Cerpen Jein Oktaviany
Belum tengah malam, belum dua tujuh, Ibu dua tujuh, Ibu tengah malam. Terus-menerus Ella gumamkan kata-kata itu dalam hati, sambil duduk di kursi belakang, memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Padahal, mobil telah berhenti sekitar dua menit yang lalu, dan Lanur—sopir taksi daring ini—telah mengatakan berkali-kali bahwa mereka sudah sampai di titik tujuan. Suara Karen Ann menyanyikan Manha de Carnaval mengisi ruangan kendaraan. Jalanan di luar memunculkan derau-derau putih di antara mereka. Lanur memandang ke arah belakang. Ketika perempuan itu akan menyentuh bahu penumpangnya, ia melihat mata Ella telah basah.
Pada akhirnya, Lanur hanya menghela napas. Kemudian ia matikan mesin mobil. Lagu ikut berhenti, dan Ella langsung menatap ke arah depan. Matanya melebar seolah-olah baru terbangun dari sebuah mimpi—mungkin mimpi buruk. “Sudah sampai, ya? Maaf-maaf.” Perempuan itu pun segera merapikan diri dan barang bawaannya: menghapus sisa tangis, menyimpan ponsel pada tas kecil, menyisir rambut potongan serigalanya dengan tangan kanan. Lanur menjawab semua itu dengan senyum.
Perempuan di belakang menatap senyum itu dan merasa ada kehangatan yang asing di sana. Namun, segera dia singkirkan hal itu. Ada rasa bersalah dalam benak Ella karena tak langsung turun dari tadi. Maka, dengan cukup tergesa, dia buka pintu. Seketika, angin malam menghantam tubuhnya. Derau-derau kendaraan di sekeliling, mendadak menjadi bising yang melengking, membuat kepeningan menguasai kepala perempuan itu. Ketika dia berdiri di luar mobil, lambungnya mengeluarkan cairan lewat mulut. Lanur, yang masih memandangi penumpangnya, langsung sigap membuka pintu dan keluar.
Ella masih memuntahkan semua yang ada di perutnya. Lanur mengelus-elus punggungnya, sambil bertanya. “Mbak, tidak apa-apa?” Yang ditanya menggeleng, meski semua masih terasa terpuing-puing dalam kepala. Setelah tak ada lagi yang keluar, Ella mencoba bangkit. Angin masih terus menghantam tubuh. Bising masih semerbak di telinga. Wajahnya terlihat begitu pucat. Lanur mengarahkan tangan penumpangnya itu untuk memegang pintu mobil. Sekali lagi, Ella keluarkan muntahnya. “Mbak serius tidak kenapa-kenapa? Masuk mobil lagi aja, Mbak. Atau mau saya bantu ke rumah?” Sekilas Lanur tatap bangunan di pinggir mereka.
Ella menggeleng, “Aku baik-baik aja—aku baik-baik aja.” Dia coba tegapkan tubuhnya. Perlahan, suara-suara mengecil dalam telinganya. Meski angin masih tetap dingin, tapi kepala perempuan itu sudah tak terlalu pusing. Sambil tersenyum, dia lanjut berkata, “Cuman bekas minum barusan.” Setelah itu, Ella melihat sekitar: melirik raut wajah khawatir pada sopir tersebut, memandang bekas muntahannya, mengamati mobil, jalan, rumahnya sendiri.
“Maaf, ya, jadi merepotkan,” ujar Ella pada akhirnya. “Terima kasih banyak.”
“Ada lagi yang bisa saya bantu, Mbak? Mau dipapah ke rumah?” tanya Lanur sambil memandang kembali rumah tersebut.
“Tidak ada—tidak ada. Aku bisa sendiri. Terima kasih banyak, ya.” Ella pun mengarahkan kakinya ke rumah. Sayup-sayup terdengar bunyi pintu mobil ditutup, kemudian mesin mulai menyala. Angin malam menjadi menusuk baginya. Ella berhenti. Tiba-tiba, dia ingat kembali perasaan janggal dalam senyum perempuan itu. Lalu, dia rasakan air berusaha keras untuk keluar dari matanya.
“Eh, tunggu ....” Mobil itu tak jadi melaju. Kaca jendela terbuka. Sebelum Lanur bertanya kenapa, Ella langsung melanjutkan dengan cepat, “Aku bisa ikut? Keliling-keliling saja. Aku bayar lima kali lipat. Bensin juga ditanggung. Aku tak mau pulang dalam keadaan begini.” Angin malam masih menusuk. Derau-derau putih di jalanan masih menemani mereka. Air mata masih menetes dalam ucapannya.
