Cerpen Baron Yudo Negoro
Tua Candra, perempuan 68 tahun yang telah sendiri selama setahun, hampir saja celaka manakala berak di kakus. Kaki ringkihnya spontan melompat saat gemuruh dari luar, yang menyerupai tanah longsor, mengguncang dinding dan lantai rumahnya. "Astagfirullah!" Ia memekik karena terpeleset, lalu bangkit pelan-pelan menyeka pantat kendurnya. Setelah perlahan membuka pintu depan, barulah ia tahu bahwa atap terasnya roboh berantakan.
Itu malam di pertengahan Februari. Sepanjang tiga hari, hujan dan angin ribut menggetarkan kusen jendela rumah-rumah, mencongkel atap-atap kandang ternak, dan menerbangkan jemuran warga Waratama, dusun di mana Tua Candra menua. Halilintar mengerjap-ngerjap, menggelegar di hamparan sawah yang gelap gulita.
Tua Candra cuma berdiri di ambang pintu, merelakan rambut kelabunya yang kusut dibasahi percikan air. Patahan kayu, runtuhan genteng, dan daun-daun mati yang terseret angin bersatu sekaligus berserakan di mana-mana. Ia lalu merasa dadanya sesak. Disadarinya bahwa rumahnya, saksi bisu kerja keras mendiang suaminya, telah compang-camping.
Esoknya, Tua Candra menelepon nomor kantor Haruman, anak semata wayangnya yang bekerja di Dinas Pendidikan. Ia lalu bicara dengan ekstra hati-hati untuk menghindari silang pendapat.
Rumah itu sebagian besar dibangun sendiri oleh mendiang suaminya, Kelik Klewang. Ia petani tekun yang bermimpi naik haji, tetapi impiannya digerus impian lain saat mengetahui bahwa Tua Candra, istrinya yang sehari-hari berdagang bumbu dapur di pasar, mengandung bakal bayi. Ditariknya semua tabungan demi sepetak tanah.
Sepanjang tiga bulan Kelik Klewang bersusah payah menekuni ilmu bangunan dari seorang tukang handal, hingga akhirnya mendirikan rumah demi menyambut kelahiran bayinya, hanya dengan bantuan dua tetangga. Segalanya terjadi begitu singkat tanpa kendala. Dan mereka meyakini bahwa mustahil memiliki bayi dan rumah dalam waktu bersamaan, kecuali jika Tuhan telah berkehendak.
***
"Apa kubilang, sudah tidak layak huni," kata Haruman di telepon.
"Ini warisan bapakmu, Man."
"Tahu, Mak."
"Mau bantu, tidak?"
"Kali ini tidak." Ketegasan Haruman bagai tinju yang dilayangkan ke dada Tua Candra. "Kecuali kalau Emak jalankan amanah Bapak," sambung Haruman.
Ingatan Tua Candra seketika melesat ke Januari tahun lalu, pada petang hari, tatkala Kelik Klewang terbaring lemas di ranjang. Penyakit keras menggigitinya seperti tikus menggigiti sisa makanan.
Tua Candra di siku kasur, meniup-niup bubur dalam mangkok. Asap tipis buyar di udara.
"Ingat, pulangkan aku ke Pati," kata Kelik Klewang.
"Buka mulutmu." Tua Candra menyuapi suaminya.
"Aku ingin kumpul lagi dengan orang tuaku," kata Kelik Klewang sambil mengunyah bubur—yang semestinya tak perlu dikunyah.
"Jaga bicaramu. Kata-kata itu doa."
"Jual rumah ini, kau tinggal saja di kota."
Dengan keras, Tua Candra meletakkan mangkok di meja samping kasur, sehingga dada Kelik Klewang seperti terhentak. "Aku pergi kalau kau bicara ngawur lagi."
Kelik Klewang meraih dan meremas tangan Tua Candra, sebagai tanda bahwa apa yang diucapkannya mohon diingat baik-baik. "Kau sudah dengar semua pesanku."
