Thursday, October 3, 2024

Esai Najullah | Dilema Petani Utara Banten

Esai Najullah



Bagian utara Provinsi Banten merupakan kawasan pesisir pantai yang terbentang dari Kecamatan Kasemen, Pontang, Tirtayasa, Tanara, Kronjo, Kemiri, Mauk dan Teluk Naga. Seperti kawasan pantai pada umumnya, penduduk yang berada di wilayah ini banyak yang berprofesi sebagai nelayan. Panjang pantai kurang lebih 120--150 km. Hal ini membawa anugerah tersendiri bagi warga sekitar karena sebagian besar sisi pantai terdapat ribuan hektar empang yang menjadi lahan budidaya berbagai jenis ikan air payau seperti ikan bandeng dan berbagai jenis udang. Adalah daerah Domas yang berada di Kecamatan Pontang menjadi terkenal karena ikan bandengnya yang enak bahkan pernah menjadi komoditas primadona dalam dunia perdagangan ikan di Indonesia.


Selain kawasan empang, terdapat pula kawasan persawahan. Menurut data Pusat Data Statistik (BPS) Provinsi Banten Tahun 2020, kawasaan utara Provinsi Banten memiliki luas lahan persawahan sekitar 1.000-1500 km². Karekteristik padi yang dihasilkan dari daerah ini relatif beragam, ada yang kualitas padinya bagus dan ada yang biasa-biasa saja. Padi dengan kualitas bagus banyak ditemukan di sekitar Kecamatan Pontang dan Tirtayasa, sementara padi dengan kualitas biasa-biasa saja terdapat di persawahan sekitar Kecamatan Kronjo. Pada umumnya beras yang bagus memiliki warna putih cerah, tapi beras yang ada di sekitar Kecamatan Kronjo ini mempunyai warna putih kecokelatan. Tentunya ada banyak sebab yang menjadikan kualitas beras ini “kurang bagus”, di antaranya faktor perubahan iklim, degradasi lahan, dan penggunaan teknologi pertanian yang kurang merata.


Terus terang, saya tidak memiliki kompetensi ilmu pengetahuan tentang pertanahan/persawahan, tapi sebagai putra asli daerah Kronjo sangat mengerti betul kondisi tanah di tempat saya dilahirkan, yaitu di Kampung Siang, Desa Pagenjahan. Secara khusus, jenis sawahnya termasuk dalam kategori sawah tadah hujan, yaitu perairan sawah yang hanya mengandalkan air hujan karena minimnya ketersediaan saluran irigasi. 


Para petani lokal di sana mengenal ada tiga musim, dua di antara musim tersebut dimanfaatkan untuk menggarap sawah (nyawah), yaitu pada musim rendeng, musim timuran, dan musim yang ketiga disebut musim kemarau.


Musim rendeng merupakan musim dengan curah hujan cukup tinggi, biasanya terjadi pada bulan November sampai Maret, adalah waktu yang utama untuk nyawah karena ketersediaan air di sawah sangat melimpah oleh air hujan. Masyarakat sekitar sangat besar harapannya menggarap sawah pada musim rendeng ini berhasil sampai panen. Meskipun suplai air hujan melimpah, bukan berarti tidak ada risiko gagal panen. Jika curahan air hujannya terlalu tinggi, dapat menyebabkan sawah menjadi banjir dan menggenangi sebagian besar area persawahan yang menyebabkan tanaman padi menjadi rusak.


Secara geografis, lokasi persawahan terbagi menjadi dua area, sawah rawa dan sawah darat. Sawah rawa terletak di dataran paling rendah sehingga mendapatkan suplai air paling banyak. Pada lokasi tertentu terdapat sawah rawa yang sangat dalam yang kami sebut kedokan. Ukuran dalamnya berbeda-beda dari yang seukuran lutut sampai leher orang dewasa, mempunyai diameter antara 3--10 m. Menjelang musim kering area ini membentuk kubangan lumpur. Saat itulah masyarakat berduyun-duyun datang untuk mencari ikan kami menyebutnya gogo iwak.


Gogo iwak adalah aktivitas mencari ikan di kedokan, hasil tangkapan ikan dimasukan ke dalam slipi, sebuah tempat khusus terbuat dari anyaman bambu berbentuk bulat seperti vas bunga digantungkan di pundak dengan seutas tali. Pada bagian atasnya bisa dibuka untuk memasukkan ikan hasil tangkapan. Setelah itu, ikan hasil tangkapan dibagi dua dengan orang yang punya sawah dengan mekanisme pembagian per tiga. Satu bagian untuk yang punya sawah dan dua bagian untuk yang menangkapnya.


Sawah darat sedikit lebih susah mendapatkan suplai air karena posisinya lebih tinggi dari sawah rawa. Untuk mengairi sawah darat, petani harus memindahkan air dari sawah rawa yang posisinya lebih rendah dengan cara disenggot/nyenggot. Nyenggot hanya bisa digunakan pada sawah yang lokasinya bersebelahan antara sawah rawa yang ada airnya dengan sawah darat yang mau dialiri air. 

