muat di media cetak maupun daring. Bukunya yang baru terbit yaitu kumpulan cerpen Tentang Kenangan di Kota Hujan.
IG: @a.muhaimin.ds
Fb: Abdul Muhaimin
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com