Friday, October 18, 2024

Puisi-Puisi Yoga Dzulkarnain

Puisi Yoga Dzulkarnain



Secangkir Cappucino 


di perjumpaan yang dingin

aku pesan secangkir cappuccino

di sebuah rooftop

dekap sunyi yang begitu akrab

tak ada kebisingan yang mampir

kecuali angin yang terus berdesir

menggelitik telinga

berbisik doa-doa

aroma cappuccino perlahan datang

dari bawah tangga

membawa udara baru ke hadapan

bak udara nafasmu yang tertinggal di kamar kosan

secangkir cappucino telah tiba

ia begitu manja di atas meja

memberi tahu bahwa dirinya adalah kekasih

yang sering lupa aku seduh dalam sedih

aku dan secangkir cappucino

saling berbagi kisah dan kasih

dalam ruang yang terus meraung kegalauan

kesepian ini telah lama binal

semenjak kepergiannya yang sudah tanggal


Sumenep, 2024



Montase Tubuh Ijen


di setiap lekuk tubuhnya

Tuhan menitipkan roh sorga di sana

menyuguhkan lembayung dan tarian burung-burung

menyapa para penyair yang sibuk memotret potongan-potongan tubuhnya

dari kaki hingga ke pundak gunung itu

tercium masakan alam yang diracik Tuhan dari dapur ibu

sungai-sungai mengalir tenang membawa doa petani ke hulu

dan sesekali membasuh dosa yang berlumut di batu-batu

pohon-pohon berjajar berdiri dan beberapa menjulang tinggi

tegak serupa alif di setiap kalam-Nya yang suci

di ujung keningnya

kami tiba dengan tabah

membawa keringat dan rasa penat yang penuh rahmat

dari-Nya

pada tubuh Ijen ini

kami meluapkan takjub tak henti-henti

Tuhan, izinkan kami untuk memontase hidangan-Mu ini


Malang, 2024



Montase Tubuh Hujan 


Di setiap lekuk tubuhmu

aku melihat sorga Nya, di sana

menggoda merayu para lajang

mencoba mengasuh para jalang

namun sejauh ini, tak ada Filsuf, Penyair maupun Raja

bahkan Nabi pun belum sempat menjamahnya

sebab, kau punyaku

dan hanya aku yang berhak mendekap lama,

di sana—di setiap lekuk tubumu—yang

begitu jumawah merawat kalam-kalam Nya

Di tubuhmu juga, sungai Kautsar mengalir deras doa-doa

membasuh bebatuan yang berlumutan dosa-dosa kepala

rindang pohonan dan ilalang menjelma tempat teduh

bagi sajak-sajakku

Matahari yang terbit di matamu dan tengelam di mataku

seketika malam menyapa, menimang tubuhku dengan tubuhmu

sambil menyanyikan lagu yang dibawakan angin dari mulut Tuhanmu

lalu kita nyenyak bersama, terlelap tanpa ada cakap yang terucap

hening, tinggal sunyi yang membising

Pada tubuhmu aku ingin baka sebaka-bakanya

bahkan aku ingin menisankan diri di sana,

di tubuhmu di mana montase tubuh Tuhan memanggilku.


Bandung, 2024



Di Meja Penyair


Di atas meja itu huruf-huruf berlayar

menjala rindu di laut nestapa

tersisah doa yang terus bergemuruh

di langit-langitnya

Hening membungkam ruang

menjarah kata dari buku yang terlelap nyenyak

Di meja itu aku diantarkan ke pintu subuh

menjemput amin di setiap tangan yang mulai dingin

syair-syair bertaburan kepada-Nya

tak ada titik, tak ada koma di sana

Di meja itu aku meracik tembakau

yang terbuat dari galau dan risau

lalu membakarnya dengan api yang menyala di kepala

menyalalah, menyalalah hingga fajar ikut menyapa


Bandung, 2024



Tanah Lapang


di tanah lapang

anak-anak menumbuk waktu

kadang mereka saling mengejar

dengan cintanya yang kelabu

tak ada penat di setiap henti

peluh hanyalah kata yang ia kubur di telapak kaki

mereka hidup dalam

bingkai keserumpunan tanah lapang

di mana cinta, rindu dan kepiluan

mereka masak di atas tungku waktu

tempat itu, bukanlah sekedar tempat

yang mereka buat benteng-bentengan

atau ladang petak-umpet

bukan destinasi atau tempat hiburan

apalagi tempat pelarian

tempat itu, tempat ibadah tersuci

di mana mereka bertuhan pada angin

pada pohonan dan ranting-ranting

semua terlapangkan di sana

berlarian, berpanjatan, berlompatan,

dan berlayang-layang di ubun-ubun fajar

sampai musim memanggilnya pulang

suatu saat sebatang kayu panjang

di tangan ibu melambai-lambai

merubah raut wajah tanah lapang itu

murung kepalang dan lesuh berpeluh keluh

hening,

mereka dan tanah lapang

kembali merenggut dingin masing-masing

dari ranting dan dedaunan yang berjatuhan

tanah lapang bakal tetap jumawah

sampai nisan-nisannya mematung di kepala.


Bandung, 2024



________


Penulis


Yoga Dzulkarnain, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pemuda kelahiran Sumenep Madura. Alumni PP. Annuqayah Lubangsa. Salah satu Kontributor Puisi pada Antologi Puisi Nusantara (Indonesia-Malaysia-Singapura) Identitas, Kemanusian, Kampung Halaman (2023), dll. Karya-karyanya dapat dijumpai di beberapa media online, majalah, surat kabar/koran harian dll. 

Instgram: @mh.dzlkrnn_

Facebook: Yoga Dzulkarnain


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com