***
Sudah empat lagu berputar, dan kedua perempuan itu masih tak saling bicara. Di balik kemudi, Lanur sibuk memikirkan arti kalimat terakhir yang diucapkan penumpangnya. Apa maksudnya ‘keadaan begini’? Mabuk atau menangis atau perpaduan dua-duanya, atau bukan keduanya sama sekali? Sedangkan di kursi belakang, Ella masih menatap jendela, sambil bersenandung dalam kepala: Kapan tengah malam, kapan dua tujuh, kapan Ibu. Sesekali, dia palingkan wajah ke arah kemudi, sambil berpikir kenapa dirinya meminta tolong pada perempuan berambut pendek yang dikenalnya lewat aplikasi taksi daring? Lagipula sesungguhnya, apa yang butuh ditolong dari dirinya?
“Selera musikmu bagus,” ujar Ella memecah hening, ketika lagu Next of Kin milik Alvvays berputar. Lanur terkaget. Ia tak terlalu yakin apakah penumpangnya mengajak bicara padanya atau bukan. Sehingga, ia tak menjawab. Perempuan itu hanya mencoba menengok ke spion atas. Ella langsung menambahkan: “Jangan kaget gitu! Meski aku cewek dugem, aku juga suka musik kayak gini.” Sedetik kemudian, Ella sendiri heran kenapa dirinya bicara demikian.
Lanur tertawa, “Saya tidak berpikir Mbak cewek dugem.” Lampu merah. Jalanan masih ramai. Mobil pun terpaksa berhenti. Lanur menimang-nimang apakah dirinya akan belok kanan atau lurus. Ia ingin bertanya kepada penumpangnya, tapi entah mengapa ia rasa itu tak terlalu penting.
“Oh ya? Aku pesan dari tempat dugem. Turun-turun langsung muntah, loh.” Kepala Ella sudah tak lagi pening, dan dia yakin dirinya bisa berpikir lebih jernih sekarang. Tak lagi kata-kata aneh itu diulang-ulang dalam hati. Dia rasa mungkin memiliki teman bicara akan membantunya. Maka, Ella putuskan untuk memperpanjang obrolan mereka.
“Bagi cewek dugem, jam segini masih kurang malam untuk pulang, Mbak.” Jawaban itu membuat Ella merasa terpojok. “Tadi, Mbak berkali-kali membatalkan pesanan taksi daring karena driver-nya laki-laki. Iya, kan?” Lampu hijau, Lanur memutuskan lurus.
Ella tersenyum. Tak mengira betapa mudah hidupnya ditebak bahkan oleh orang asing sekali pun. Tadi dia menunggu lama sambil menahan muntah, sampai menemukan pengemudi perempuan. “Ini memang yang pertama,” jawabnya sambil mencoba menatap raut wajah lawan bicaranya. Lanur sedikit tersenyum, dan Ella lagi-lagi merasakan kehangatan yang asing di sana. “Boleh aku duduk di depan?” tambahnya semakin memberanikan diri.
***
“Jadi bagaimana ceritanya seorang sopir taksi bisa punya selera musik yang bagus dan punya pengamatan yang tajam?” Itulah pertanyaan pertama yang dilontarkan Ella sesaat setelah dirinya duduk di depan. Kembali, Ella heran kenapa dirinya bertanya demikian. Kenapa tiba-tiba dia ingin lebih dekat dengan perempuan di sampingnya ini? Apakah alkohol masih mengendalikannya? Bukankah kata dua tujuh, tengah malam, Ibu telah berhenti terngiang di kepala—dan itu artinya dia sudah sadar? Atau mungkin gara-gara senyuman itu?
“Anggap saja jawabannya: saya bukan hanya sopir taksi daring, Mbak. Lagipula pertanyaan yang lebih penting adalah bagaimana ceritanya seorang anak rumahan tiba-tiba dugem, pulang masih terlalu dini, menangis di taksi, dan muntah-muntah depan rumah. Kenapa dia tak seperti biasanya: mendengarkan musik di kamar sambil membaca novel, atau menonton seri di laptop?” Lanur mengakhiri pertanyaannya dengan senyuman.
“Wow, sekuper itu, ya, aku keliatannya?” Sambil bertanya itu, pikiran Ella masih terganggu oleh senyuman perempuan di sampingnya. Dia yakin pernah bertemu senyuman serupa. Ella coba ingat-ingat di mana. Apakah dalam kenyataan atau hanya harapan belaka? Lagu berganti. Donna Donna berputar. “Bisa tolong musiknya diubah?”
“Oh, oke.” Lanur meraih ponselnya dan membuka aplikasi pemutar musik. Ella mengintip dan mendapati bahwa playlist yang sedang diputar berjudul ‘Dari Mana Datangnya Orang-orang Kesepian’. Kings of Convenience mulai mengudara pada kendaraan itu. “Mbak, tidak suka Joan Baez?”
“Aku suka, kok. Cuman lagu itu mengingatkanku pada film Gie.” Ella palingkan wajahnya ke jendela samping. Namun, senyum itu masih terbayang-bayang.
