Oleh Encep Abdullah
Mungkin teman-teman penasaran, berapa lama sih idealnya seorang penulis bisa menghasilkan sebuah buku. Sepertinya ini infomasi yang dibutuhkan bagi sebagian orang. Baik, saya akan jelaskan pelan-pelan.
Pertama, saya bicara sebagai penulis. Untuk menghasilkan sebuah buku, tentu beragam cara dan pengalaman. Namun, saya menargetkan minimal satu tahun menghasilkan satu buku—walaupun saya pernah menghasilkan tiga buku pada 2019 dan hebatnya ketiga buku tersebut sama-sama laku terjual dengan pembeli yang berbeda. Buku yang saya tulis bisa apa saja: puisi, cerpen, esai, atau catatan proses kreatif, catatan untuk anak. Kalau ditanya mana yang sulit, saya tidak bisa menjawab karena semua punya cerita masing-masing.
Puisi. Dulu saya pernah menargetkan satu hari satu puisi. Kalau menulis setahun bisa 365 puisi yang berarti 365 halaman—satu puisi ditulis satu halaman. Itu jumlah yang sangat fantastis menurut saya bila berhasil dilakukan, nyatanya saya tidak mampu melakukan itu. Menulis puisi ya random saja. Dulu sebelum menikah, saya sangat produktif menulis puisi. Setelah menikah, karena mungkin penderitaan saya tak seperti dulu, saya agak sulit menulis puisi. Saat ini, menghasilkan lima puisi dalam satu tahun saja bagi saya itu sudah sangat hebat. Akhir tahun lalu (2023) dan awal tahun ini (2024), saya menulis beberapa puisi, itu pun usai baca buku-buku tasawuf, terutama tulisan-tulisan Syekh Abdul Qadir al-Jaelani dan Ibn Qayyim al-Jauziyah. Jadi, saya menulis puisi lagi bukan karena saya baca buku puisi, melainkan buku-buku semacam itu. Untuk buku puisi, saya baru menghasilkan dua buku: Tuhan dalam Tahun (2014) dan Dandan Kawin (2019). Untuk menghasilkan kedua buku ini, saya harus membuka dokumen-dokumen sejak 2009. Artinya bukan karya yang saya tulis sekali jadi.
Cerpen. Sebenarnya tahun lalu saya punya niat menulis satu cerpen satu bulan. Nyatanya, sampai sekarang hal itu belum terwujud. Baru niat, belum diaplikasikan. Cerpen saya pertama kali dimuat di koran pada tahun 2010. Nah, sejak dimuat itu, saya sangat rajin dan cukup produktif menulis cerpen hingga 2014 kalau tidak salah. Selain menulis di media massa, beberapa kali saya juga ikut lomba. Nah, pada 2017 saya bukukan cerpen-cerpen itu dan cukup mendapatkan sambutan baik dari teman-teman, bahkan dosen saya, Arip Senjaya. Produktif saya tentu berbeda dengan Ken Hanggara misalnya yang bisa menulis seminggu sekali, bahkan sehari sekali. Tapi, untuk ukuran saya, segitu saja sudah cukup produktif dan cukup berdampak dengan diri saya dalam dunia kepenulisan. Pada 2016, saya juga menulis buku cerpen sebenarnya, tapi saya tidak pernah menganggap buku itu ada karena buku itu hanya untuk permintaan penerbit karena saya menang lomba menulis. Sebenarnya saya punya draf buku cerpen yang lahir pada 2017 itu, tapi sangat sayang kalau asal lempar. Saya tahan. Bagi saya itu buku yang sangat berdarah-darah bagaimana saya bertualang menjadi cerpenis. Lalu, pada 2021 saya bikin buku cerpen lagi. Setelah buku ini lahir, saya engap-engapan menulis cerpen. Sejak 2021, saya baru menghasilkan satu cerpen dan dimuat di salah satu media online. Bisa jadi cerpen satu ini saya terbitkan sepuluh tahun mendatang dengan cerpen-cerpen yang entah berapa biji lagi yang akan lahir lagi dari tangan saya, atau malah tidak sama sekali. Wallahualam.
