Puisi Yoga Dzulkarnain
Secangkir Cappucino
di perjumpaan yang dingin
aku pesan secangkir cappuccino
di sebuah rooftop
dekap sunyi yang begitu akrab
tak ada kebisingan yang mampir
kecuali angin yang terus berdesir
menggelitik telinga
berbisik doa-doa
aroma cappuccino perlahan datang
dari bawah tangga
membawa udara baru ke hadapan
bak udara nafasmu yang tertinggal di kamar kosan
secangkir cappucino telah tiba
ia begitu manja di atas meja
memberi tahu bahwa dirinya adalah kekasih
yang sering lupa aku seduh dalam sedih
aku dan secangkir cappucino
saling berbagi kisah dan kasih
dalam ruang yang terus meraung kegalauan
kesepian ini telah lama binal
semenjak kepergiannya yang sudah tanggal
Sumenep, 2024
Montase Tubuh Ijen
di setiap lekuk tubuhnya
Tuhan menitipkan roh sorga di sana
menyuguhkan lembayung dan tarian burung-burung
menyapa para penyair yang sibuk memotret potongan-potongan tubuhnya
dari kaki hingga ke pundak gunung itu
tercium masakan alam yang diracik Tuhan dari dapur ibu
sungai-sungai mengalir tenang membawa doa petani ke hulu
dan sesekali membasuh dosa yang berlumut di batu-batu
pohon-pohon berjajar berdiri dan beberapa menjulang tinggi
tegak serupa alif di setiap kalam-Nya yang suci
di ujung keningnya
kami tiba dengan tabah
membawa keringat dan rasa penat yang penuh rahmat
dari-Nya
pada tubuh Ijen ini
kami meluapkan takjub tak henti-henti
Tuhan, izinkan kami untuk memontase hidangan-Mu ini
Malang, 2024
Montase Tubuh Hujan
Di setiap lekuk tubuhmu
aku melihat sorga Nya, di sana
menggoda merayu para lajang
mencoba mengasuh para jalang
namun sejauh ini, tak ada Filsuf, Penyair maupun Raja
bahkan Nabi pun belum sempat menjamahnya
sebab, kau punyaku
dan hanya aku yang berhak mendekap lama,
di sana—di setiap lekuk tubumu—yang
begitu jumawah merawat kalam-kalam Nya
Di tubuhmu juga, sungai Kautsar mengalir deras doa-doa
membasuh bebatuan yang berlumutan dosa-dosa kepala
rindang pohonan dan ilalang menjelma tempat teduh
bagi sajak-sajakku
Matahari yang terbit di matamu dan tengelam di mataku
seketika malam menyapa, menimang tubuhku dengan tubuhmu
sambil menyanyikan lagu yang dibawakan angin dari mulut Tuhanmu
lalu kita nyenyak bersama, terlelap tanpa ada cakap yang terucap
hening, tinggal sunyi yang membising
Pada tubuhmu aku ingin baka sebaka-bakanya
bahkan aku ingin menisankan diri di sana,
di tubuhmu di mana montase tubuh Tuhan memanggilku.
Bandung, 2024
Di Meja Penyair
Di atas meja itu huruf-huruf berlayar
menjala rindu di laut nestapa
tersisah doa yang terus bergemuruh
di langit-langitnya
Hening membungkam ruang
menjarah kata dari buku yang terlelap nyenyak
Di meja itu aku diantarkan ke pintu subuh
menjemput amin di setiap tangan yang mulai dingin
syair-syair bertaburan kepada-Nya
tak ada titik, tak ada koma di sana
Di meja itu aku meracik tembakau
yang terbuat dari galau dan risau
lalu membakarnya dengan api yang menyala di kepala
menyalalah, menyalalah hingga fajar ikut menyapa
Bandung, 2024
Tanah Lapang
di tanah lapang
anak-anak menumbuk waktu
kadang mereka saling mengejar
dengan cintanya yang kelabu
tak ada penat di setiap henti
peluh hanyalah kata yang ia kubur di telapak kaki
mereka hidup dalam
bingkai keserumpunan tanah lapang
di mana cinta, rindu dan kepiluan
mereka masak di atas tungku waktu
tempat itu, bukanlah sekedar tempat
yang mereka buat benteng-bentengan
atau ladang petak-umpet
bukan destinasi atau tempat hiburan
apalagi tempat pelarian
tempat itu, tempat ibadah tersuci
di mana mereka bertuhan pada angin
pada pohonan dan ranting-ranting
semua terlapangkan di sana
berlarian, berpanjatan, berlompatan,
dan berlayang-layang di ubun-ubun fajar
sampai musim memanggilnya pulang
suatu saat sebatang kayu panjang
di tangan ibu melambai-lambai
merubah raut wajah tanah lapang itu
murung kepalang dan lesuh berpeluh keluh
hening,
mereka dan tanah lapang
kembali merenggut dingin masing-masing
dari ranting dan dedaunan yang berjatuhan
tanah lapang bakal tetap jumawah
sampai nisan-nisannya mematung di kepala.
Bandung, 2024
________
Penulis
Yoga Dzulkarnain, mahasiswa UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pemuda kelahiran Sumenep Madura. Alumni PP. Annuqayah Lubangsa. Salah satu Kontributor Puisi pada Antologi Puisi Nusantara (Indonesia-Malaysia-Singapura) Identitas, Kemanusian, Kampung Halaman (2023), dll. Karya-karyanya dapat dijumpai di beberapa media online, majalah, surat kabar/koran harian dll.
Instgram: @mh.dzlkrnn_
Facebook: Yoga Dzulkarnain
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com