Pertigaan. Kali ini Lanur memilih ke kiri. “Saya nonton film itu, dan saya rasa bagus.”
“Aku tidak suka Soe Hok Gie-nya. Ia mati terlalu muda. Dua tujuh. Banyak orang yang mati muda.” Akhirnya, dia sadar arti igauannya. “Itu menyebalkan,” tambahnya, lebih untuk dirinya sendiri. “Chairil, Tan, Gie, Kurt. Andai mereka masih hidup. Atau setidaknya mati tak terlalu muda.”
Setelah bicara begitu, Ella buka kaca jendela. Tiba-tiba saja dia ingin merokok. Maka dia bakar sebatang. Ella tahan dirinya sendiri agar tidak batuk. Dia tak ingin tertangkap basah lagi. Lanur memandang ke samping dan menahan tawa. Ella menyadari itu, dan memalingkan balik memandangi sang sopir. Mereka saling tatap dan Lanur tersenyum.
Ketika Ella pikir obrolan mereka telah selesai, Lanur berkata: “Saya malah iri sama mereka. Masih muda dan terbebas dari ketuaan. Tak terus hidup di dunia yang—”
“Tapi,” potong Ella, “Kalau mereka hidup, mungkin sekarang kita lagi dengerin lagu terbaru Nirvana. Atau aku sedang membaca buku puisi terbaru Chairil. Gie jadi menteri. Tan jadi presiden!”
“Memangnya ada jaminan puisi terbaru Chairil akan lebih bagus?” ujar Lanur dengan nada yang naik. “Lagu terbaru Kurt akan lebih enak?” Nada Lanur jadi semakin tinggi. Membuat Ella menyesal telah memotong. “Tan atau Gie akan bikin negara lebih baik, dan gak korupsi?” Ella isap rokoknya. “Bagaimana jika mereka menua dan mereka menjadi tak sebaik ketika muda. Orang-orang jadi semakin jahat ketika tua, karena hidup memang butuh kejahatan agar—”
Ella terbatuk. Lanur menghentikan ucapannya. Pengemudi itu baru sadar bahwa ia mengendarai mobil dengan cukup cepat. Lanur pelankan kendaraannya secara perlahan. Di depan, terlihat jalanan mulai berkelok. Angin dari jendela yang dibuka, membuat asap mengepul di antara mereka.
“Maaf, Mbak, saya terbawa emosi,” ucap Lanur sambil menatap ke penumpangnya lagi. “Yang mau saya bilang hanyalah: Mereka sudah dikenang dengan baik. Biarkanlah seperti itu.”
Ella ingin sekali balik meminta maaf. Namun, dia merasa ada sesuatu yang terlepas dari kemelutnya. Kata-kata itu tak lagi berdengung di kepalanya, dan Ella merasa begitu bahagia. Apakah ini efek mabuk? Ataukah sebenarnya inilah yang dia butuhkan selama ini? Seorang teman bicara?
Ella menatap Lanur lekat-lekat, ketika perempuan itu akan bicara, dia dengar Lanur berkata: “Saya malah ingin mati muda, loh, Mbak.” Kemudian, Lanur alihkan pandangannya pada Ella dan tersenyum. “Saya lebih memilih mati muda daripada melihat diri saya jadi jahat ketika tua.”
Hening. Ella tak jadi bicara. Hanya lagu berkumandang. Mendadak jalan menjadi sepi. Ella isap lagi tembakaunya dan sekarang dia tak ingin batuk. Derau-derau putih jalanan menjadi semakin tipis. Asap-asap itu tetap hadir di antara mereka. Dari balik jendela, akhirnya Ella ingat di mana dia temukan senyuman itu. “Ibuku mati dua tujuh. Andai ia masih hidup, aku rasa hidupku akan lebih baik.” Air mata kembali menetes. Ella merasa semua telah lepas. Di belakang kemudi, Lanur tak tahu harus menjawab apa. Mungkin sudah saatnya bertanya tujuan perjalanan pada penumpangnya.
***
Sudah tengah malam, sudah dua tujuh, Ibu dua tujuh, Ibu tengah malam. Terus- menerus Ella gumamkan kata-kata itu dalam hati, sambil duduk di kursi belakang, memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Padahal, mobil telah berhenti, dan Lanur—supir taksi daring ini— telah mengatakan berkali-kali bahwa mereka sudah sampai di titik tujuan. Suara Alex Turner menyanyikan Time Has Come Again terdengar dari penyuara di telinganya. Jalanan di luar memunculkan derau-derau putih di antara mereka. Lanur memandang ke arah belakang dan melihat bahwa mata Ella telah basah.
