Sunday, September 15, 2024

Esai Sul Ikhsan | Saya Adalah Seorang Pemilih!

Esai Sul Ikhsan



Setiap menjelang pemilihan umum, saya kerap gelisah. Salah satu alasan utama saya adalah karena saya menganggap momen yang disebut banyak orang sebagai pesta demokrasi ini berdampak pada banyak hal, minimal bagi saya dan orang-orang terdekat.


Sejak pertama kali saya sah sebagai manusia yang diizinkan untuk ikut mencoblos di TPS, sejak itu pula kekecewaan demi kekecewaan menelisik masuk ke diri saya. Kekecewaan itu bukan berasal dari kekalahan pilihan saya, atau tak kebagian amplop serangan fajar, melainkan ada banyak hal yang saya anggap tak beres dalam sistem ini dan dampak yang ditimbulkannya. 


Saya yakin Anda akan bisa menyebutkan puluhan contoh kasusnya. Tetapi satu pertanyaan yang selalu membuat saya gelisah, mengapa kita tak pernah bisa hanya menjadi seorang pemilih alih-alih pendukung? Fanatik pula. Bagi saya, ketidakmampuan kita memosisikan diri hanya sebagai seorang pemilih inilah faktor utama saya meyakini bahwa sistem demokrasi–dalam hal ini turunannya adalah pemilu–belum cocok di negara kita. 


Bayangkan saja, pemilu membuat suara seorang lulusan SD yang, maaf, memiliki pengetahuan di bawah seorang profesor dianggap sama. Secara konsep, sistem ini bagus karena memungkinkan setiap orang memiliki hak yang sama dalam menentukan siapa pemimpinnya. Namun praktiknya, sistem ini menimbulkan banyak celah. Apa artinya memiliki hak yang sama dalam hal menentukan pemimpin, namun gagal dalam mendapat hak yang sama dalam menerima kebijakannya? Di titik ini saya tak setuju demokrasi. Apa saya ini seorang komunis? Sosialis? Atau seorang Khilafah? Entahlah! Saya tak cukup yakin.


Yang jelas, makin ke sini saya makin pesimis lantaran sistem demikian tak menjadi pintu masuk bagi pemimpin-pemimpin yang kelak memperjuangkan kepentingan rakyat. Malah sebaliknya, sistem pemilu memungkinkan setiap calon pemimpin menggunakan cara curang dengan kadar kesanggupannya masing-masing yang bertujuan hanya untuk menang. Rakyat? Ya urus sendiri masing-masing, apalagi yang terverifikasi tak memilih sang pemenang.


Coba bayangkan lagi, hasil yang dituju ialah menang. Semua masyarakat memiliki hak suara yang sama, tak peduli apa latar belakangnya. Setiap calon tentu akan berjibaku menggunakan berbagai cara untuk merengkuh suara itu. Mereka akan mencari formula yang memungkinkan dirinya dipilih mayoritas. Jika mayoritas suara hanya cukup dengan dua lembar ratusan ribu untuk memenangkan seorang calon, untuk apa menggunakan cara lain? Jika mayoritas suara menginginkan hanya cukup menjadi populer, ganteng, cantik, dan, berpakaian islami untuk menang, untuk apa menggunakan cara dialog pengetahuan yang melelahkan? Wong intinya menang. 


Dalam hal ini saya kemudian menyadari bahwa mayoritas suara inilah yang mesti di rukiah, bukan sistemnya. Saya tak berani menyebut masyarakat kita bodoh karena mereka tak berusaha untuk pintar dan mengerti. Tetapi saya meyakini bahwa masyarakat dibuat begitu, dibuat bodoh dan tak mengerti sehingga konsep yang bagus dari sistem demokrasi dimanfaatkan oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab. Merekalah yang menciptakan lingkaran setan ini: kondisi masyarakat bodoh dan tak mengerti -->  calon pemimpin memanipulasi hak suara --> pemimpin yang tak membawa kepentingan rakyat terpilih --> sang pemimpin membuat kebijakan yang tak berpihak pada rakyat --> pemimpin mempertahankan kondisi masyarakat yang bodoh --> calon pemimpin memanipulasi hak suara --> pemimpin yang tak membawa kepentingan rakyat terpilih. Begitu seterusnya. Maafkan saya. Diakui atau tidak, itulah kenyataannya. 


Rukiah demi rukiah telah diupayakan oleh banyak elemen yang berniat baik, seperti memberikan pendidikan politik, membuat jargon, jingle, dan tarian-tarian yang akrab dengan akar rumput. Tetapi, nahas, sistem pemilu makin hari makin mengenaskan dan tak ada artinya–setidaknya menurut saya. 


