Friday, October 11, 2024

Cerpen Herdiana Randut | Ritual Suci di Selasar Desa

Cerpen Herdiana Randut



Bunyi gong dan gendang berkumandang pada selasar desa. Seluruh warga berpakaian hitam pertanda hati yang sedang berkabung. Perempuan-perempuan desa mendengungkan kidung duka untuk desa yang lara. Anak-anak sedang memikul bakul berisi hasil bumi. Kepala suku membawa sesajian dalam rupa minyak, kayu cendana, dan tanah sejumput. Wangi dupa, lantunan kidung duka, dan alunan musik menyatu dalam uraian-uraian doa. Saat ayam berkokok dan anjing melolong suatu sore itu, aku melihat sejumlah warga tunduk bersujud pada tanah yang dipijaki. Aku ikut bersujud dan memanjatkan doa untuk desaku tercinta. Sesajian dihantar menuju sumber mata air. Seluruh warga berarak-arakan diiringi lantunan musik dan kidung duka. Saat tiba pada sumber mata air tersebut. Sesajian disimpan dalam bakul rotan dan diletakkan pada permukaan air. Kepala suku dan ayah berdoa dengan bahasa yang tak dimengerti warga. Bersahut-sahutan seperti para peratap Israel menyanyikan kidung kematian.


Dua jam lamanya ritual dilakukan, dua jam kesyahduan, dua jam penuh khidmat. Tak ada hambatan atau pun rintangan. Warga kembali ke rumah masing-masing membawa segala harapan agar desa lekas pulih. 


***

 

“Selasar desa adalah pintu masuk ke desa ini. Arak-arakan harus diringi musik dan kidung duka agar Kakek Waimin mengetahui kedatangan kita. Saat kita berada di selasar desa, musik harus mulai dibunyikan dan kidung dilantunkan. Musik dan kidung memberi tahu para leluhur bahwa kita sudah berada pada selasar desa ini. Seperti undangan dan panggilan untuk mereka,” Ayah menguraikan satu persatu rentetan ritual suci yang terjadi kemarin. 


“Mengapa sesajian diberi kepada Kakek Waimin?” aku bertanya kepada Ayah. Rasa ingin tahuku semakin menggebu-gebu ketika Ayah mulai bercerita.


“Dia adalah leluhur desa ini,” Ayah menjawab singkat. Aku melihat Ayah sedang berpikir. Aku hanya bersangka kalau Ayah sedang berpikir hal apa lagi yang akan diceritakan padaku saat itu.

 

“Aku tak bisa melihat seperti apa sosok Kakek Waimin itu. Kepala Suku kitalah satu-satunya orang yang bisa melihatnya. Sejak ritual suci kemarin, aku diberitahu oleh Kepala Suku kalau dugaanku selama ini benar. Kakek Waimin adalah makhluk lain. Ia bersemayam pada mata air itu,” Ayah menambahkan ceritanya.

 

“Tetapi masyarakat tak tahu itu. Mereka mengira jika Kakek Waimin dikubur pada selasar desa. Tempat pertama kali ia menginjakkan kaki di desa. Karena hal tersebut, kita wajib memulai ritual suci apa pun di desa ini pada selasar desa.” 


“Lantas Ayah, mengapa masyarakat tidak diberitahu tentang Kakek Waimin itu? Lalu, bagaimana ia bisa membangun selasar desa?” aku bertanya dan terus bertanya. Aku yakin jika Ayah bisa menceritakan kepada warga tentang Kakek Waimin.


“Tidak, hal itu tidak penting anakku. Yang terpenting ialah warga tidak melakukan pencemaran pada selasar desa dan sumber mata air kita. Kita patut menghormati kewibawaan tempat-tempat ini serta menghargai kepercayaan warga desa tentang Kakek Waimin, ” ayah berbicara dengan tegas dan lugas. Ia tak mau mengganggu kepercayaan warga desa jika Kakek Waimin adalah manusia.


“Ia menjelma sebagai manusia biasa. Lalu, membangun selasar desa. Kemudian ia membangun sebuah gubuk bambu tak jauh dari sumber mata air itu. Ia sering duduk dan bercerita bersama warga dari desa lain yang memiliki lahan di sekitaran wilayah ini. Setahun kemudian, beberapa orang pindah dan membangun rumah pada desa ini.”


Aku mengangguk-ngangguk mendengar pernyataan ayah. Selasar desa menjadi pusat musyawarah dan berlangsungnya peristiwa-peristiwa penting dalam desa.


***


Seminggu yang lalu Ayah tidur di ladang. Ayah khawatir ladang kami ditumbuhi ilalang dan rumah bagi belalang. Sebab ia baru saja menanam padi ladang sebidang. Ia juga harus menjaga lumbung padi. Apalagi menghadapi musim lapar. Ya, banyak warga mengeluh kekurangan beras.


Hari itu Ayah memutuskan tidak ke ladang. Ia duduk depan teras rumah sambil merokok ditemani secangkir kopi hangat. Jika ia tidak ke ladang, begitulah ia mengawali harinya. Terkadang Ayah menengok ayam-ayam peliharaan kami di kandang belakang rumah. Kendati ia jarang memberi makan ayam, namun ia selalu menyempatkan diri bertengok ke kandang. Hanya ibu yang pandai merawat ayam. Jika aku libur, aku selalu membantu ibu. Memerhatikan binatang peliharaan dan sesekali ke ladang menemani Ayah. Ia senang bercerita. Ia seringkali mengisahkan sejarah bangsa, cerita rakyat, dan kisah-kisah budaya lainnya. Ayahku menjadi guru desa, berkeliling dari kampung ke kampung, mengajarkan tatanan budaya dan hidup sosial kepada masyarakat desa. Hal itulah yang membuat Ayah cukup disegani di desa kami.

