Cerpen Alda Muhsi
Lobi hotel tidak terlalu ramai hari itu, hanya ada beberapa orang yang tidak saling kenal mengisi beberapa bangku kosong. Ruangan yang cukup besar membuat suasana sangat lengang, seperti jalanan ibu kota menjelang hari raya. Di antara beberapa orang yang ada di sana, seorang lelaki tampak gelisah sedang menunggu sesuatu. Alunan saksofon Kenny G. yang terdengar melalui sela-sela speaker yang menempel di dinding sedikit mengurangi kecemasannya. Dalam duduknya yang bolak-balik beranjak ke kiri dan kanan, jari-jemarinya sesekali terlihat bergerak mengikuti irama trumpet kelas dunia itu. Kedua matanya ia tutup, napasnya ditarik panjang, dan diembusnya pelan-pelan. Sesaat kemudian ia kembali pada dasar kegelisahannya.
Tak jauh dari lobi hotel itu terdapat meja bar yang dikhususkan untuk tamu menunggu. Dua tangki air masing-masing berisi air putih dan infuse water tersedia gratis sebagai minuman selamat datang.
Aroma biji kopi terbaik di kota itu pun memadati ruangan. Sayangnya, lelaki itu tak punya waktu yang panjang untuk memesan kopi. Padahal lidahnya sudah sangat cemburu pada hidungnya yang nyata-nyata menghirup wangi kopi. Maka ia hanya membasahi tenggorokannya dengan air rendaman lemon dan daun mint yang kecut, seraya mengisi kekosongannya menanti.
Ia duduk di sofa panjang yang lengket di dinding. Pada dinding-dinding itu ia bisa melihat dirinya sendiri karena sudah dilapisi cermin. Matanya yang sembab dilingkari garis hitam tak bisa disamarkan.
Apakah ia harus mengutuk diri sendiri atau malah harus mengasihani karena aktivitasnya selalu menyandera jam tidur?
Ia melirik arloji yang melingkar di lengan kirinya. Kemudian ia melihat layar ponselnya, memastikan jadwal keberangkatan. Masih ada sekitar sepuluh menit. Ia membaca lagi pesan percakapannya.
“Pesawatku jam 12, jam 10 ini mau berangkat ke bandara. Aku harap kita bisa bertemu lagi.”
“Hei, kamu di mana? kita ketemu di lobi ya.”
***
Dua orang lelaki sedang bertaruh harga diri di meja biliar. Wajah keduanya tegang walau sesekali diselingi oleh candaan. Seorang lelaki menjadi wasit. Ketiganya berasal dari kota yang berbeda.
Di hadapan meja biliar terdapat sebuah sofa berlapis beludru. Seorang lelaki lain duduk di sana, sedang menunggu giliran; peraturannya siapa yang kalah harus ganti. Tidak lama kemudian seorang perempuan menghampiri.
“Wah, seru sekali kelihatannya.”
Wajah perempuan itu cerah menyaksikan pertandingan. Disambut pula dengan meriah, satu di antara keempat lelaki itu sudah ia kenal.
“Mau coba main? Harus ambil nomor antrean,” sapa si wasit sedikit bercanda sambil menunjuk ke arah lelaki di sofa.
“Ah, tidak, tidak, aku enggak bisa main,” respons perempuan itu singkat. Lalu ia beranjak menuju sofa.
“Hei, dari kota mana? Kenalan dulu dong. Aku Widi dari Lombok,” tegurnya ramah ketika matanya sejajar dengan lelaki di sofa.
“Oh ya, aku Dura dari Medan. Lombok keren ya profilnya, aku suka.”
Mereka adalah kumpulan anak muda dari setiap daerah di negara ini yang diutus menjadi buzzer untuk melawan teror di dunia maya. Setiap tahun para buzzer akan dikumpulkan di satu wilayah untuk membahas masalah dan solusi di daerah masing-masing.
“Ah, enggak juga, kami hanya memaksimalkan apa yang kami bisa,” katanya merendah. “Oya, kamu gak ikut antre main?”
“Hmm … enggak,” balasnya sambil menggeleng.
“Dari kecil aku enggak pernah diajarkan permainan apa pun, termasuk biliar. Kata orang tuaku, biliar termasuk olahraga mahal. Ada tempat penyewaannya di dekat rumah kami, ada yang per jam dan pakai koin: satu koin satu permainan, tapi selalu diisi oleh orang-orang enggak beres. Perempuan-perempuan seksi yang melayani, pemain-pemain yang bertaruh uang.”
“Jadi sekalipun kamu gak pernah datang ke tempat itu?”
“Tentu saja aku datang. Dengan hati-hati biar enggak ketauan.”
Perempuan itu senyum. “Terus apa yang kamu lihat?”
“Orang tuaku enggak seratus persen benar, tapi enggak sepenuhnya salah. Di tempat-tempat yang penyewaannya terbilang murah memang sangat parah, Perempuan-perempuan yang melayani memakai baju kaos yang bagian dadanya terbuka dan kendor. Jadi ketika mereka mengambil bola di bawah meja untuk disusun, buah dadanya akan merekah. Bukan sebentar, bayangkan ada lima belas bola. Mata-mata para pemain enggak lepas menyaksikan itu. Belum lagi umpatan-umpatan yang keluar dari si pemain yang kalah, seperti bertaruh rumah. Di tempat yang lebih mahal atau mewah para pelayannya rapi, tempatnya nyaman dan senyap. Enggak akan terdengar caci maki. Semua bermain untuk senang-senang. Tapi aku enggak pernah masuk ke sana, hanya melihat dari luar.”
