Sunday, September 8, 2024

Esai Sul Ikhsan | Jadi Pejabat Memang Harus Korupsi

Esai Sul Ikhsan 



Ketika rumah saya didatangi oleh beberapa pemuda ramah senyum yang memperkenalkan diri mereka sebagai petugas TPS, itu artinya ritual akbar demokrasi yang syarat dengan kesakralan akan segera dimulai kembali. Setelah berjibaku menyelesaikan pesta pemilihan umum tingkat presiden dan legislatif, kini masyarakat akan kembali menyambut drama kolosal bertajuk pemilihan kepala daerah yang tak kalah seru dari acara sebelumnya.


Semerbak keseruan itu bahkan sudah dimulai sejak petugas KPPS di Pilpres kemarin baru saja menyelesaikan tugasnya. Puncaknya, akhir Agustus kemarin. Putusan MK dan intrik-intrik politik yang terjadi membuat saya yakin bahwa Pilkada kali ini akan diwarnai keseruan yang tiada tanding. Tentu saja sebagai masyarakat, saya begitu menanti pagelaran megah ini dengan suka cita yang amat mendalam. Antusias sekali saya ini. Sumpah. 


Euforianya sudah dekat menyentuh kulit. Buktinya, panitia utusan KPU sudah berjibaku mempersiapkan dan memastikan seluruh proses di hari pelaksanaan nanti lancar, tertib, jujur, adil, dan hikmat. Genderang perang media sudah mulai ramai membicarakan calon di daerah masing-masing. Lembaga survei berbondong-bondong menayangkan elektabilitas si calon dengan segala embel-embel isunya. Juga, yang paling mengharukan, beberapa orang asing banyak yang datang ke desa-desa dengan membawa “pesan suci” yang wajib bagi siapa pun untuk menerima mereka dengan penuh rasa syukur.


Ada baiknya, momentum ini terus kita rayakan dengan semangat penuh cinta sebagai bentuk cinta NKRI harga mati kita. Cinta tanah air kita. Indonesia merdeka. 


Contoh kampung saya. Kami mulai mempersiapkan diri untuk hikmat merayakannya. Beberapa calon kepala daerah tingkat kabupaten/kota dan provinsi yang terdaftar sudah mulai memajang wajahnya di pinggir-pinggir jalan, di pohon-pohon, dan di beberapa titik keramaian. Yang menarik, di beberapa warung kopi juga sudah banyak pembicaraan dan debat politik ala orang kampung yang ngotot, penuh energi, dan menarik. 


Seperti biasa, selalu ada cerita menarik di momentum lima tahunan ini. Orang-orang kecil seperti kami mendadak menjadi pengamat politik yang lihai menilai, menganalisis, menjelaskan kekurangan dan kelebihan masing-masing calon sembari menanti siapa calon yang loyal memberi kami rokok dan kopi gratisan. 


Malam itu, warga berdebat cukup sengit. Warung kopi yang kebetulan tepat di depan rumah saya riuh membicarakan politik. Topik tim nasional Indonesia yang menahan imbang Saudi Arabia menjadi terdengar membosankan. Entah bagaimana ceritanya, tiga kubu sudah terbentuk. Beberapa warga sudah tak sembunyi-sembunyi lagi menyebut dirinya sebagai tim sukses. Dua warga menyatakan dirinya sebagai “orang suruhan” Airin dan Ade. Tiga warga lainnya mengaku sebagai timses Andra dan Soni. Keduanya nama-nama cagub dan cawagub yang akan bertarung di Provinsi Banten. Sisanya yang berjumlah lebih banyak menjadi penentang kedua kubu. Mereka menyebut diri sebagai: “Kita netral aja. Lagi pula, siapa pun yang menang, paling juga anggarannya dikorupsi.”


Perkataan seorang warga yang mengaku tak mendukung siapa-siapa itulah yang jadi bahan gunjing malam itu. Bara api semakin menyala ketika sebagian besar warga menyetujuinya. Saya yang mulanya hanya menonton, ikut menyetujui pendapat kawan saya itu. Pendapat itu bagi saya terdengar seksi. Meski sebenarnya klise, tetapi ia keluar dari mulut orang yang selama ini tak pernah tertarik dengan pemilu dan perpolitikan bangsa ini. Saya pun ikut menyampaikan pendapat saya mengenai mengapa seorang pejabat yang menang pemilu memang seharusnya korupsi. Saya coba rangkum di bawah ini.

   

Pejabat yang menang pemilu memang harus korupsi. Sebelum saya membeberkan alasan logisnya, saya ingin menjabarkan data dari KPK pada tahun 2015. KPK mencatat ada 64 kasus korupsi yang menyeret kepala daerah se-Indonesia. Ini cuma kasusnya, bukan orang yang terjerat kasusnya. Lalu, ICW mencatat sepanjang tahun 2010 hingga Juni 2018 tak kurang dari 253 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi. Dua ratus lima puluh tiga. Catat! 


