Friday, October 4, 2024

Dakwah | Kenapa Kita Tidak Mau Bertaubat dan Beristighfar

Oleh Ust. Izzatullah Abduh, M.Pd.



Bismillah walhamdulillah washshalatu wassalamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du.


Sebagai seorang insan tidak dimungkiri bahwa dalam menjalani kehidupannya pasti pernah terjatuh pada perbuatan dosa dan maksiat. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana sikapnya setelah itu? Karena perlu diketahui bahwa setiap dosa dan maksiat itu memiliki pengaruh yang besar dalam kehidupan, baik menyangkut pribadinya maupun lingkungan sekitarnya.


Tidak ada dosa sekecil apa pun melainkan ada konsekuensi setelahnya. Sebab akibatnya itu ada. Inilah yang perlu dipahami oleh setiap kita, apalagi kita sebagai seorang Muslim. Demikian agar kita berhati-hati, mawas diri, dan tidak gampangan, serta meremehkan setiap perbuatan dosa dan maksiat.


Bilal bin Sa’d rahimahullah pernah berkata, “Janganlah kamu memandang remeh suatu dosa, tapi lihatlah kepada siapa kamu berbuat dosa.”


Dan seorang salaf rahimahullah pernah berkata, “Aku pernah berbuat maksiat, lalu sungguh aku dapati akibatnya ada pada perangai buruk istriku dan anak-anakku, bahkan hingga tikus-tikus yang masuk ke dalam rumahku.”


Dan juga Ibnu Sirin rahimahullah dikisahkan bahwa beliau pernah berbuat suatu dosa, lalu beliau menunggu-nunggu akibatnya, hingga berselang beberapa tahun, usahanya menjadi bangkrut oleh sebab seekor tikus yang masuk ke gentong madu miliknya, lantas beliau berkata, “Inilah akibat dosa yang pernah aku perbuat dahulu.”


Inilah pandangan orang-orang shalih terdahulu di dalam memandang perbuatan dosa. Dan ini senada dengan firman Allah subhanahu wata’ala di dalam Al-Qur’an,


ظَهَرَ الۡفَسَادُ فِى الۡبَرِّ وَالۡبَحۡرِ بِمَا كَسَبَتۡ اَيۡدِى النَّاسِ لِيُذِيۡقَهُمۡ بَعۡضَ الَّذِىۡ عَمِلُوۡا لَعَلَّهُمۡ يَرۡجِعُوۡنَ


“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar-Rum : 41)


Ayat ini menjadi peringatan bahwa segala sesuatu yang kita lakukan memiliki konsekuensi, dan Allah memberikan sebagian dari akibatnya sebagai bentuk pelajaran agar manusia menyadari kesalahannya dan kembali kepada jalan kebenaran.


Dan kata “al fasad” kerusakan di ayat ini merujuk pada segala bentuk kerusakan yang terjadi di muka bumi, baik fisik maupun moral.


Dalam ayat yang lain Allah subhanahu wata’ala berfirman,


كَلَّا‌ بَلۡ ۜ رَانَ عَلٰى قُلُوۡبِهِمۡ مَّا كَانُوۡا يَكۡسِبُوۡنَ


“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka.” (QS Al-Muthaffifin : 14)


Ayat ini mengabarkan akibat yang lebih parah daripada sekadar kerusakan bumi karena perbuatan dosa dan maksiat, yaitu kerusakan hati. Kebiasaan mereka berbuat dosa telah menyebabkan hati mereka jadi keras, gelap, dan tertutup laksana logam yang berkarat. Semua itu menutupi hati mereka sehingga tidak mampu membedakan antara yang hak dan batil.


Maka hendaknya setiap kita rajin mengintropeksi diri dan mengevaluasi diri, dosa dan maksiat apakah yang sudah dikerjakan, namun belum ditaubati dan diistighfari?


اَفَلَا يَتُوۡبُوۡنَ اِلَى اللّٰهِ وَيَسۡتَغۡفِرُوۡنَهٗ‌ؕ وَاللّٰهُ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ


“Mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Padahal Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah : 74)


Ibnul Qayyim rahimahullah pernah berkata, “Tidaklah bala (bencana) itu turun, melainkan oleh sebab perbuatan dosa, dan tidaklah ia diangkat (dihilangkan) melainkan dengan taubat dan istighfar.”


Dan terdapat kisah yang menggugah daripada seorang ulama bernama Hasan al Bashri rahimahullah, bahwa beliau pernah didatangi tiga orang dengan membawa permasalahan hidup masing-masing; yang pertama mengeluhkan tentang belum dikaruniai anak keturunan, yang kedua mengeluhkan tentang kefakiran serta lilitan hutang, dan yang ketiga mengeluhkan tentang kebunnya yang kekeringan.


Lalu, apa solusi dan jawaban yang diberikan oleh beliau? Beliau memberikan jawaban yang sama, yaitu “Beristighfarlah, memohon ampunan kepada Allah!”


