Puisi Adi Prasatyo
Paraji
Untuk Perempuan Hujan
Jalan gelap terjal berbatu
sebuah semprong dengan cahaya layu
dari jendela, mata jejal keluar
menampakkan kilau
mengumpat risau
terbayang kemarau
Makin panjang kelaparan ini
namun tak ada yang salah
dari rahim ibu
meski membawa dosa keluar
berjejal bak kucing liar
Oh, sial
tak lagi ada air esok hari
tanah kering-tubuh kering
siapa lagi nanti mau mengiring?
Apakah telah sempurna satu purnama sunyi
sampai Paraji datang selarut ini
memaksa tangis keluar
mencari ASI
2024
Teplak Remi
Untuk Jurnalis yang Mati Karena Judi
Matahari sejengkal dari Karo
Bau batuan terbakar malam tadi
Teriakan api bersahut dengan teplek remi
Sekali lagi royal flush
Anjing!
Anak bini terpanggang api
Anjing betul!
Bau wereng menyengat
Di balik kartu remi
2024
Malam Mengutuk Kita
Malam mengutuk kita
dengan kegelisahan tanpa sebab
serta penyesalan tak terobat
Kita sekarat mengeja retakan
menerka awal dan akhir
menyimpul mengurai
Adakah kita sedang mempelajari sesuatu
atau sekadar bersantai membolak-balik
rasa sakit agar tak terlewat
Tak pernah kurindukan pagi secepat ini
berharap lelah ambil kendali
membiarkan anak kalimat istirahat
tanpa perlu memberi penjelasan rinci
Tapi malam mengutuk kita
dengan segelas wiski
air liur
anjing
babi
2024
Hari yang Terbakar
Kini, adakah yang lebih terbakar dari jalanan aspal
Membakar yang lewat hingga jadi bangkai
Pohon-pohon hilang seminya
Daun tak lagi gugur melainkan lebur sejak muncul
Ke mana siput-siput tidur
Menikmati sepi dan muramnya hari
Orang-orang berbicara masa keemasan
Tapi emas tak bisa dimakan
Aku rindu sambal dan lalapan
Juga hujan yang menusuk tajam
Membikin nyeri berhari-hari
Kini, adakah yang lebih terbakar dari perut ini
Meneguk tuak siang hari, serasa api
Leleh
Menatap yang pergi
Nikmat
Hari
Sepi
2024
Kepada Pohon Rambutan
Pohon rambutan, bolehkah aku naik hari ini
aku ingin memasang kereta api
yang lajunya secepat citah dan
derunya sekuat gajah
di dahanmu
Kita dulu pernah saling memahat
siapa pun kelak di antara kita yang
tubuhnya lebih dulu memanjang
boleh dipasangkan kereta
Ingat bagaimana nenek memaki kita
yang saat itu saling menyiram
berharap tumbuh besar bersamaan
Kita bersama lilitkan selang
namun ia pikir malah kita mau lakukan
yang bukan-bukan
Itu sebabnya aku dibawa pergi
ke kota di mana tak lagi terdengar kereta
Dan lihat, kini kau lebih dulu kuat dan panjang
beberapa buah bahkan muncul dari dahan
Tapi kenapa, kau kini hanya diam
sekelilingmu bahkan tertutup pagar
Apakah pertumbuhan mengikis ingatan
atau aku yang terlalu lama memutuskan pulang
maafkan aku pohon rambutan
2024
Menyusur Maut
Ciberang seperti bunga
Seorang demang datang memetik
memberikannya ke sembarang hyang
lalu bungah, mengaku jagoan yang
telah sembilan purnama bertapa di Gunung Karang
dan punya seribu batu akik tapak jalak
Padahal jalan gompal serupa serbuk sari
ke kanan-kiri terbawa kaki
lalu tumbuh sebagai kecemasan
Apakah selamanya perempuan yang tinggal
akan perawan?
Memikul batuk sendiri. Menyusur kali.
Tepi yang lumut. Menyusur maut.
yang datang tiap kabut susut.
Sebab kekasih mana kini
yang mau memasang kuda-kuda
bertahan di atas jembatan yang bergoyang
dipukul raksasa menggunakan gobang
2024
_______
Penulis
Adi Prasatyo, lahir di Tangerang 23 November 1993. Bergiat di Komunitas Kubah Budaya dan Belistra. Saat ini tinggal di Jakarta.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com