Friday, October 18, 2024

Cerpen Santama | Petaka, Raibnya Mayat, dan Syak Wasangka

Cerpen Santama




Dari pohon yang besar menjulang laksana raksasa, di malam yang jahanam ini, saya mendengar gagak berkoak-koak, terasa tergelak; sedang di atas sang raksasa tampak rembulan yang bulat kemerah-merahan. Saya pandang titik-titik cahaya obor dan lentera di kampung saya, di sebelah selatan: semoga para warga selamat di sana. Kampung saya itu seperti kampung mati, sunyi mencekam, warga berbondong-bondong memburu pintu kayu surau, dan sebagiannya berlindung di rumah saya; ada Wa Juhud yang, dengan anggukan, bersedia saya sumpah melindungi mereka di sana. Lelaki tua itu pastilah terhenyak dan kalut, mesti melakoni tanggung jawab yang berat, karena itu tatapannya begitu kosong dan tak keluar dari mulutnya barang sepatah kata pun. Kami berlindung dari sosok makhluk yang sedari bakda Magrib muncul mengundang celaka. Makhluk itu tak sebesar kerbau tapi lebih besar dari kambing, bersayap hitam lebar seperti sayap kelelawar, sekujur merah terbakar, taring, kuku-kuku runcing. Saya telah lama tahu makhluk itu dari mendiang Nenek, yang mana makhluk itu juga berkaitan dengan kematian bapak saya yang konon seorang tentara.


Suatu hari di bulan Muharam, ketika saya masih kecil, Nenek mengajak saya mencari kayu api. Sepulang dari suatu lembah yang, kata Nenek, menyerap darah-darah, kami meniti hati-hati batu hitam yang tertumpuk, kuyup dan kukuh meningkah sungai yang mengarus, licin tumpuan setelah pejal pematang. Tuntas menyeberang, setelah beranjak dari hutan dan melewati persawahan kecil dan kembali terperangkap hutan, samar-samar saya ingat Nenek bercerita tentang suatu peristiwa kelam di masa silam, yang terjadi di lembah yang menyerap darah-darah itu. Kuduk saya lantas merinding, bak ada tangan tak kasatmata tengah menggerayang ria. Sementara Nenek terus bercerita, saya sibuk melirik ke deretan pohon yang dihantam angin petang, yang daun-daun tuanya bergetar lalu luruh dari ranting-ranting yang ramping sebelum melayang menghambur tanah. Saya juga kerap berbalik, melangkah mundur, takut kalau-kalau ada sesosok makhluk yang menguntit.


"Orang-orang bersenjata, sebelumnya pasti memburu mereka," terang Nenek, dan mereka yang dia maksud mengacu ke orang-orang dalam suatu peristiwa yang diceritakannya.


Peristiwa tersebut berlangsung ketika ibu saya hamil tua, menjelang kelahiran saya. Suatu peristiwa di masa yang genting sekali, kata Nenek. Kekacauan politik, kata orang-orang terpelajar. Ketika itu, barang siapa yang tak berdosa bisa tiba-tiba merasa berdosa, jadi ketakutan sendiri, dan yang jelas-jelas berandil besar atas kecamuk di masa tersebut, punya peran penting, pasti jauh lebih parah ketakutannya, lantas minggat selagi bisa.


Tapi entah siapa sebenarnya mereka, menurut Nenek, orang-orang asing yang dibantai di lembah itu.


Suatu hari, di saat-saat menjelang Magrib, ada dua orang warga yang akan pulang dari gunung. Saat masih melangkah turun: dari arah lembah sekonyong-konyong mereka mendengar suara tembakan yang beruntun, tak terhitung, dan mereka yakin benar itu bukanlah ulah para pemburu babi hutan. Sontak mereka tiarap, ngeri setengah mati. Setelah cukup lama, dan sempat berpikir bahwa yang barusan adalah ulah jahil mambang, dengan nyali yang tipis mereka kembali meneruskan perjalanan. Singkat cerita, di lembah mereka melihat sisa kebiadaban: lima mayat terkapar bersimbah darah. Setelah sampai di kampung dengan lintang pukang dan terengah-engah dan muka pucat, mereka mengabarkan horor itu, dan khalayak yang menyimak tak langsung percaya, tapi melihat roman dua pewarta itu mereka menangkap kesungguhan. Demikianlah, beberapa warga akhirnya berbondong-bondong memeriksa dan benarlah penemuan mengerikan tersebut bukan cakap angin. Lalu, berkat bujukan salah seorang sesepuh kampung di antara rombongan, kata Nenek, warga akhirnya sudi membuat empat liang lahat, tak lagi mempertimbangkan jati diri orang-orang tak dikenal yang dibunuh seolah-olah binatang itu, yang mereka pikir kalau matinya seperti itu pastilah orang-orang tersebut adalah orang-orang yang jahat dan pantas mati dalam cara demikian. Dan sang sesepuh kampung tak ingin mayat-mayat itu berbagi celah di makam tunggal besar.


