Oleh Encep Abdullah
Suatu hari ada yang WA saya.
“Assalamu'alaikum. Maaf saya Anu, alumni Anu. Maaf Kak mau tanya. Insyaallah saya ada niatan untuk menulis. ... Mohon bantuannya Kak. Saya dapet nomor Kakak dari buku .... Insyaallah saya berkeinginan memiliki karya tulis saya, yaitu merupakan buku hasil karya tulis tangan saya sendiri, Kak. Bagaimana caranya Kak? Saya pengen sekali Kak jadi penulis. Maaf Kak kalau sudah menggangu waktunya. Ingin sukses dengan hasil karya tulis kita sendiri Kak. Seperti Kakak dan teman-teman.”
Tentu saya sangat bahagia dan terharu membaca pesan itu. Kebetulan saya juga sedang kepikiran mengaktifkan kembali kelas menulis online Klinik Menulis yang sudah lama mati suri itu. WA ini semacam sinyal dan motivasi saya untuk kembali mengaktifkan kelas menulis itu. Maka, saya buka. Saya buat ulang aturan main. Kali ini saya buat agak ketat, tapi santai. Bingung kan? Intinya saya buat aturan main agar peserta kelas menulis terarah dan jelas tujuannya mau ke mana. Kalau tidak ada regulasi, tentusaya pribadi juga akan kebingungan.
Ada sepuluh orang peserta yang masuk di Klinik Menulis (reborn) ini. Peserta calon penulis yang menggebu-gebu di atas itu malah sama sekali tidak ada suara. Dikasih jadwal menulis pun silent. Tidak ada percakapan apa pun di grup. Di WA pribadi pun tak jua dibalas. Tapi, status-status WA saya dilirik dan dibacanya. Kiriman tulisan dari rekan lain pun dibaca olehnya. Sejak pertama dibuka grup tersebut, ia cuma sekali dua kali berkomentar. Selebihnya menghilang. Dikasih jatah untuk kirim naskah ke grup pun tak kunjung mengirim, padahal sudah putaran keempat dia kirim tulisan, tapi nol. Ada apa denganmu, Kawan? Apakah kamu juga baca catatan ini? Kalau baca, alhamdulillah. Apakah masih silent juga? Apakah tidak malu dengan pesan WA yang pertama dikirim itu?
Perkara macam ini sebenarnya bukan sekali dua kali terjadi di hadapan saya. Tapi, ini agak kebangetan sih. Padahal di poin 18 tertulis “Peserta yang merasa tidak kuat di tengah jalan, silakan angkat tangan dan boleh izin keluar grup!”. Lah, saya dan semua peserta yang ada di grup dicuekin, padahal sudah sering menyebut namanya di grup, “Masih kuat?” Tapi, tak ada balasan apa-apa. Hm... di luar sana ada beberapa yang antre ingin belajar menulis loh. Karena ruang terbatas, tentu tidak dibuka lebar-lebar, nanti pintunya bisa rusak. Harusnya, manfaatkan ruang pertemuan ini dengan baik, bukan malah menutup diri, tidak menjawab-apa-apa. Saya yang bingung, kan?
Oh, iya, ada satu peserta lagi yang angkat tangan. Dia pun sebenarnya punya jiwa yang menggebu-gebu. Sebelumnya saya kenal dia saat saya mengisi pelatihan di sebuah hotel. Dia mendekat kepada saya dan bilang ingin belajar menulis. Saya simpan nomornya dan saat saya buka kembali kelas menulis, saya kabari dia lagi dan dia memilih untuk belajar menulis esai (lainnya puisi dan cerpen). Namun, entah kenapa, sepertinya dia bingung atau apa. Dia merasa tidak sanggup melanjutkan di kelas menulis.
Dia mengirim di grup WA:
"Mohon maaf Kang Encep dan Akang/Teteh semuanya, mohon izin mengundurkan diri. Belum bisa melanjutkan program ini karena beberapa hal. Hatur nuhun untuk kebersamaannya."
Memang tidak spesifik apa alasan keluar. Tapi, ini cara elegan, mengakui tidak sanggup. Saya sangat apresiasi. Sebelumnya dia mengirim esai di grup, tapi mirip artikel mading sekolah. Lalu, saya dan rekan lainnya mengomentari apa adanya untuk perbaikan naskahnya. Setelah itu, mungkin dia bingung, dan tiba-tiba kirim pesan angkat tangan.
Saya hanya menjawab “Untuk disiplin menulis memang berat. Belajar menulis sendiri, jauh lebih berat. Mungkin waktu dan kesiapan Anda yang belum tepat saja.” Lalu, dia menjawab, “Jiwa menulis saya masih menggebu Kang. Hanya kondisinya lagi kurang memungkinkan."
Baik, saya tidak memaksa seseorang yang kondisinya memang belum siap untuk belajar. Menulis atau apa pun itu, bila si jiwa belum siap, semua yang disampaikan dalam pembelajaran, pasti tidak akan maksimal. Harus ada penerimaan dulu dalam diri, kesiapan, menerima konskuensi. Barulah kelas menulis bisa berjalan dengan baik. Ini tentang pembiasaan. Tentang habit. Kalau peserta menulis per sepuluh hari sekali saja (karena ada sepuluh peserta) tidak sanggup, bagaimana kalau dikasih tugas menulis setiap hari? Ini hanya soal mental saja. Kadang memang, suatu hari mental kita siap, suatu hari malah ciut tak keruan. Akhirnya merasa insecure, lemah, dan tak bisa berbagi waktu untuk tujuan awal, yakni belajar menulis. Justru gangguan, distraksi dari luar diri kita itu yang menjadi tantangan. Distraksi dari luar sebenarnya lebih mudah dilawan. Yang berat itu melawan diri sendiri, yakni rasa malas, perasaan tidak mampu, dsb.
Bagi saya, menulis tak sekadar hasrat menggebu-gebu dan cuma bacot. Menulis adalah sebuah aksi yang dilakukan dengan ketekunan (istikamah), kesabaran, dan "kegilaan". Kalau intensitas ini berjalan cukup baik, siap-siap Anda akan kecanduan!
Kiara, 3 September 2024
_______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya. Buku proses kreatifnya yang sudah terbit berjudul Diet Membaca, Ketiban Inspirasi (Maret 2023).