Mengapa bisa sebanyak itu? Jawabannya cukup sederhana bagi saya. Mereka sedang berusaha mengembalikan ongkos politik yang sudah dikeluarkan. Meskipun kita bisa menjatuhi stigma bahwa perilaku korupsi berhubungan dengan moral pelaku, alasan ongkos politik bagi saya jauh lebih masuk akal dan tentu saja bisa dihitung secara matematis. 


Menurut kajian Litbang Kemendagri tahun 2015, yang ini sempat ramai disinggung Prof. Mahfud, untuk mencalonkan diri sebagai bupati/wali kota hingga gubernur membutuhkan biaya sekitar 20--100 miliar, sedangkan pendapatan rata-rata gaji mereka di angka 5 miliar per periode. Coba bayangkan, defisit berapa banyak jika mereka duduk di kursi pemerintahan dengan hati dan prilaku jujur, rendah hati, dan ceria? 


Secara hitung-hitungan politik, jika si bakal calon atau calon berniat mencalonkan diri dengan mengusung jargon tolak politic money, tanpa ongkos sepeser pun misalnya, dipastikan ia akan kalah, bahkan sebelum pelaksanaan pemungutan suara dimulai. Kalau tidak percaya, silahkan dicoba. Jangan yang tinggi-tinggi dulu deh, minimal coba mencalonkan diri sebagai kepala desa sana!


Lah dipikir saja, setingkat Pilkades, jagoan saya kemarin ludes kurang lebih 300 juta untuk biaya pendaftaran, wara-wiri dari pertama kali punya niat sampai final, cetak baliho, meramaikan khazanah posko pemenangan, menyambut tamu, yasinan tujuh hari tujuh malam, konsolidasi politik, bayar dukun, dan serangan fajar. 


Dari tiga calon yang siap memajukan desa saya, calon jagoan saya yang keluar ongkos 300 juta ini berada di urutan terakhir. Di kemudian hari, saya mendapat informasi bahwa calon jagoan saya memiliki modal paling sedikit dibandingkan dengan dua calon lainnya. Ia hanya memberi serangan fajar puluhan ribu ke warga. Nilai ini kalah telak dibanding dua calon lain yang berbaik hati memberikan ratusan ribu kepada warga. Tahu yang menang siapa? Jelas pemilik modal terbanyak, dong! Calon yang menang memberi 300 ribu/kepala, calon kedua 200 ribu/kepala, calon ketiga 35 ribu/kepala. Dipikir saja dengan akal sehat, 35 ribu, mana cukup untuk beli anggur merah cap Orang Tua? 


Sekarang saya tanya, apakah dengan kasus di atas, kepala desa terpilih akan bersungguh-sungguh membangun desa jika menghitung biaya politiknya yang ratusan juta, sedangkan gajinya hanya puluhan juta saja? Mau memajukan desa saya sampai ke mana? 


Omong-omong soal ongkos politik, nominal yang dipaparkan Litbang Kemendagri tersebut kalau dirinci memuat keperluan berikut ini: mahar politik (nomination buying) ke partai pengusung sebelum dicalonkan, jual beli suara (vote buying), ongkos politik kampanye, biaya setelah resmi menang, dan biaya-biaya tak terduga lainnya. 


Kalau misalnya Anda adalah sosok yang miskin tapi kharismatik, agamis, populis, dan dicintai banyak rakyat, jangan khawatir. Ada mekanisme mahar investor yang siap membiayai pencalonan diri Anda dengan syarat jika menang, Anda harus mempersiapkan proyek untuk sang investor. Bagaimana, Anda tertarik? 


Ironisnya, meskipun si calon sudah merogoh kocek sangat fantastis, belum cukup memuluskan jalan untuk bisa petangtang-petengteng di kursi pemerintahan. Calon yang ingin mengubah daerahnya tak cuma Anda, loh! Biasanya ada dua atau lebih calon yang bertarung. Di sini, mereka akan sikut-menyikut menggunakan berbagai macam cara. Jika kurang populer, uang bisa meriasnya, minimal untuk membayar mantan aktivis mahasiswa untuk mengkampanyekan ketidakpopuleran si calon supaya menjadi populer. Jika kurang populer dan kurang uang, gunakan kampanye merah. Serang dengan fitnah, framing, dan survei gadungan, misalnya. 