"Mengapa hanya empat?" potong saya, mendapati keganjilan.


Itulah anehnya, kata Nenek. Dua orang warga yang pertama kali menemukan mayat-mayat itu, dengan setengah yakin, mengatakan bahwa mereka melihat lima mayat, tapi nyatanya hanya ada empat mayat, yang satunya mungkin mati suri. Atau mungkin sebenarnya memang hanya ada empat mayat, dua orang warga yang pertama kali menemukannya hanya salah lihat, suara terbanyak bersepakat atas kemungkinan terakhir.


Cerita Nenek belum lagi rampung ketika kami melintas di depan pabrik kopra, bangunan teramat sederhana tempat disiapkan banyak-banyak daging kelapa bakal minyak. Tempat itu, semasa saya kecil, terletak berbatasan dengan hutan, itu artinya kami telah sebentar lagi sampai di perkampungan. Tak ada isyarat apa pun bahwa Nenek kelak lanjut bercerita sewaktu-waktu, dan saya tak memastikan itu kendati saya tahu betul dia belum memungkasinya. Saya sebelumnya sempat memendam kesal lantaran Nenek bisa ringan hati berbagi cerita demikian ke bocah seusia saya. Lalu, dari pengungkapannya sendiri, mafhumlah saya apa maksud Nenek bercerita. Dasar orang tua.


"Sekarang kau sudah tahu lembah dan hutan di sana menyeramkan, bocah bengal. Awas kalau masih suka keluyuran tak kenal waktu."


Malam harinya, ketika kampung nyaris diamuk badai, di rumah kami berkumpul di ruang tengah. Di luar angin menyapu menderu-deru, Ibu yang tengah mengupas satu-satu kulit buah melinjo sesekali berkomat-kamit, sementara saya memainkan bayangan tangan yang dihasilkan cahaya lentera. Jemu, saya beringsut mendekati Nenek yang tengah mengunyah sirih. Tanpa saya perlu mengutarakan niat, nenek saya lalu meneruskan ceritanya seraya sesekali meludah ke bejana.


"Empat mayat itu akhirnya dikuburkan," kata Nenek, seingat saya dengan suara yang dipelankan.


Nenek bilang selang dua hari Bapak pulang ke rumah kami, atau mungkin dengan berat hati harus saya sebut menjenguk, yang jarang sekali, ke tempat tinggal istri keduanya: ibu saya. Sepekan kemudian, tak pernah terbayangkan sebelumnya, muncul makhluk mengerikan. Gentayangan di kampung.


Sekonyong-konyong saya menjerit ketika pohon pisang tumbang di pekarangan. Nenek tertawa-tawa. Giginya merah bagai berlumur darah. Saya meringis. Sesaat setelah kembali bercerita rautnya lalu berubah, tepat ketika dia berkata makhluk mengerikan yang dia maksud merenggut nyawa empat orang warga. Mencuri dengar cerita itu, Ibu tertarik perhatiannya. Dia menatap Nenek. Sorot matanya menyiratkan sesuatu.


Makhluk itu, lanjut Nenek tak menggubris tatapan Ibu, membunuh orang-orang yang, oleh warga sendiri, dianggap miring dan berwatak tak elok. Di antaranya Mistar si tengkulak kikir, Rantak si tuan tanah yang dengan siasat culas kerap merampas tanah warga, Sero si bramacorah. Mereka serentak tiada di malam Selasa, sebulan sebelum saya lahir. Seorang warga memergoki Langlangpukat, kerabat Mistar yang seratus hari telah wafat, membunuh si kikir dengan golok. Langlangpukat yang dilihatnya itu lalu beralih wujud menjadi makhluk yang tak sebesar kerbau tapi lebih besar dari kambing, bersayap hitam lebar seperti sayap kelelawar, sekujur merah terbakar, taring, kuku-kuku runcing. Makhluk itu lalu hinggap dan menempel sejenak di batang besar pohon kecapi, sebelum terbang di langit kampung yang mendung.


"Tapi bapakmu, korban keempat, harusnya pengecualian, harusnya ... tapi entah kenapa ...."


Sejak itulah saya tahu Bapak wafat bukan di ranjang ataupun pertempuran.