 

Musim timuran merupakan musim dengan curah hujan lebih sedikit. Biasanya terjadi pada bulan Juni hingga September. Aktivitas nyawah pada musim ini sangat berisiko gagal panen karena ancaman kekeringan. Meskipun demikian, nyawah pada musim timuran sudah menjadi tradisi yang rutin dilakukan setiap tahun.


Kondisi sawah akan berubah jika sudah memasuki musim ketiga atau musim kemarau. Semua lahan persawahan menjadi kering kerontang. Tanah menjadi terbelah merekah di mana-mana seperti bekas sayatan pisau raksasa (nela/tela). Rekahannya bisa selebar telapak kaki orang dewasa. Pada musim ini, semua aktivitas nyawah berhenti total. Petani hanya bisa berdoa agar musim ketiga bisa cepat berlalu supaya mereka bisa kembali beraktivitas di sawah. Inilah masa di mana kami menyebutnya masa paceklik.


Dalam kondisi seperti ini, sebagian warga ada yang memanfaatkan sawah untuk memproduksi bata merah, meskipun mereka sadar membuat bata merah bukanlah pilihan terbaik karena sisa-sisa galian akan menjadi kubangan yang merusak lahan persawahan. Tapi, dengan berpangku tangan, tidak melakukan apa-apa adalah pilihan yang paling buruk. Ada beberapa nyawa manusia yang menjadi tanggungan di pundaknya untuk diberikan kehidupan. Istri dan anak-anak mereka adalah tanggung jawab yang harus ditunaikan. Kerusakan lahan akibat memproduksi bata merah tidak lebih berarti daripada kehilangan orang-orang yang dicintainya.   


Akhir-akhir ini, para petani sedang kurang bergairah turun ke sawah. Bukan karena kualitas padi yang dihasilkan kurang bagus. Sejelek apa pun padi yang dihasilkan, selama masih bisa dikonsumsi, petani akan menggarap sawahnya. Mereka adalah petani pemberani yang tidak mengenal putus asa. Meskipun berkali-kali gagal panen, tidak membuat semangat nyawah menjadi luntur. Bahkan beberapa tahun terakhir, para petani mengalami kerugian gara-gara hasil panen yang merosot anjlok karena diserang hama. Mereka baru akan menyerah turun ke sawah jika dan hanya jika alam tidak menghendakinya. Perubahan iklim yang tidak menentu adalah alasan utama untuk petani menggantungkan cangkulnya.


Dalam kondisi menggantungkan cangkul, beredarlah informasi bahwa proyek raksasa Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 yang salah satu lokasinya berada di desa Muncung, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang mulai merambah lahan persawahan. Sebagaimana sedang berlangsung saat ini, proyek tersebut sedang mengerjakan pengurukan di sekitar jalur Pantai Utara Tangerang. Penulis mengira bahwa proyek ini semacam reklamasi pantai yang tidak akan mengganggu lahan persawahan milik warga, tapi setelah mendapatkan informasi dari warga sekitar termasuk orang tua saya. Mereka mengaku didatangi makelar tanah agar menjual sawahnya dengan harga murah yaitu 50.000 per meter. Padahal pada tahun sebelumnya sudah ada yang mau membeli dengan harga 60.000 per meter, tapi tidak dijual lantaran masih dianggap murah.


Sungguh, kita bisa merasakan betapa dilemanya para petani di Kawasan Utara Banten ini. Lokasi persawahan yang secara letak geografis tidak menguntungkan, ditambah dengan kondisi iklim yang tidak bisa dipastikan. Hari ini mereka dihadapkan dengan sebuah pilihan yang juga tidak menguntungkan, tetap mempertahankan sawah meskipun tidak produktif atau mengalah kepada hegemoni perusahaan raksasa.


Kita berharap kepada pemerintah agar bisa melindungi hak-hak masyarakat yang tidak mau menjual tanahnya. Para makelar tanah, jangan paksa para petani untuk menjual tanahnya jika mereka tidak mau menjualnya. Jika ada yang bersedia menjualnya, belilah dengan harga yang pantas. Jangan mengambil kesempatan dalam kesempitan. Mereka adalah kaum miskin yang sudah terbiasa dalam kesempitan hidup, janganlah ditambah-tambahi kesempitannya.


Berdasarkan penelusuran informasi yang dilakukan, ditemukan bahwa pengelola proyek PIK 2 adalah perusahaan Agung Sedayu Grup dan Salim Grup. Sepintas penulis mengenal dua perusahaan ini adalah perusahaan raksasa yang fenomenal. Mereka sudah lama mengembangkan usahanya di Indonesia. Sebagai perasahaan besar, penulis yakin mereka sudah mengalokasikan dana ganti rugi lahan yang layak untuk pemilik tanah. Namun, yang terjadi di lapangan, para pemilik tanah di beli tanahnya dengan harga murah. Kita sudah paham, mengapa ini terjadi? Jawabannya karena ulah para makelar. Mereka adalah orang-orang rakus spesialis “pengisap darah” wong cilik. Maka, kepada direksi perusahaan, jika ingin melakukan pembebasan tanah, lakukanlah dengan cara jentel dan manusiawi. Dengan cara tersebut setidaknya Anda sudah membantu mereka, melepaskan kedilemaan yang selama ini membelenggu para petani utara Banten.


________

Penulis


Najullah, warga Klinik Menulis Angkatan #5.



Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com