Teman-teman yang lain berada di balkon, menenggak wiski seloki demi seloki, mengisap rokok batang demi batang. Menerbangkan lelah bersama angin dari gedung hotel bintang lima ibu kota. Malam itu adalah malam terakhir mereka berada di sana. Segala rangkaian acara telah selesai. Artinya malam bebas sebelum esoknya mereka dipulangkan ke kota masing-masing. Malam bertatapan muka dan bertukar cerita sebelum berpisah dan enggan saling menyapa melalui dunia yang terhalang bangunan-bangunan, hutan, sungai, laut, dan segala aktivitas yang merantai tubuh.
“Kita memang sering ditakut-takuti tentang sesuatu sehingga kita percaya hal itu. Padahal apa yang terjadi belum tentu benar-benar menakutkan. Kurasa itulah kelemahan kita. Karena sejak kecil kita gampang ditakut-takuti, digertak, diancam, makanya sampai sekarang kita selalu dihantui perasaan takut, bahkan terhadap sesuatu yang tidak ada. Kita takut pada hal-hal absurd dan abstrak,” ujar Widi sambil menyisir rambut hitam kecokelatan dengan jarinya.
Dura sejenak terdiam memaknai kata-kata itu. Tatapannya tajam menembus bening bola mata hitam Widi. Di meja biliar bola tinggal satu pukulan terakhir, dan masuk. Pemain yang kalah harus dihukum push up sepuluh kali sebelum bertukar.
Tiba-tiba Widi mengganti topik pembicaraan.
“Oh iya, kamu percaya gak adanya konspirasi?”
“Aduh, kenapa jadi berat pertanyaannya. Besok kita mau pulang, pelatihan udah selesai, kenapa malam ini kita enggak senang-senang aja?”
Perempuan itu tertawa geli.
“Ini bagian dari kesenanganku,” lanjutnya tertawa lagi, “tapi menurutku orang-orang yang percaya konspirasi adalah orang-orang yang putus asa.”
Mata Dura sontak membelalak, kemudian ia menyungging senyum. Widi pun ikut tersenyum. Senyum yang menjadi sihir, terus tersimpan dan selalu diingat oleh Dura.
***
Tidak banyak yang bisa dilakukan ketika menghadapi pintu perpisahan. Begitu pula rentetan kata-kata tercekat di ambang mulut. Sepasang insan itu hanya saling pandang menyandang wajah yang menyedihkan.
“Kamu sehat-sehat ya. Jangan pernah hilang kontak,” ujar Widi membelah sunyi.
Perempuan memang selalu bisa meluruhkan suasana tegang.
“Aku selalu berharap bisa bertemu lagi.”
Dura memutar tubuh. Ia berjalan keluar, menuju bus yang tinggal menunggunya tanpa menoleh ke belakang. Ia takut tidak tahan menyaksikan wajah perempuan yang akan ditinggalkannya. Kepergiannya diantar oleh Forever In Love. Semakin jauh langkahnya semakin tajam pula lagu itu menikam gendang telinga.
Dalam perjalanan menuju bandara, Dura menyesali kepengecutannya, ketidakberaniannya terus terang kepada Widi. Benaknya tak henti terbayang-bayang wajah putih perempuan yang dihiasi hidung mancung itu, aroma tubuhnya, dan lengkung bibirnya yang mungil menggemaskan. Buru-buru ia mengambil ponselnya. Setelah menimbang-nimbang dan mengumpulkan tekad, akhirnya ia menulis sesuatu.
“Tadi sebenarnya aku ingin memelukmu, tapi kupikir apakah pantas? Sekarang aku menyesal karena tidak melakukannya. Maaf untuk pengakuan ini.”
Pesan sudah dikirim melalui WhatsApp, tapi hanya centang satu. Lima menit kemudian masih begitu, sepuluh menit tetap sama. Dura menyimpulkan, pesan itu tak layak disampaikan. Ia menghapus pesannya sebelum sempat terkirim dan dibaca, tapi tak pernah menghapus penyesalan dan keinginan untuk memeluk perempuan itu. Perempuan yang setelah pertemuan kedua itu, entah kapan atau bahkan tidak akan bertemu lagi.
Sesaat setelah masuk ke pesawat, Dura duduk di kursi dekat jendela. Berbatas sekeping kaca tebal, awan-awan di luar terlihat bergumpal mendung, menambah cemas. Sebelum ia memadamkan ponselnya, Widi mengirim pesan.
“Kenapa pesannya dihapus? Mau bilang apa?”
Degup jantungnya terasa cepat. Hawa dalam pesawat tiba-tiba panas dan pengap. Lama ia terdiam untuk menjawab. Hingga awak kabin menyiarkan pengumuman pesawat akan berangkat.
“Tidak ada apa-apa, cuma mau ngabarin aku take off.”
Kemudian ponselnya ia padamkan.
Medan, 2020--2024
________
Penulis
Alda Muhsi, pengelola Kede Buku Obelia, toko buku alternatif di Medan. Buku tunggalnya kumcer Empat Mata yang Mengikat Dua Waktu (2016) dan Yang Lahir Hilang Menangis (2019). Bergiat di Ngobrol Buku, komunitas sekaligus book launching organizer yang rutin membicarakan buku-buku sastra Indonesia setiap Jumat secara daring melalui Instagram, juga secara luring sebulan sekali pada akhir pekan.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com