Puisi Firda R.
Di Sudut Kota, Pukul Dua Belas Lima Tiga
Di sudut kota yang minim cerita
seorang perempuan tiga-puluhan menyesap es latte tanpa gula
tanpa tahu setelah menit ke lima puluh empat
akan ke mana lagi langkah kaki menyeretnya:
ke tengah keramaian kota atau ke ruang sepi tanpa suara
Ia, perempuan tiga-puluhan itu, adalah sebuah
dari sekian banyak cerita yang tumpah dan menyisakan
sedikit ingatan. Baginya, ingatan adalah debu jalanan
yang menempel sebentar di wajah
dan gampang tersapu toner, facial wash, dan serum.
Di sudut kota yang minim cerita,
ia menggambarkan sendiri sebuah distopia
mengangankan jalan-jalan seperti kota-kota
di Eropa yang tak pernah sekali pun ia kunjungi
(ia hanya menikmatinya di novel-novel dan film)
“Kalau hujan lebih ribet lagi,” katanya
ketika ia mengeluhkan tentang tata letak kota:
aneh dan terkesan memaksa
Tapi, ia adalah perempuan tiga-puluhan
yang hidupnya mana cukup untuk memenuhi angan semata
ia ciptakan saja di kepala, sepulang kerja,
sambil membersihkan debu jalanan ke sekian.
Pun ia akan ke mana pada menit lima puluh empat,
ia tahu, ia sudah tahu: menciptakan kota baru di kepalanya.
Serang, 5 Januari 2024
Pada Minggu Sore, Pukul Lima Belas Nol-Nol
Adalah suatu perjalanan panjang menuju hari esok, dan
dalam sudut benakku mengajukan pertanyaan:
akan seperti apa esok nanti, jalan-jalan yang ‘kan dilalui,
angkutan umum yang ‘kan dinaiki? Juga,
kafe, kedai, atau warung kopi mana lagi yang ‘kan disinggahi dan
‘kan seperti apa kita esok nanti?
Mungkin seperti cerita-cerita pada novel yang telah kubaca,
Seperti larik puisi yang maknanya tak pernah habis kumengerti.
Tapi, sebelum esok nanti datang lagi,
aku masih saja di sini. Di ruang sempit, berantakan
bersama buku-buku yang berserakan
kain-kain pakaian bertebaran, bantal-bantal bertumpukkan,
barang-barang berhamburan.
Anehnya aku malah suka
Suka sekali berdiam lama di sini, di tempat yang
menjebakku pada Minggu pukul lima belas nol-nol,
pada Minggu sore yang membawaku pada perjalanan panjang
menuju hari esok yang tidak kumengerti ‘kan seperti apa lagi
Serang, 23 Januari—10 September 2024
Es Amerikano Tanpa Gula, Pukul Tujuh Belas Sepuluh
Di baris kedua deretan bangku kedai kopi dua puluh lima ribu-an
aku mencari selarik demi selarik di lantai tanpa ubin, di gelas kopi
dengan kafein yang pahitnya bukan main, dan di antara
dua pasang Milenial-Gen Z yang prihatin soal roti empat ratus ribu-an.
Aku membuka kembali buku puisi Chairil, Sapardi, sampai Jokpin
tak kutemukan satu pun kata-kata yang meyakinkan
apa aku sudah kehilangan makna, seperti aku kehilangan rasa
yang terserap es kopi pahit di kedai kopi kapitalis?
Aku mencoba mendengarkan lirik sendu Bernadya, mengupas-
tuntas lagu-lagu Juicy Lucy, sesekali juga menikmati
“Dust”-nya SEVENTEEN. Ah! Betapa lucu hidupku ini:
selera musik yang tak beraturan, tak related dengan kenyataan
tapi tak satu pun kata-kata kudapatkan.
Aku sudah kehilangan makna,
seperti aku kehilangan rasa pada es kopi amerikano
di kedai kapitalis, pukul tujuh belas sepuluh.
Serang, 10—11 September 2024
________
Penulis
Firda R., penulis tinggal di Kota Serang, kota yang makin hari makin berisik. Penulis masih suka baca buku, apalagi fiksi: novel dan cerpen. Penulis juga suka es kopi amerikano tanpa gula. Kadang-kadang juga suka latte, tapi enggak bisa ngopi tiap hari. Penulis sekarang menjadi pengajar di salah satu tempat bimbel di Kota Cilegon.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com