Friday, November 8, 2024

Cerpen Awit Radiani | Dukun Tiban

Cerpen Awit Radiani 



Di musim hujan yang menyusahkan ini, hati Marsih dirundung mendung. Sudah seminggu ini ia kehilangan cincin kawin. Satu-satunya barang berharga miliknya yang tersisa. Kios kelontong milik suaminya bangkrut. Kendaraan bermotor dijual untuk menutup utang. Perabotan rumah tinggal seadanya. Belum habis derita yang lalu datang derita baru. Anak Marsih sakit. Demam sudah lebih dari tiga hari. Obat warung tak menyembuhkan. Marsih berniat menjual cincin kawin untuk biaya periksa. Tapi cincin itu raib entah ke mana.


Kesusahan bertumpuk-tumpuk semenjak pandemi. Suami tak juga pulih ekonominya. Pergi pagi pulang malam tak membawa apa-apa. Hanya wajah lelah dan putus asa yang selalu diperlihatkan lelaki itu. Sementara sakit anaknya tak kunjung sembuh. Marsih bersedih tapi tak memperlihatkannya. Ia berusaha tabah. Dalam hati terus memohon agar lepas dari belitan kemelaratan ini. 


Suatu malam yang lelah. Marsih melihat sinar keperakan menggores langit. Sesuatu meluncur turun di atas kebun kosong, lalu menghunjam tanah di belakang rumah. Silau sesaat lalu kembali gelap dalam sekejap. Tak tertangkap mata apa yang telah jatuh ke bumi seketika itu. Marsih menduga itu semacam benda langit. Mungkin meteor atau makhluk luar angkasa berjari tiga yang tersesat ke bumi. 


Benda apa gerangan yang hinggap di kebun belakang? Marsih penasaran. Dengan sedikit takut ia menuju ke arah cahaya jatuh. Berharap sebuah keajaiban turun dari langit menuntaskan semua penderitaannya. Namun, sesampainya di kebun Marsih tak menemukan apa-apa. Tak ada sesuatu yang bercahaya, tak ada bekas apa-apa. Hanya kebun kosong gelap dan sunyi. Akhirnya, Marsih mengira bahwa ia berhalusinasi karena terlalu memikirkan beban keluarga.


Marsih menghela napas panjang-panjang, sepanjang ia mampu menarik dan mengembus. Menyadari tak ada masalah yang selesai dalam waktu semalam. Bukankah ini jaman tanpa mukjizat. Bukan zaman tali bisa berubah jadi ular sungguhan. Kalaupun ada kelinci yang keluar dari topi, itu hanya rekayasa. Nasib bukanlah sesuatu yang bisa disulap. Perubahan haruslah dengan kerja keras.


Baru sekitar lima langkah Marsih meninggalkan kebun, tiba-tiba terdengar bunyi letupan beruntun. Tanah menggembung merekah lalu memuntahkan benda hitam berasap. Benda itu menggelinding ke kaki Marsih. Benda yang terbungkus kabut tipis kini tergeletak di hadapannya. Meteorkah atau telur alien? Seperti di film-film yang sering dilihatnya di televisi. Dengan hati-hati Marsih menyentuhnya menggunakan sepotong kayu. Keras selayaknya batu. Marsih memberanikan diri mendekatkan jemari ke seputar kabut yang meliputi batu. Tak seperti dugaannya batu itu mengeluarkan hawa dingin. Seperti keluar dari lemari es. Bila itu meteor seharusnya panas akibat gesekan dengan atmosfer. Marsih kebingungan dengan fenomena yang terjadi di hadapannya.    


Malam saat Marsih melihat sinar menggurat langit jatuh, desa terasa sunyi. Desir angin pun seperti menghilang. Tak ada cahaya, tak ada suara. Dalam hati ia bertanya-tanya benarkah hanya ia yang tahu? Tak ada mata lain yang menangkap kilatan seterang petir di langit itu. Entah dorongan dari mana Marsih membawa batu sebesar genggaman tangannya itu ke dalam rumah. Dalam hati ia berharap semoga apa yang ditemukannya adalah anugerah. Marsih menyimpan batu itu dalam kuali tanah liat, lalu ditaruhnya kuali berisi batu itu di kolong kasur, tempat anaknya yang sakit tidur. Lalu, Marsih ikut tidur di samping anaknya.


