Friday, September 13, 2024

Puisi-Puisi Firda R.

Puisi Firda R.



Di Sudut Kota, Pukul Dua Belas Lima Tiga


Di sudut kota yang minim cerita 

seorang perempuan tiga-puluhan menyesap es latte tanpa gula 

tanpa tahu setelah menit ke lima puluh empat 

akan ke mana lagi langkah kaki menyeretnya: 

ke tengah keramaian kota atau ke ruang sepi tanpa suara 

 

Ia, perempuan tiga-puluhan itu, adalah sebuah 

dari sekian banyak cerita yang tumpah dan menyisakan 

sedikit ingatan. Baginya, ingatan adalah debu jalanan 

yang menempel sebentar di wajah 

dan gampang tersapu toner, facial wash, dan serum. 


Di sudut kota yang minim cerita, 

ia menggambarkan sendiri sebuah distopia 

mengangankan jalan-jalan seperti kota-kota 

di Eropa yang tak pernah sekali pun ia kunjungi

(ia hanya menikmatinya di novel-novel dan film) 


“Kalau hujan lebih ribet lagi,” katanya 

ketika ia mengeluhkan tentang tata letak kota: 

aneh dan terkesan memaksa 


Tapi, ia adalah perempuan tiga-puluhan 

yang hidupnya mana cukup untuk memenuhi angan semata 

ia ciptakan saja di kepala, sepulang kerja, 

sambil membersihkan debu jalanan ke sekian. 


Pun ia akan ke mana pada menit lima puluh empat, 

ia tahu, ia sudah tahu: menciptakan kota baru di kepalanya. 


Serang, 5 Januari 2024 



Pada Minggu Sore, Pukul Lima Belas Nol-Nol 


Adalah suatu perjalanan panjang menuju hari esok, dan 

dalam sudut benakku mengajukan pertanyaan: 

akan seperti apa esok nanti, jalan-jalan yang ‘kan dilalui, 

angkutan umum yang ‘kan dinaiki? Juga, 

kafe, kedai, atau warung kopi mana lagi yang ‘kan disinggahi dan 

‘kan seperti apa kita esok nanti? 


Mungkin seperti cerita-cerita pada novel yang telah kubaca, 

Seperti larik puisi yang maknanya tak pernah habis kumengerti. 


Tapi, sebelum esok nanti datang lagi, 

aku masih saja di sini. Di ruang sempit, berantakan

bersama buku-buku yang berserakan 

kain-kain pakaian bertebaran, bantal-bantal bertumpukkan, 

barang-barang berhamburan. 


Anehnya aku malah suka 

Suka sekali berdiam lama di sini, di tempat yang 

menjebakku pada Minggu pukul lima belas nol-nol, 

pada Minggu sore yang membawaku pada perjalanan panjang 

menuju hari esok yang tidak kumengerti ‘kan seperti apa lagi  


Serang, 23 Januari—10 September 2024


Es Amerikano Tanpa Gula, Pukul Tujuh Belas Sepuluh 


Di baris kedua deretan bangku kedai kopi dua puluh lima ribu-an 

aku mencari selarik demi selarik di lantai tanpa ubin, di gelas kopi 

dengan kafein yang pahitnya bukan main, dan di antara 

dua pasang Milenial-Gen Z yang prihatin soal roti empat ratus ribu-an.  


Aku membuka kembali buku puisi Chairil, Sapardi, sampai Jokpin 

tak kutemukan satu pun kata-kata yang meyakinkan 

apa aku sudah kehilangan makna, seperti aku kehilangan rasa 

yang terserap es kopi pahit di kedai kopi kapitalis?


Aku mencoba mendengarkan lirik sendu Bernadya, mengupas-

tuntas lagu-lagu Juicy Lucy, sesekali juga menikmati 

“Dust”-nya SEVENTEEN. Ah! Betapa lucu hidupku ini: 

selera musik yang tak beraturan, tak related dengan kenyataan 

tapi tak satu pun kata-kata kudapatkan. 


Aku sudah kehilangan makna, 

seperti aku kehilangan rasa pada es kopi amerikano 

di kedai kapitalis, pukul tujuh belas sepuluh. 


Serang, 10—11 September 2024 



________

Penulis 


Firda R., penulis tinggal di Kota Serang, kota yang makin hari makin berisik. Penulis masih suka baca buku, apalagi fiksi: novel dan cerpen. Penulis juga suka es kopi amerikano tanpa gula. Kadang-kadang juga suka latte, tapi enggak bisa ngopi tiap hari. Penulis sekarang menjadi pengajar di salah satu tempat bimbel di Kota Cilegon. 



Kirim naskah ke 

redaksingewiyak@gmail.com