Friday, October 4, 2024

Cerpen Fauzan Murtadho | Monolog Sayur dan Bumbu Seblak

Cerpen Fauzan Murtadho



Aku dan istriku sedang menatap langit yang terang oleh bulan dan berhias bintang-bintang. Duduk di teras berdampingan. Berpelukan. Angin malam hari ini membuat kami bergairah untuk menyantap makanan yang lezat dan berkuah. Terbayang ketika menyeruput kuah dari makanan itu membikin seluruh badan hangat dan sensasi nyaman yang tak tertandingi. Memang malam ini kami sedang berbincang merencanakan untuk masak sesuatu yang menghangatkan.


“Bagaimana kalau mi?” tanyaku kepada istriku.


“Aku bosan. Kalau yang lain?” 


“Seblak?”


“Boleh juga tuh. Tapi Mas yang masak ya? Sayuran dan bumbu-bumbunya sepertinya ada di kulkas,” pinta istriku.


Mau tidak mau, aku coba turuti apa pun keinginan istriku. Aku khawatir ia akan berbuat macam-macam lagi. Karena pernah suatu ketika, ia minta dibelikan sekotak donat yang berisi dua belas. Sedang kami hanya berdua di rumah. Tidak ada sesiapa lagi.


“Kita hanya berdua, kenapa enggak beli yang setengah lusin saja? Dua belas itu kebanyakan,” pintaku kepadanya.


“Ya sudah. Gak jadi,” jawabnya dengan nada ketus dengan air muka yang mengesalkan.


Apa? Emang kenapa, sih? Apa ada yang salah? Kenapa perempuan itu selalu merumitkan segala hal yang sepele. Siapa yang mampu menghabiskan dua belas donat oleh dua orang? Itu masuk akal. Terlebih, aku adalah orang yang tidak terlalu suka dengan makanan yang manis. Dan istriku tahu itu.


Beberapa teman tongkoronganku pernah mengeluhkan perihal yang sama tentang istri-istri mereka. 


“Aku pernah memberikannya sebuah jam dan harganya lumayan. Masa aku suruh kembalikan karena merasa jam itu tidak berguna,” ujar temanku yang pertama. Aku dan temanku yang lain mentertawakannya.


“Itu masih mendingan. Aku pernah membuat semangkuk masakan untuk kami makan berdua. Karena rasanya tidak sesuai dengan selera istriku, akhirnya kami bertengkar hebat dan ia meminta cerai kepadaku,” ujar temanku yang kedua. Kami terdiam. Mengambil kopi dari meja dan berpura-pura menyeruputnya. Seketika suasana hening.


***


Aku beranjak menuju dapur, meninggalkan istriku sendirian di teras. Pikiranku sedikit kacau. Tidak yakin dengan hasil makanan yang akan aku hidangkan nanti. Dalam hati aku bertanya.


“Apa aku bisa memasaknya?”


Sampailah aku di depan pintu kulkas. Yang di dalamnya terdapat banyak sekali bahan makanan. Aku ingat, istriku menyimpan buku resep masakan di atasnya. Aku coba mencarinya. Setelah mendapatkannya, aku mencari lembaran kertas yang menjelaskan bagaimana cara memasak seblak.


“Di buku tertulis, ada dua resep seblak yang bisa dibuat. Ada yang manis gurih dan ada yang asin gurih,” aku berpikir keras. Sangat bertentangan sekali. Istriku senang dengan masakan yang manis dan gurih. Sedangkan, aku suka masakan yang asin dan gurih. Jadi, seharusnya aku masak seblak dengan selera siapa? Aku atau istriku? Ah, sial. Belum masak saja begitu memusingkan kepala.


Aku coba kumpulkan lebih dulu beberapa barang yang tertulis di buku resep. Namun, ada beberapa barang yang asing di depan mataku.


“Sawi, ada. Kol, ada. Kerupuk juga sudah ada. Kencur? Yang mana kencur?” aku menatap dengan ragu tiga akar yang berada tepat di depan mataku. Kalau dilihat dari tampilannya memang masing-masing memiliki detail dan aroma yang berbeda-beda. Yang satu, berukuran agak besar dari yang lainnya dan memiliki aroma yang khas. Yang satunya lagi memiliki ukuran lebih kecil dari yang pertama, harumnya juga sangat aromatik dan memiliki warna yang sangat pekat. Satunya lagi, ukurannya lebih kecil dari yang pertama dan kedua, harumnya juga aromatik.


“Nah, sekarang aku tahu, kalau yang ini kunyit. Terlihat dari warnanya yang kuning pekat.” gumamku. 


Jadi, tersisa dua akar yang berada di depanku. Tapi, aku masih belum mengetahui yang mana yang kencur. Tiba-tiba khayalan dalam benakku muncul. Barang-barang itu berbicara kepadaku. Pikiranku bertarung.