Berpolitik dalam alam demokrasi ya begini. Ketertarikan mayoritas menjadi penentu seseorang meraih kekuasaan. Machiavelli pernah bilang begitu, dan teori inilah yang sedang dipakai atau setidaknya ditiru. Katanya, untuk mempertahankan kekuasaan, seorang penguasa diperbolehkan menerapkan dan menghalalkan segala cara demi mencapai tujuannya. Jika ketertarikan mayoritas adalah uang, ya calon penguasa akan menggunakan uang sebagai tangga menuju kekuasaan itu. Ketika katakanlah dengan cara curang kekuasaan bisa dicapai dan sebagian besar masyarakat memilih mereka yang menggunakan cara itu, kemenangan tetap sah. Sebanyak kemenangan itulah masyarakat menginginkannya.


Memang sangat kompleks untuk mengurai masalah ini. Tapi, bukan berarti tak ada jalan. Setelah saya mengalami patah hati politik dalam pemilu raya mahasiswa di kampus, saya menarik diri dari perhelatan “sok memberikan hak suara yang sama” yang bernama pemilu itu. Setiap diajak gabung untuk ikut terlibat sebagai apa pun, saya selalu menghindarinya. Saya berpikir bahwa semua sistem pemilu, di mana pun letak dan jenjangnya, sama. Sekalipun di tengah orang-orang yang bisa membaca dan menghitung hukum kekekalan energi. Apakah mereka bodoh? Rasanya tidak mungkin. Oh iya, hanya pemilu tingkat SMP saja yang masih bersih.


Saya akhirnya sampai pada keputusan bahwa dalam kontes politik tingkat mana pun saya hanya akan jadi seorang pemilih. Saya akan berusaha sekuat tenaga memilih calon yang tersedia dengan kemampuan yang saya miliki tanpa intervensi dari siapa pun. Menelusuri rekam jejaknya, menganalisis sosoknya, menimbang apa yang perlu ditimbang, dan menentukan pilihan dengan sadar. Apakah ada kemungkinan salah pilih? Tentu saja ada.  Kalaulah tak ada calon yang menurut saya layak setelah upaya saya menyelami itu, ya saya golput. Ngapain saya harus membuang waktu libur satu hari saya untuk memilih setan-setan itu? 


Itulah upaya saya. Saya tak mau memilih berdasar popularitas, ia berada di partai mana, ia anak siapa, atau ia zodiaknya apa. Saya akan memutuskan untuk memilih ketika saya merasa apa yang saya butuhkan cukup. Bukankah ini sesuai dengan 11 prinsip penyelenggaraan pemilu dan jargonnya yang luber jurdil itu?


Menjadi pemilih artinya mempertahankan integritas individu di atas “hak yang sama” yang dicita-citakan sistem ini. Tanpa menerima iming-iming apa-apa, bergantung pada sang calon, menjadi fanatik yang membela, menjilat, mengampanyekan habis-habisan si calon akan memberikan keleluasaan mereka untuk memanipulasi hak suara kita yang pada gilirannya menyeret orang lain untuk ikut bersama kita. Bahkan, setelah si calon terpilih kita merasa segan untuk mengkritik dan mengontrol kebijakan mereka karena kita telah masuk dalam pusaran: saya pendukung mereka.  


Apakah menjadi pendukung, timses, masuk partai, ikut andil dalam pesta, itu salah? Tentu saja tidak. Bukan itu titik simpulnya. Ketidakmampuan kita menarik diri dan menjaga jarak dari “sang penguasa” yang kita dukung itulah yang jadi masalah. Kita tak selesai hanya sebagai pendukung. Kita terus melanjutkan sebagai pembela, penjilat, dan bahkan, mohon maaf, penyembah. Dalam hal ini menurut saya, kebodohan bukan sebab utamanya, hanya saja ia salah satunya. Kepentingan pribadi dan kelompok, kehausan akan kekuasaan menjadi faktor lain yang ikut menjadi penyebab. Apakah wajar? Silakan. Berarti bersiaplah dengan segala kerusakannya.


Akhirnya, kekecewaan adalah harga mahal yang harus saya bayar dari sikap politik sebagai seorang pemilih.  Tetapi saya bangga. Saya yakin banyak orang di luar sana yang punya pandangan sama seperti saya dengan beragam konsepnya yang lebih mapan. Maka, saya menginginkan setiap orang punya sikap yang sama seperti saya yang akan menjadi integritas sebagai seorang pemilih. Bukan pendukung, penjilat atau apa pun istilahnya. Kita tak seharusnya mati-matian membela seseorang yang bahkan pada gilirannya akan menelantarkan kita. Bertabayun, memilih, mengawasi, dan mengkritik. Begitulah seharusnya pemilu di alam demokrasi dirayakan. Mungkin ada banyak cara lain, tetapi bagi saya ini adalah pukulan sekaligus pertahanan  terakhir yang bisa saya lakukan. Seperti apa kata idola saya, Tan Malaka, pada pukulan terakhir yang menentukan, kita hanya bisa mendapatkan kemenangan jika kita juga berinisiatif bertahan agar pukulan terakhir yang menentukan itu bisa mewujudkan kemenangan.  


Apa yang saya ingin menangkan? Semua orang yang ikut merayakan pesta demokrasi ini menjadi seorang pemilih!


Tabik.


_______

Penulis


Sul Ikhsan, Pemimpin Redaksi NGEWIYAK.