Dalam tidurnya Marsih bermimpi didatangi lelaki tua yang mengaku leluhurnya. Ia berjanji sejak hari itu akan senantiasa melindungi dan menyejahterakan keturunannya. Takkan ada lagi kesusahan, jauh dari kemiskinanan. Namun, dengan syarat Marsih tak boleh makan daging, ia pun dilarang sombong, ujub, serakah dan harus selalu mau membantu sesama. Dengan mata tertutup Marsih mengangguk, menyanggupi dalam tidurnya. 


Ketika bangun, Marsih meyakini bahwa mimpi itu benar adanya. Apalagi ketika menemukan anaknya tak sakit lagi. Anak itu bangun dengan senyum, badannya tak panas seperti kemarin. Ia sembuh dalam semalam! Marsih menceritakan kejadian itu pada tetangga kiri kanan. Tak lama satu desa mengetahuinya. Mereka berbondong-bondong mendatangi rumah Marsih. Membawa botol bekas air mineral, ember, jerigen. Hendak meminta berkah dari batu ajaib. Mereka mengisi tempat air yang dibawanya dengan air yg ditimba dari sumur yang terletak tak jauh dari tempat batu jatuh. Menurut mereka akan lebih majas bila airnya diambil dari lokasi yang sama.  


Orang-orang berdesakan, saling impit, saling dorong, terinjak jatuh terluka, korban mulai berjatuhan. Tanaman kebun rusak, pagar bambu roboh. Keadaan itu membuat Marsih dan suaminya berpikir tentang aturan. Mereka membuat alur antrean dengan bambu sebagai jalan menuju sumur. Di samping sumur diletakkan kardus kosong bertempelkan tulisan infak, untuk mengganti biaya kebun yang rusak. Begitu pun dengan jalan ke arah teras rumah di mana Marsih duduk dengan menggenggam batu. Orang-orang berbaris mengular. Satu per satu mendapat jatah celupan batu ajaib. Tentu saja sesudahnya mengisi kotak infak yang ada di samping Marsih. Sebagai biaya pengganti waktu Marsih melayani orang-orang.


Keampuhan batu dari angkasa itu menyebar luas hingga keluar Jawa. Orang semakin banyak datang. Uang infak berkardus-kardus menumpuk di kamar Marsih. Tak sampai sebulan utang lunas, modal usaha kembali. Suami Marsih kembali membuka kios di pasar. Kehidupan keluarga itu pulih, bahkan lebih baik dari semula. Kotak kardus infak tak hanya di rumah Marsih, di halaman tetangga yang menyediakan tempat parkir. Di gerbang desa. Di pos ronda. Di kios tetangga.   


Di balik segala kekayaan yang datang tiba-tiba itu, ada keresahan yang muncul dari rengekan anaknya. Anak itu ingin makan sate gule. Dulu waktu miskin daging adalah menu mewah yang tak terjangkau, masak sekarang sudah kaya tetap saja tak ada daging tersaji di meja. Anak itu protes bahkan mengatai ibunya pelit!


Akhirnya, marsih mengalah dibelinya daging kambing, dimasak enak. Sekeluarga lahap menyantap. Setelah makan malam yang gembira, Marsih menyempatkan diri menengok batu ajaibnya. Masih ada di tempatnya. Marsih lega. Ia pun pergi tidur dengan tenang. Tapi ketenangan itu segera berubah keesokan hari. Sebuah jeritan memecah pagi ketika Marsih menemukan batu ajaibnya hilang. Ia hanya bersimpuh menangis dan menyesal seiring hilangnya segala berkah. Berakhir pula ketenaran Marsih si Dukun Tiban.


________


Penulis


Awit Radiani, pegiat sastra dan wastra nusantara, lahir dan besar di Yogyakarta, pendiri Sanggar Wani Migunani, aktif di Griya Abhipraya Purbonegoro, Kemenkumham Yogyakarta.  


Kirim naskah ke 

redaksingewiyak@gmail.com