 

Konon kata Ayah dahulu kala desa kami adalah desa yang subur, Makmur, dan aman. Hasil panen yang tak pernah gagal, sumber air tak pernah mati, dan kehidupan masyarakat desa yang cinta damai. Hampir tak ada pertikaian atau percecokan antarwarga desa. Aparatur desa selalu bekerja dengan baik dan bertanggung jawab. Waimin nama desa kami. Ayah berkata asal muasal desa ini diberi nama Waimin. Katanya karena ditemukan oleh Kakek Waimin. Kakek Waimin dianggap leluhur oleh warga. Bagi Ayah sulit menjelaskan kepada warga tentang kepercayaan ini.


Dua tahun terakhir warga mengeluh kekurangan air pada ladang, berharap hujan akan datang. Beberapa kali, tapi tak berlimpah.. Hujan beberapa kali itu, belum cukup untuk menghidupkan padi, jagung, dan kacang-kacangan. Sumber mata air desa tempat satu-satunya untuk bersandar pun semakin sedikit memberikan air. Warga desa terus mengeluh. Padi pada lumbung-lumbung mereka hampir habis, sedangkan hidup masih terus berlanjut. Untuk anak cucu yang terus bertumbuh, segala cara dilakukan oleh segenap warga.

 

“Mungkin kita akan melaksanakan ritual itu lagi, ” Kepala Suku menutup pertemuan siang itu bersama aparatur desa. 


“Mari pikirkan kapan sekiranya ritual itu dilakukan lagi, ” ia mengajak aparatur agar memikirkan waktu yang tepat. 


***


“Apakah yang sedang kau cemaskan? ” tanya Ayah kepada Kepala Suku sore itu selepas pertemuan berakhir.


“Sebulan yang lalu kita duduk berembuk agar ritual itu dilakukan. Sebulan sudah setelah ritual itu, aku melihat tak ada tanda-tanda hujan datang dan kondisi mata air masih seperti semula. Warga menanti dengan penuh harap. Tapi, penguasa langit belum menjawab. Aku kira penguasa langit sedang menguji kita.”

 

“Aku sepakat denganmu. Tak ada cara lain selain ritual suci itu dilakukan lagi. Jika hujan tak datang setelah ritual kedua dilakukan, ritual yang sama dilaksanakan lagi, ketiga kali,” Ayah memberikan tanggapannya kepada Kepala Suku.

 

Ayah selalu optimis jika hujan akan datang dan kelaparan akan berakhir. Baginya ritual di selasar desa itu akan menghantar warga kepada kemakmuran seperti sedia kala. 


“Leluhur adalah orang-orang yang dekat dengan penguasa langit. Mereka mengetahui ratap tangis warga. Mereka hidup bersama kita di dalam desa ini. Sudahlah, kau tak perlu cemas berlebihan. Ini bukan kesulitanmu saja, kan? Aku tahu warga pasti akan datang pada kita. Biarlah semesta menyampaikan sujud kita dan leluhur mengirim energi itu sehingga penguasa langit menyampaikan kabar yang dinanti-nantikan,” Ayah menepuk bahu Kepala Suku dan menatapnya penuh optimis.

 

***


Malam hari, tepat pukul tujuh, ritual suci itu dimulai untuk kedua kalinya. Aku ingat ayah pernah bilang pada ritual yang kedua “semesta bersama kita”. Bunyi gong dan gendang berkumandang. Kidung duka dilantunkan lagi. Pada selasar desa seluruh warga berkumpul, bersujud sembah di atas tanah yang dipijaki. Sebagian warga menangis, bersujud, menengadah, dan saling berpegangan tangan. Air mata permohonan ikhlas nan tulus diungkapkan malam itu. Tak kuasa aku hanyut dalam isak tangis warga yang sungguh merintih kelaparan.

 

Ayah dan Kepala Suku kembali mengumandangkan doa, bersahut-sahutan diiringi gong dan gendang. Sesajian dalam bakul disimpan pada permukaan air. Asap dupa membubung ke langit dan wangi sesajian tercium mengalahkan kegelapan malam suci itu. Dua jam pun selesai. Warga kembali dalam kesunyian malam. Ke rumah tempat menanak nasi dan merawat anak cucu. 


Pukul tiga dini hari, ayah terbangun saat mendengar petir dan angin kencang. Saat ia hendak membuka pintu depan, rintik-rintik hujan perlahan-lahan menumpahkan diri, kemudian hujan semakin deras. Ayah tersenyum dan kembali menutup pintu. Ia membangunkan Ibu dan aku. 


“Penguasa langit mendengar doa-doa kita. Terjawab sudah ritual suci di selasar desa. Kita harus bertemu warga di selasar desa esok hari mengubah kidung duka lara menjadi kidung puji-pujian kepada penguasa langit dan leluhur,” Ayah bertutur dini hari sambil bersyukur kepada penguasa langit.


______

Penulis

 

Herdiana Randut, kelahiran Januari 1994. Menyukai puisi dan cerpen. Beberapa puisi dan cerpen pernah dimuat dalam buku antologi cerpen Rembulan (2024) dan antologi puisi Trauma (2024). Anggota Komunitas Sastra Saung Karsa, Komunitas Puandemik Indonesia dan Woke Asia Feminist, sekarang menjadi Ketua Komunitas Puan Floresta Bicara serta kolumnis dan editor di media krebadia.com


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com