Itulah yang bikin Tua Candra muak dan meninggalkan Kelik Klewang sendirian dalam kamar muram itu, kamar yang lembab dan menguarkan bau lansia. Ia lalu berbaring di bangku keras, menonton televisi demi menyurutkan rasa kesal, hingga akhirnya tertidur dan terbangun lagi karena tepukan lembut. Dunia tampak samar saat mata tuanya terbuka.
"Kubilang apa, kau cuma masuk angin biasa, bukan," katanya dengan suara lemah seperti melantur.
"Ya, ya, ya. Ayo."
Mereka bergandengan tangan seperti pasangan bau kencur, berjalan gontai menuju kamar yang tiba-tiba telah bersih. Setelah berbaring di kasur, mereka membicarakan apa pun, termasuk mentertawakan tingkah lucu kedua cucunya yang berusia tiga dan lima tahun, dan Tua Candra sekali lagi tertidur karena serangan rasa kantuk. Ketika terbangun karena kumandang azan Subuh, barulah ia menyadari bahwa dirinya sama sekali tidak beranjak dari bangku, masih terbaring di depan televisi yang berisik dan berkedip-kedip menayangkan titik-titik hitam putih.
Saat menengok Kelik Klewang di kamar, Tua Candra menyimpulkan tanpa sedikit pun keraguan, bahwa suaminya selamanya tidak akan bangun lagi. Ia lalu salat Subuh sendiri dan berzikir lama sekali sambil menangis terisak. Kepada Haruman, Tua Candra menyampaikan kabar buruk itu dan berbagi derita lewat telepon.
Dengan mobil, Haruman datang ke Waratama bersama keluarga tatkala bendera kuning telah terikat di batang pohon mangga, tenda telah disusun di muka rumah orang tuanya, dan para pelayat telah memenuhi bangku-bangku plastik hijau bercakap-cakap sambil merokok. Ia lalu masuk ke rumah dan percekcokan pun terjadi.
"Terlalu jauh, Mak. Empat jam perjalanan. Itu pun kalau tidak macet," kata Haruman.
"Ini amanah!"
"Sudah telepon keluarga Pati?"
Di sinilah letak kefatalan Tua Candra. Haruman satu-satunya yang ia kabari. Duka mendalam seakan membuatnya kian pikun sehingga ia lupa memberitahu adik-adik ipar dan kerabat di Pati. Bukan sekadar karena mereka keluarga, tetapi juga tanah galian, batu nisan, dan macam-macam juga harus dipersiapkan.
Tak punya pilihan lain, Tua Candra patuh saja kepada usul anaknya sehingga jenazah Kelik Klewang, setelah dimandikan dan disalati, langsung diboyong ke TPU terdekat demi menyingkat waktu.
Malamnya, para tetangga berkumpul merapalkan Surat Yasin di rumahnya. Lalu sebuah mobil pikap, yang telah didesain beratapkan terpal, menepi di samping pohon mangga mengangkut keluarga dari Pati. Usai pengajian, orang-orang Pati duduk melingkar di ruang tamu, menggelar persidangan dengan Tua Candra sebagai pihak tergugatnya. Rumah itu pun diliputi duka dan amarah.
"Sampeyan kan punya nomor kami," kata saudara lelaki Kelik Klewang. "Dia kang mas kami lho, Mbak."
"Sekarang piye. Dia punya amanah, tapi tidak dijalankan," sambung adik perempuan Kelik Klewang.
"Sudahlah, beliau ini cuma lupa," balas Haruman.
"Enteng sekali. Kau juga, bukan, yang bikin jenazahnya dikubur di sini."
Sementara mereka cekcok di atas tikar, Tua Candra yang rapuh tertunduk dan tersedu-sedu di sudut ruang tamu. Cuma menantunya yang menghiraukan nestapanya, yang kemudian menyajikan segelas air dan mengusap-usap punggungnya. Tak jauh darinya, kedua cucunya terlelap nyenyak beralaskan kasur gulung yang dibawa dari kota.