“Mbak?” tanya Lanur sambil menepuk bahu penumpangnya
Ella langsung menatap ke arah depan. Matanya melebar seolah-olah baru terbangun dari sebuah mimpi—mungkin mimpi indah. “Sudah sampai, ya? Maaf-maaf,” katanya sambil melepas penyuara dari telinga. Dia merasa bahwa dirinya pernah mengalami kejadian yang serupa. Perlahan dia tatap wajah Lanur, tapi Ella tak bisa mengingat jelas apa persamaannya. Maka, perempuan itu pun segera merapikan diri dan barang bawaannya: menghapus sisa tangis, menyimpan ponsel pada tas kecil, menyisir rambut potongan serigalanya dengan tangan kanan. Lanur menjawab semua itu dengan senyum.
Memandang senyum tersebut, Ella tiba-tiba diam. Dia amati lekat-lekat wajah Lanur. Apakah ini pengaruh alkohol? batin Ella, tapi dia benar-benar yakin ada sesuatu yang pernah terjadi di sini. “Boleh aku bertanya beberapa hal?” Ella memberanikan diri.
“Buat apa, Mbak?” Yang ditanya tiba-tiba merasa bingung. Lanur memang beberapa kali mendapati penumpang yang tak lazim. Namun, belum pernah ada yang minta izin untuk bertanya.
“Aku juga tak mengerti. Tapi, please. Boleh, ya? Nanti aku kasih uang.”
Mendengar kata uang, Lanur jadi cukup semangat. “Boleh, Mbak.”
Ella masih memandang wajah perempuan itu dengan tajam, membuat Lanur sedikit tidak nyaman. “Oke. Apakah jam segini masih kurang malam buat cewek dugem pulang?”
“Rrrr ....” Lanur menatap jam di ponselnya. “Kalau boleh jujur, saya kurang memperhatikan, Mbak. Tapi mungkin udah cukup malam, kok.”
Ella tidak merasa yakin akan jawaban itu. Maka dia kembali bertanya: “Kau tahu apa persamaan Chairil Anwar, Tan Malaka, Kurt Cobain, Soe Hok Gie?”
Sopir taksi daring ini semakin kebingungan, ia mencoba mengingat nama-nama itu. “Semuanya orang terkenal, tapi saya gak tahu, Mbak. Mungkin semuanya artis?”
Kali ini, Ella menggeleng. “Apa pendapatmu soal mati muda. Kamu mau mati muda?”
“Kayaknya Mbak terlalu banyak minum, deh. Mbak, keluar aja.” Lanur langsung memosisikan dirinya dengan sigap. Ia keluar dari mobil dan membuka pintu belakang penumpang. “Mbak, saya mohon keluar, ya? Tak apa, pertanyaan-pertanyaan tadi tak usah dibayar.”
“Aku mohon sekali lagi, ya? Yang ini bukan pertanyaan dan mudah, kok.”
“Tapi sehabis ini keluar!” Raut wajah Lanur sudah begitu kesal.
“Aku cuman pengen kamu senyum lagi.”
Lanur sedikit kaget. Ia embuskan napasnya. Ia tarik. Ia embuskan kembali. Kemudian, perempuan itu tersenyum. “Sekarang, keluar, Mbak!”
Tidak ada kehangatan yang asing itu, batin Ella. “Terima kasih, ya. Maaf merepotkan.”
Ella pun mengeluarkan uang seratus ribu dan turun dari mobil tersebut. Lanur menutup pintu penumpang kemudian kembali ke kursinya. Pintu tertutup. Mesin menyala. Ella kembali memasang penyuara di telinganya. Memutar Dari Mana Datangnya Orang- orang Kesepian. Lagu Elanour Rigby berkumandang. Lalu seketika, angin malam menghantam tubuhnya. Derau-derau kendaraan di sekeliling, mendadak menjadi bising yang melengking, membuat kepeningan menguasai kepala perempuan itu. Lambungnya mengeluarkan cairan lewat mulut.
Taksinya pergi menjauh. Tak ada yang mengelus-elus punggungnya. Semuanya terasa terpuing-puing dalam kepala. Angin masih terus menghantam tubuhnya. Bising masih semerbak di telinganya. Sambil terus memuntahkan isi perut, Ella terus berpikir: Aku baik- baik saja—aku baik-baik saja. Ketika tak ada lagi yang keluar dari perutnya, akhirnya, dia ingat perasaan janggal dalam senyum seseorang.
“Sekarang sudah tengah malam. Usiaku sudah sama denganmu, Bu,” Ella bergumam sambil menahan air yang mencoba keluar dari matanya.
_______
Penulis
Jein Oktaviany, lahir di Ciwidey, Jumat tanggal 13. Aktif di komunitas Kawah Sastra Ciwidey. Karyanya bisa dilihat di jeinoktaviany.wordpress.com dan di instagram @jeinoktaviany.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com