Akar Paling Kecil


"Heh, kenapa kamu masih ragu? Pilih aku! Istrimu pasti bakal klepek-klepek deh. Siapa yang nggak suka dengan rasa manis gurih?"


Kerupuk


"Seblak tanpa aku? Itu sama saja dengan hidup tanpa cinta! Ayo, masukkan aku, dan seblakmu akan jadi istimewa!"


Akar Paling Besar


"Ah, kalian berdua ini! Aku yang paling penting! Hangatku bisa mengusir semua masalah. Siapa tahu, setelah makan, istrimu malah ngajak kamu berciuman!"


Sawi


"Ciuman? Haha! Pasti ciuman pahit kalau dia salah pilih! Sayuran seperti aku yang bikin seblak jadi segar. Tanpa sayuran, seblakmu bakal kering dan hambar!"


Kerupuk


"Eh, kalian semua sibuk berdebat, tapi yang terpenting adalah rasa! Kalau kamu pilih salah satu dari kita, bisa-bisa kamu berurusan dengan pengacara perceraian, lho!" 


Sial, pikiranku tidak mau berdamai. Ditambah lagi, cerita dari teman-temanku yang sangat mengkhawatirkan itu masih melekat jelas dalam ingatanku. Aku takut kalau istriku tidak berselera memakan masakanku. Sudahlah, yang penting aku coba dulu.


Pertama, aku akan menghaluskan bumbu-bumbunya. Bahan-bahannya adalah bawang putih, bawang merah, kemiri, cabe rawit, cabe merah dan kencur. Namun, dalam benakku akar-akar itu berbicara lagi.


“Apa kamu cuma mau memasukkan satu akar saja? Jangan salahkan aku kalau seblakmu rasanya hambar!” ujar Akar Paling Kecil itu.


Baiklah, aku akan memasukkan semua barang, termasuk dua akar itu. Tapi, apa ini akan terasa pedas atau tidak ya? Katanya, seblak kalau tidak pedas itu tidak nikmat. Baiklah, aku masukkan saja segenggam cabe rawit.  Setelah bumbu-bumbu itu halus, tumis sebentar. Setelah aku siapkan wajan. Menuangkan minyak ke dalamnya dan memanaskannya di kompor. Suara renyah pun keluar saat aku tuangkan bumbu itu kedalam wajan.


“Uhuk-uhuk. Wah, ini sepertinya terlalu pedas,” aku mengeluh dalam hati, sambil mengipas-ngipas asap yang keluar dari wajan menghampiri hidungku dengan tangan.


Setelah beberapa detik aku menumis bumbu, selanjutnya aku tuangkan air secukupnya. Setelah itu, kerupuk dan sawi dimasukkan. Aku masukkan gula dan penyedap rasa supaya menambah cita rasa yang menggiurkan. Aku tambahkan tanpa mengicipinya. Satu sendok, dua sendok, sampai tiga sendok gula aku masukkan. Karena istriku suka makanan yang manis.


Ketika semua telah selesai, dan seblak siap dihidangkan. Aku mengambil sendok dan mencoba untuk mencicipinya.


“Ah, sial. Terlalu manis! Ini seblak apa manisan kerupuk? Rasanya juga tidak jelas!” hatiku protes.


Aku tidak yakin bahwa istriku akan suka dengan masakan ini. Aku coba mencari pelastik untuk membungkusnya dan berniat membuangnya.


***


Aku keluar menghampiri istriku dengan tangan hampa. Duduk kembali di sebelahnya.


“Lho, seblaknya mana?” tanya istriku keheranan.


“ Hmmm. Bagaimana kalau kita ngebakso aja? Aku malas memasaknya,” kataku sedikit ragu.


"Jadi, kamu ingin beralih dari masakan berisiko ke masakan aman? Ingat, bakso ini juga bisa menjadi sumber drama kuliner kita berikutnya!" ujarnya. Aku hanya bisa tersenyum, menyembunyikan kejadian di dapur, sambil membayangkan bakso yang tiba-tiba melompat dari panci dan membuat kekacauan.


Serang, 2024

______

Penulis


Fauzan Murtadho, lahir di Serang pada Tanggal 18 Juni 1998, telah menempuh pendidikan S-1 Jurusan Teknik Informatika. Ditunjuk sebagai ketua dalam grup WA Klinik Menulis. Bekerja sebagai tenaga pendidik dan kependidikan di Pondok Pesantren Darussalam Pipitan sejak tahun 2019. Pernah menulis puisi meskipun tidak diterima oleh guru karena dianggap kurang memadai. Tinggal bersama istri, anak, mertua dan adik-adik ipar di Kp. Pipitan RT/RW 004/002 Kel. Pipitan Kec. Walantaka Kota Serang.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com