Di teras rumah, jejak-jejak pengajian masih membekas. Buku-buku Yasin tertumpuk di bangku dan lembar tikar belum tergulung, dikotori kulit-kulit kacang, dan daun-daun pisang nogosari, dan tumpahan teh-kopi.
Persidangan itu menyepakati bahwa Tua Candra harus mengganti amanah yang diabaikan dengan mengisi perut anak-anak yatim. Tujuannya agar arwah Kelik Klewang tidak berkeliaran seenaknya sepanjang 40 hari, menemui orang-orang terdekat lewat mimpi. Sekali lagi, Tua Candra tak punya pilihan selain patuh. Ia lalu menuai omongan pedas dari Haruman. "Kalau sudah begini, siapa yang repot."
Memang, cuma Haruman yang kemudian menyantuni anak-anak yatim. Tua Candra tak punya uang. Sawah Kelik Klewang telah terjual demi perawatan tak berkesudahan.
***
Ibu dan anak itu akhirnya menyepakati bahwa rumah akan dijual. Sebab hanya dengan itulah perbaikan teras yang menguras banyak biaya tidak sia-sia. Kata Haruman, "Emak akan aman di kota dan tidak merasa kesepian."
Tiga hari kemudian, Minggu sore, Tua Candra mengemasi baju-baju dan benda-benda lain ke dalam kotak kardus. Sambil menunggu Haruman, ia menyusuri sudut-sudut rumah, meraba dinding-dinding pudar dan perabot-perabot usangnya. Ia lalu terpaku di muka bufet kaca, tempat di mana foto hitam putih Kelik Klewang tegak dalam bingkai. Dan ia tiba-tiba menangis saat mengambilnya.
Tua Candra tak tahu caranya membuka mata Haruman yang telah buta. Semenjak Kelik Klewang berpulang, rumah itu baginya bukan sekadar rumah. Ia adalah medium. Ia jembatan antara dirinya dan suaminya dan jutaan pengalaman pahit-manis di masa lampau yang tak tergantikan. Meninggalkan rumah sama artinya meninggalkan separuh hidupnya, dan ia belum siap dengan apa yang akan menimpanya di kota nanti.
Renungannya dibuyarkan jeritan klakson. Tua Candra keluar pintu dengan langkah berat, sementara Haruman, dengan sisa-sisa inisiatif seorang anak, mondar-mandir mengangkut kardus-kardus dan menaruhnya di bagasi.
"Kita berangkat, Mak," kata Haruman, tetapi Tua Candra tidak menggubris.
Mesin mobil menyala. Tua Candra memandang hamparan rumput dan persawahan yang sunyi dari jendela. Ia lalu memandang rumahnya dari spion tengah, dan merasakan sesuatu asing meremas-remas dadanya saat roda mobil mulai berderak.
Sampai di kota, pada malam hari, mobil berhenti di rumah Haruman. Tua Candra buru-buru masuk kamar yang telah disediakan menantunya, tanpa bertemu dulu si menantu dan kedua cucunya. Esoknya, saat Haruman dan menantunya telah berangkat kerja, Tua Candra memulai Senin dengan duduk-duduk di teras, tenggelam dalam bisingnya hiruk-pikuk lalu lintas, dan merasa kecil saat memandangi tembok gedung yang menjulang. Lamunannya dibuyarkan oleh cucunya yang muncul di ambang pintu.
"Nek! Adik ngompol!"
Menghela napas panjang, Tua Candra pun bangkit perlahan.
________
Penulis
Baron Yudo Negoro, seorang buruh di Semarang. Cerpen dan esainya pernah dimuat di media nasional. Pemenang lomba "Menulis Dongeng Batik Nusantara", diselenggarakan oleh Museum Batik Indonesia dan Kemdikbud pada Oktober 2021.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com