Esai. Saya bisa saja menulis cerpen banyak. Tapi, ruang pikiran saya terbagi dengan menulis esai. Jadi, saya menulis cerpen, ya menulis esai juga. Saya lebih produktif menulis esai bahasa. Saya cukup produktif menulis esai bahasa di media tahun 2013—2019. Setelah itu, saya mengurusi penerbitan buku. Menulis hanya sesekali saja untuk sebuah majalah. Namun, sejak 2021 hingga sekarang, saya fokus menulis esai proses kreatif, bahkan dari kolom ini saya sudah menghasilkan tiga buku. Buku terbaru Ihwal Menulis dan Menjadi Penulis terbit bulan ini (Oktober) 2024. Energi berpikir saya sudah tak seperti dulu. Saat ini saya menulis yang ringan-ringan saja. Jujur, untuk menulis esai proses kreatif, tidak seruwet menulis sastra. Saya lebih leluasa dan enjoy. Saya benar-benar sangat menikmati.
Baik, kedua, saya bicara sebagai penerbit. Untuk menerbitkan sebuah buku, tentu ada ketentuan-ketentuan atau standarnya. Kalau mau bikin puisi tipis, cukup 30—50 puisi. Bisa dihasilkan dalam waktu satu bulan kalau mau menargetkan. Misalnya satu hari menulis 2—3 puisi, sebulan sudah 60—90 puisi. Di sini saya bukan sedang bicara kualitas ya, melainkan standar penerbitan buku puisi. Kalau untuk cerpen atau esai, cukup 7.500—10.000 karakter, 7—10 judul, termasuk juga menulis novel, bisa dalam bentuk novel pendek (novela). Kalau dipindahkan ke dalam format buku, bisa jadi 100-an halaman. Tinggal menyesuaikan ukuran buku dan font yang dipakai saja, juga jumlah halamannya. Makanya, kalau di kelas menulis saya, Klinik Menulis, saya targetkan mereka untuk menulis sebanyak itu sampai selesai kelas menulisnya. Nanti, di akhir pertemuan, setiap peserta sudah siap menerbitkan satu buku tunggal. Lalu, berapa lama prosesnya hingga jadi buku final? Tentu ini beragam. Untuk mengedit tulisan sebanyak halaman yang saya sebut itu, paling cepat 2 hari—tentu dengan standar tulisan yang sudah agak baik. Standar pengerjaan 4-10 hari kalau santai. Itu sudah perhitungan pembuatan kover buku. Jadi, sambil mengedit naskah, sambil proses pembuatan kover—dengan catatan judul buku sudah ditentukan. Kalau mau didaftarkan ISBN, perlu menunggu naskah beres terlebih dahulu. Proses pendaftaran ISBN tidak tentu. Normalnya 3—7 hari. Kalau ada kendala, nanti didaftarkan ulang. Tentu akan menambah hari lagi untuk menunggu ISBN keluar. Pengajuan ISBN ini kadang ditolak. Tapi, tenang saja, buku yang tidak dilabeli ISBN bukan berarti tidak bisa diterbitkan. Tidak masalah, tetap diterbitkan pakai QRCBN atau barcode-barcode sejenisnya sebagai pemanis atau sebagai pembaca data/isi buku tersebut. Kalau sudah oke semua, tinggal proses cetak. Proses cetak paling cepat 3 hari. Normalnya 7—10 hari. Ini belum terhitung pengiriman paket buku ke penulis. Jadi, ambil pahitnya saja, proses cetak sampai buku itu jadi dan di tangan penulis, genapkan saja 16 hari—sejak awal proses cetak.
Proses di atas itu berlaku bagi penerbit kami, Penerbit #Komentar. Saya tidak tahu untuk penerbit lain, mungkin regulasi dan aturan mainnya berbeda, juga durasi pengerjaan hingga minimal jumlah cetaknya. Kalau mau cetak buku dan Anda punya uang, jangan pelit, cetaklah minimal 50 s.d. 100 eks. Kalau tidak punya uang, cetaklah 10 eks. Kalau melarat, cetak satu biji. Tapi ingat, jangan mendadak. Hari ini menulis buku, hari ini mengedit buku, hari ini bikin kover, hari ini juga cetak, hari ini juga jadi, besok buku wajib sampai rumah penulisnya. Wongedan!
Kiara, 1 Oktober 2024
_______
Penulis
Encep Abdullah, penulis yang memaksa bikin kolom ini khusus untuknya ngecaprak. Sebagai Dewan Redaksi, ia butuh tempat curhat yang layak, tak cukup hanya bercerita kepada rumput yang bergoyang atau kepada jaring laba-laba di kamar mandinya.