Jika Anda populer, Anda tetap perlu uang untuk mengafirmasi kepopuleran Anda. Jika Anda cuma punya cara licik, Anda juga butuh uang untuk membiayai cara licik Anda. Beli suara butuh uang, memfitnah juga butuh media dan kepercayaan publik, itu juga butuh uang. Bikin survei gadungan, butuh uang juga. Agar mantan aktivis mahasiswa mau ikut gerbong Anda juga, ya butuh uang. Mana mau mereka dibayar dengan jargon perubahan, kesejahteraan, kesederhanaan, adil, dan makmur? Kalau aktivis mahasiswa kurang, gaet sastrawan yang banyak omong kosong itu. Di Banten banyak, kok! 


Jadi, saya amat sangat memaklumi mengapa para pejabat kita pada tukang korupsi. Bukan berarti saya setuju dan menormalisasi dengan tindak pidana maling ini. Maling ya tetap maling, apa pun alasannya. Lihat saja provinsi Banten. Sudah jatuh malah ketiban durian, sudah diduduki dinasti, eh ketiban korupsi triliunan. Cakep!


Lagipula, korupsi itu puncak pohon. Akarnya menurut saya sistem pemilunya. Masalah utamanya yakni akar yang menopang pohon berdiri. Pesta demokrasi ini agaknya membuka lebar-lebar kasus korupsi. Untuk menang, mereka harus mengeluarkan banyak ongkos politik alih-alih menyusun kebijakan hebat untuk memajukan daerah mereka.

Dari tingkat desa hingga pusat, sama-sama bobroknya. Pemilu di kampus yang berisi orang-orang intelektual juga sama ambyarnya.  Tak ada harapan. Benar-benar miniatur negara. 

Persoalan korupsi ini juga kompleks. Beberapa kasus memang terungkap, itu pun kadang kasus pesanan, tetapi lebih banyak lagi kasus yang tersimpan di laci meja yang hanya diketahui oleh diri mereka, antek-antek mereka, dan tentu saja Allah swt.


Omong-omong korupsi, saya malah punya keyakinan bahwa setiap manusia punya potensi korupsi di dalam darah dagingnya. Kita yang lantang bicara anti korupsi ini bisa jadi belum punya kesempatan untuk melakukannya. Toh, dalam beberapa hal lain, kita sudah sering melakukan tindak pidana korupsi kecil-kecilan setiap harinya di tempat yang juga kecil. Bisa jadi. Ini mungkin bisa saya sampaikan di kesempatan lain.  


Balik lagi ke soal pemilu. Masyarakat sudah kepalang mendarah daging dengan uang panas lima tahunan ini. Istilah kerennya, mereka rela menukar suara mereka dengan uang ratusan ribu rupiah dengan korupsi triliunan rupiah. Lalu, kenapa mereka marah ketika melakukan korupsi? Wajar, dong? Iya, kan? 


Mengapa budaya serangan fajar ini tak bisa lenyap meski sejak kecil baliho antikorupsi menghias di sekolah kita? Ada satu pandangan menarik yang pernah saya dengar soal ini. Saya pernah bertanya kepada seorang warga yang pernah menerima serangan fajar. Katanya, tak ada yang menjamin bahwa mereka yang tak memberikan serangan fajar bakal tidak korupsi. Sebagian besar masyarakat sudah meyakini bahwa kebanyakan pejabat pasti korupsi, baik yang memberikan serangan fajar atau yang tidak. Untuk berjaga-jaga supaya tidak mengalami kerugian di awal, lebih baik memilih mereka yang memberikan modal banyak di awal. Toh, mereka yang tidak menerima sepeser pun juga akan mendapat kerugian yang sama setelah sang calon duduk di kursi pemerintahan. Kehidupan tak banyak berubah, kebijakan aneh, dan korupsi tetap merajalela. Dipikir-pikir alasan itu masuk akal juga. 


Meski begitu, saya tetap meyakini bahwa asal muasal korupsi di pemerintahan ini salah satu faktornya ya karena ada upaya balik modal ongkos politik ini. Perbaiki dulu sistem pemilu ini sembari pelan-pelan memberikan pendidikan politik ke masyarakat. Itu pun kalau mau. Kan bahaya kalau masyarakatnya pinter. Kalau dengan modal uang bisa mendapat dukungan, mengapa harus repot-repot mendidik warga!?


Debat panas itu pun mau tak mau terpaksa diakhiri lantaran waktu semakin menuju subuh. Seperti biasa, ada yang merasa tersinggung, ada yang masih belum puas akan argumen-argumen liar, ada juga yang ketawa-ketiwi masa bodo. Saya ikut ketawa setelah ingat pernah membaca kalimat lucu yang dijadikan tema organisasi mahasiswa daerah yang pernah mengadakan acara seminar. Bunyinya begini: STOP POLITIK MONEY DI PILKADA 2024. Lucu, kan, tema ini?


________

Penulis 


Sul Ikhsan, Pemred NGEWIYAK.