Ketika beliau ditanya, kenapa permasalahan yang berbeda, namun diberikan jawaban yang sama. Beliau pun membacakan firman Allah subhanahu wata’ala,


فَقُلۡتُ اسۡتَغۡفِرُوۡا رَبَّكُمۡؕ اِنَّهٗ كَانَ غَفَّارًا


“Maka aku berkata (kepada mereka), 'Mohonlah ampunan kepada Tuhanmu, Sungguh, Dia Maha Pengampun',”


يُّرۡسِلِ السَّمَآءَ عَلَيۡكُمۡ مِّدۡرَارًا


“Niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu,”


وَّيُمۡدِدۡكُمۡ بِاَمۡوَالٍ وَّبَنِيۡنَ وَيَجۡعَلۡ لَّـكُمۡ جَنّٰتٍ وَّيَجۡعَلۡ لَّـكُمۡ اَنۡهٰرًا


“Dan Dia memperbanyak harta dan anak-anakmu, dan mengadakan kebun-kebun untukmu dan mengadakan sungai-sungai untukmu." (QS Nuh : 10-12)


Segala permasalahan hidup, solusinya adalah istighfar, memohon ampunan kepada Allah subhanahu wata’ala. Ini mengajarkan kepada kita bahwa ketika kita ditimpa kesusahan, cobaan hidup, dan digoncang dengan ujian ini-itu, maka hendaknya kita melihat ke dalam diri. Coba tanyakan pada diri, “dosa apa yang telah aku perbuat”. Menyadari akan kesalahan adalah awal kebaikan yang akan menghantarkan seseorang kepada pintu taubat dan istighfar. Inilah sejatinya yang diwariskan oleh Nenek Moyang pertama kita, yaitu Adam dan Hawa ‘alaihimassalam tatakala keduanya berbuat kesalahan, lalu menanggung akibat dengan dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi, keduanya pun berucap,


قَالَا رَبَّنَا ظَلَمۡنَاۤ اَنۡفُسَنَا وَاِنۡ لَّمۡ تَغۡفِرۡ لَـنَا وَتَرۡحَمۡنَا لَـنَكُوۡنَنَّ مِنَ الۡخٰسِرِيۡنَ


“Keduanya berkata, Ya Rabb kami, kami telah menzhalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi'." (QS Al-A’raf : 23)


Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengingatkan kepada kita semua, bahwa terhalanginya seorang hamba dari rezeki, nikmat, dan sebagainya, tidak lain tidak bukan, itu disebabkan oleh perbuatan dosa yang ia lakukan. Semakin terjerumus ke dalam dosa dan maksiat, semakin kuat penghalang itu, semakin jauh ia dari Rahmat dan karunia-Nya. Wal’iyadzu billah.


 إنَّ العَبدَ ليُحرَمُ الرِّزقَ بالذَّنبِ يُصيبُه، ولا يَرُدُّ القَدَرَ إلَّا الدُّعاءُ، ولا يَزيدُ في العُمُرِ إلَّا البِرُّ


“Sesungguhnya seorang hamba terhalangi dari rezeki oleh sebab dosa yang ia lakukan, dan tidaklah merubah takdir kecuali doa, dan tidaklah menambah umur kecuali perbuatan baik.” (HR Ibnu Majah, Ahmad)


Bahkan perbuatan dosa seseorang bisa berdampak kepada masyarakat luas. Seperti dalam kisah Israiliyat, bahwa Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya pernah diuji oleh Allah dengan kemarau dan kekeringan, sehingga Nabi Musa mengumpulkan kaumnya untuk bersama berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan. Tapi Allah berfirman, “Wahai Musa sesungguhnya di antara kaummu ada seseorang yang berbuat dosa selama 40 tahun, namun ia belum bertaubat dan memohon ampun kepada-Ku. Oleh sebab ia, aku tahan hujan.”


Nabi Musa pun kemudian menyampaikan kepada kaumnya, tiba-tiba tidak berselang lama, hujan pun turun. Allah subhanahu wata’ala berkata kepada Nabi Musa, “Dia telah bertaubat dan beristighfar.” Nabi Musa berujar, “Wahai Rabbku, tunjukanlah kepadaku siapa orangnya?” Allah berkata, “Wahai Musa, saat dia berdosa, Aku rahasiakan, apakah saat Aku sudah mengampuninya, Aku kabarkan siapa dia?”


So, marilah menjadi hamba yang pandai mengintropeksi dan mengevaluasi diri, lalu bercermin pada ayat,


اَفَلَا يَتُوۡبُوۡنَ اِلَى اللّٰهِ وَيَسۡتَغۡفِرُوۡنَهٗ‌ؕ وَاللّٰهُ غَفُوۡرٌ رَّحِيۡمٌ


“Mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Padahal Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” (QS. Al-Maidah : 74)


Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah teladan, role model yang terbaik bagi kita semua di dalam bertaubat dan beristighfar. Beliau manusia paling mulia, dijanjikan surga, pemimpinnya para Nabi dan Rasul, Imamnya para muttaqin. Namun demikian, beliau tidak pernah luput dari taubat dan istighfar.


وَاللَّهِ إِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِي اليَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً


"Demi Allâh, sungguh aku beristighfar dan bertaubat kepada Allâh setiap harinya lebih dari tujuh puluh kali." (HR Bukhari)


Dalam riwayat lain,


إِنَّهُ لَيُغَانُ عَلَى قَلْبِي، وَإِنِّي لَأَسْتَغْفِرُ اللهَ، فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ


"Sungguh terjadi gejolak dalam hatiku, dan aku sungguh beristighfar kepada Allâh dalam sehari seratus kali." (HR Muslim)


Bukankah kita lebih pantas dan layak untuk lebih banyak bertaubat dan beristighfar kepada-Nya?


Demikian, semoga bermanfaat. Barakallahu fikum jami’an.


________

Penulis


Izzatullah Abduh, M.Pd., Kepsek INIS.