Saksi mata kematian Mistar lalu mengirim suara kentungan yang bertalu-talu di antara gelegar guntur, dia berteriak menjelaskan musabab perkara sesanggup yang dia bisa. Telah jatuh titik-titik hujan yang pertama, ketika Bapak dan Rantak beserta anak buahnya terpanggil undangan kentungan yang dibunyikan, sementara makhluk terkutuk hinggap di atas rumah Sero, menyibak genting-genting. Si tuan tanah ketika itu menenteng bedil angin, yang lalu diserahkannya kepada bapak saya. Bapak mulai mengokang, tapi terlambat; dari dalam, dinding-dinding bilik rumah Sero meloloskan pekik memilukan penghuninya yang lelap, lalu makhluk itu kembali terbang menerjang atap, di antara kilat yang menyambar-nyambar. Mereka lantas bisa lebih jelas melihatnya. Dalam sekejap bedil angin yang mengoyak udara terbanting ke tanah, Bapak dan Rantak dan satu anak buahnya tumbang tanpa sempat mengerang. Hujan turun deras, memadamkan obor-obor. Sang saksi yang masih memegang kentungan terberak-berak, tapi beruntung dia selamat. Dari dialah kejadian mengerikan itu menjadi kenangan buruk di tiap benak warga kampung.


Kini sang makhluk ulang memampang durja. Menyambut petaka, di rumah saya, bermunculanlah syak wasangka.


"Dosa besar membangkitkan dia, si pengkhianat, melahapnya pun bumi tak sudi," kata seorang warga.


"Jangan berbual yang bukan-bukan," jawab yang lain, "bahkan orang tua-orang tua kita waktu itu tak tahu siapa dan apa dosa orang-orang yang mati di lembah. Harusnya diadili dulu. Dan kalaupun benar makhluk itu adalah satu mayat yang hilang, segalanya tak akan terjadi kalau tak ada pembantaian, bukan? Dan harusnya tak hanya satu yang terbangkit kembali."


Seorang lagi meyakini: petaka yang melanda kampung ini tak lain lantaran dulunya warga kampung dipengaruhi syak wasangka yang buruk, seolah-olah kematian orang-orang asing di lembah adalah kematian yang diharapkan.


"Barangkali mayat itu bangkit secara ajaib demi bisa bersaksi."


Ihwal mayat yang raib itu, saya lebih percaya darah di sekujurnya menguar diterbangkan angin lembah, terendus penciuman hewan-hewan belantara yang liar lagi lapar, itu pun kalau memang benar penglihatan dua orang warga yang dulu pertama kali menemukannya. Saya tak ingin memikirkan itu untuk sementara. Saat ini yang terpenting ialah bagaimana cara mengusir makhluk itu, bahkan membikinnya binasa kalau bisa, selagi dia, dalam kesaksian pertama kalinya dari seorang warga, gentayangan di suatu pojok kampung dan muncul-lenyap di antara pucuk-pucuk pohon kelapa.


Kemunculan kembali makhluk itu bersamaan dengan kepergian Kyai Jafar yang konon ke tanah Makkah. Bersama tiga pemuda, saya dalam perjalanan mengambil tongkat Syekh Abdul Majid, konon penangkal kejahatan gaib. Percaya tak percaya, saya tetap manut. Diterangi lentera, kami tersaruk-saruk ke makam keramat. Saat tengah bersila di samping makam Syekh bermaksud mohon restu, di antara lengking jangkrik dan dengung nyamuk saya mendengar sesuatu bergerak, menginjak hamparan daun kering dan semak-semak. Dari belakang punggung saya, cahaya tampak mengambang. Datanglah seseorang yang memegang obor. Wa Juhud! Kami yang di makam beradu tatap, kompak terperanjat. Tak mungkin Wa Juhud mengumpankan warga. Ini tipu muslihat: dialah makhluk itu!


Dengan golok terhunus, saya nekat merangseknya, dia berlagak kebingungan. Di antara lengking Takbir salah seorang saya pasti telah menebasnya, jika saja dia tak berteriak mengejutkan, "Lihat, saya sanggup memegang Mushaf! Edan, tak biasanya, sejak Zuhur saya pulas di ladang, dan beberapa saat baru terbangun sebelum pulang ...."


Sontak saya terhenyak, gemetar meneguhkan hati, keras berusaha yakin, atau berharap, bahwa warga yang ada di rumah saya adalah orang-orang yang baik, betapa pun kemunculan makhluk itu tak berarti lain kecuali ada yang akan mati. Sekejap kemudian saya kembali bertanya-tanya: mempertimbangkan korban-korbannya, mengapa makhluk itu harus ... Tidak, tidak, makhluk terkutuk itu telah membunuh bapak saya! 


________


Penulis


Santama, lahir dan tinggal di Pandeglang, Banten.


Kirim naskah ke 

redaksingewiyak@gmail.com