Friday, October 25, 2024

Puisi-Puisi Adi Prasatyo

Puisi Adi Prasatyo



Paraji

Untuk Perempuan Hujan


Jalan gelap terjal berbatu

sebuah semprong dengan cahaya layu

dari jendela, mata jejal keluar

menampakkan kilau

mengumpat risau

terbayang kemarau


Makin panjang kelaparan ini

namun tak ada yang salah

dari rahim ibu

meski membawa dosa keluar

berjejal bak kucing liar


Oh, sial

tak lagi ada air esok hari

tanah kering-tubuh kering

siapa lagi nanti mau mengiring?

Apakah telah sempurna satu purnama sunyi

sampai Paraji datang selarut ini

memaksa tangis keluar

mencari ASI


2024



Teplak Remi

Untuk Jurnalis yang Mati Karena Judi


Matahari sejengkal dari Karo

Bau batuan terbakar malam tadi

Teriakan api bersahut dengan teplek remi


Sekali lagi royal flush

Anjing!

Anak bini terpanggang api


Anjing betul!

Bau wereng menyengat

Di balik kartu remi


2024



Malam Mengutuk Kita


Malam mengutuk kita

dengan kegelisahan tanpa sebab

serta penyesalan tak terobat

Kita sekarat mengeja retakan

menerka awal dan akhir

menyimpul mengurai


Adakah kita sedang mempelajari sesuatu

atau sekadar bersantai membolak-balik 

rasa sakit agar tak terlewat

Tak pernah kurindukan pagi secepat ini

berharap lelah ambil kendali

membiarkan anak kalimat istirahat

tanpa perlu memberi penjelasan rinci

Tapi malam mengutuk kita

dengan segelas wiski

air liur

anjing

babi


2024



Hari yang Terbakar


Kini, adakah yang lebih terbakar dari jalanan aspal

Membakar yang lewat hingga jadi bangkai

Pohon-pohon hilang seminya

Daun tak lagi gugur melainkan lebur sejak muncul


Ke mana siput-siput tidur

Menikmati sepi dan muramnya hari

Orang-orang berbicara masa keemasan

Tapi emas tak bisa dimakan

Aku rindu sambal dan lalapan

Juga hujan yang menusuk tajam

Membikin nyeri berhari-hari

Kini, adakah yang lebih terbakar dari perut ini

Meneguk tuak siang hari, serasa api

Leleh

Menatap yang pergi

Nikmat

Hari

Sepi


2024



Kepada Pohon Rambutan


Pohon rambutan, bolehkah aku naik hari ini

aku ingin memasang kereta api

yang lajunya secepat citah dan

derunya sekuat gajah

di dahanmu


Kita dulu pernah saling memahat

siapa pun kelak di antara kita yang

tubuhnya lebih dulu memanjang

boleh dipasangkan kereta


Ingat bagaimana nenek memaki kita

yang saat itu saling menyiram

berharap tumbuh besar bersamaan

Kita bersama lilitkan selang

namun ia pikir malah kita mau lakukan

yang bukan-bukan

Itu sebabnya aku dibawa pergi

ke kota di mana tak lagi terdengar kereta

Dan lihat, kini kau lebih dulu kuat dan panjang

beberapa buah bahkan muncul dari dahan


Tapi kenapa, kau kini hanya diam

sekelilingmu bahkan tertutup pagar

Apakah pertumbuhan mengikis ingatan

atau aku yang terlalu lama memutuskan pulang

maafkan aku pohon rambutan


2024



Menyusur Maut


Ciberang seperti bunga

Seorang demang datang memetik

memberikannya ke sembarang hyang

lalu bungah, mengaku jagoan yang

telah sembilan purnama bertapa di Gunung Karang

dan punya seribu batu akik tapak jalak


Padahal jalan gompal serupa serbuk sari

ke kanan-kiri terbawa kaki

lalu tumbuh sebagai kecemasan

Apakah selamanya perempuan yang tinggal

akan perawan?

Memikul batuk sendiri. Menyusur kali.

Tepi yang lumut. Menyusur maut.

yang datang tiap kabut susut.

Sebab kekasih mana kini

yang mau memasang kuda-kuda

bertahan di atas jembatan yang bergoyang

dipukul raksasa menggunakan gobang


2024


_______

Penulis


Adi Prasatyo, lahir di Tangerang 23 November 1993. Bergiat di Komunitas Kubah Budaya dan Belistra. Saat ini tinggal di Jakarta.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com