Cerpen Khairul A. El Maliky
Mendung bergulung-gulung di angkasa. Pertanda hujan pada bulan Oktober ini akan turun mengguyur kampung kami. Sudah hampir setahun kampung kami dilanda kekeringan. Para petani menjerit karena tanaman mereka mengalami kegagalan panen sehingga dampaknya membuat buruh tani tercekik lantaran harga pangan meroket. Anak-anak angin tertawa di sela-sela dedaunan. Banyak orang yang berharap bahwa hujan sore ini segera turun sehingga bumi menjadi basah. Tak lama kemudian, bersamaan dengan rintik hujan yang jatuh dari langit, terdengar dari corong toa masjid kampung kabar berita duka.
"Telah meninggal dunia, Maimunah. Insya Allah akan dimakamkan sore ini juga," demikian pesan berita duka yang disampaikan oleh pengurus masjid.
"Siapa yang meninggal, Jon?" tanya Rapi'i kepada Joni yang sejak tadi mengisap rokoknya sambil memandangi gerimis di depan teras rumahnya.
"Maimunah, Lek," jawab Joni.
"Maimunah? Maimunah istrinya Sapik?" Rapi'i menuangkan kopi ke dalam gelas.
Joni mengangguk.
"Bukannya mereka menikah lima bulan lalu? Dan Maimunah telah hamil?" Rapi'i menyeruput kopinya.
"Iya. Dia hamil empat bulan."
"Memangnya dia sakit apa?"
"Kanker rahim. Dan beberapa hari sebelum meninggal, dia diopname ke rumah sakit."
"Lalu bayinya gimana? Apakah bayinya diangkat dari rahim ibunya?"
"Ya ndaklah, Lek."
Pada saat itu tampak para tetangga menuju ke rumah duka. Mereka berjalan di bawah gerimis yang sudah berubah menjadi hujan. Pakaian dan peci mereka basah. Tapi, para lelaki itu sama sekali tak menghiraukan hujan yang mengguyur dengan derasnya. Lalu tanpa menunggu waktu, Joni dan Rapi'i keluar rumah menuju rumah duka. Sebagaimana adatnya mereka hendak membantu keluarga yang berduka untuk mempersiapkan pemakaman.
Sesampai di rumah duka, tampak keluarga suami Maimunah menangis di dekat jenazah wanita yang masih muda itu. Sementara yang lain tengah membaca surat Yasin dan tahlil. Salah satunya adalah suami Maimunah, Sapik yang terlihat sedih karena ditinggal oleh istrinya. Pernikahan mereka baru berjalan lima bulan. Apalagi Maimunah adalah cinta pertamanya. Jadi betapa berat luka batin yang harus ia tanggung.
Sementara jenazah Maimunah akan dimandikan dan disalati, sebagian pentakziah menuju ke pemakaman untuk menggali kubur. Di antaranya adalah Joni dan Rapi'i.
Hujan semakin deras mengguyur kampung kami. Agar liang kubur tidak dibanjiri air hujan, orang-orang itu mendirikan tenda. Setelah tenda berdiri, baru secara bergantian mereka menghantam tanah dengan cangkul.
"Lek, apa benar kalau ada seorang wanita yang meninggal dalam kondisi hamil maka kuburannya akan ditunggui selama 41 hari?" tanya Joni kepada Rapi'i.
"Benar itu, Jon."
"Memangnya kenapa kok ditungguin, Lek? Apa karena takut mayatnya jadi hantu?" Joni terlihat penasaran.
Di kampung kami memang ada sebuah adat tradisi yang secara turun-temurun sudah menjadi kepercayaan kami, yaitu jika ada seorang wanita meninggal dalam keadaan hamil maka secara bergantian anggota keluarganya menunggui kuburannya selama 41 hari. Dari magrib sampai subuh mereka duduk di dekat kuburan wanita hamil yang meninggal itu sambil membaca surat Yasin dan tahlil. Supaya semuanya kebagian berjaga maka tidurnya bergantian. Begitu seterusnya sampai pagi.
"Ya bukan, Jon. Mereka berjaga bukan karena takut wanita hamil yang meninggal itu menjadi hantu," sahut Rapi'i berbisik. "Memangnya film?"
"Lalu, Lek, alasannya kenapa?"
Rapi'i kembali membisikkan sesuatu di dekat telinga Joni.
Dan Joni manggut-manggut.
"Masak, Lek?" ia tak percaya.
Menjelang jam 5 sore, orang-orang itu sudah selesai menggali kubur, dan jenazah Maimunah pun sudah tiba di kuburan digotong dengan keranda. Iring-iringan pentakziah itu sangat panjang seperti sedang mengantarkan seorang pejabat menuju tempat peristirahatan terakhirnya. Tampak ibu-ibu keluarga dari Maimunah matanya sembab. Sayap-sayap kematian terbentang di langit yang suram.
Selesai dimakamkan para pentakziah pulang ke rumah masing-masing kecuali beberapa lelaki termasuk Sapik yang tidak pulang. Mereka memutuskan untuk langsung menunggui makam Maimunah.
***
Rumah Solihun kemalingan! Orang-orang yang sedang mengobrol di rumah Sapik langsung menuju ke rumah lelaki itu. Tampak Solihun bangun seperti habis ada bencana gempa. Adalah uangnya yang telah raib entah ke mana. Padahal tadi ia telah menghitung jumlah uang yang ada di dompetnya lalu ia menyimpannya di lemari kamar.
"Tadi aku sempat merokok sambil mengopi di teras rumah. Itu terjadi sekitar jam 9," jelas Solihun menuturkan kepada warga. "Lalu, dari kejauhan aku seperti melihat seseorang sedang berdiri di balik pohon sambil memerhatikan rumah ini. Aku kira orang itu sedang buang air kecil. Setelah kuperhatikan, orang tersebut menghilang."
"Apakah kamu tahu bagaimana ciri-ciri orang itu?" tanya salah satu warga.
"Aku melihatnya dengan tidak jelas lha wong dia berdiri di tempat yang gelap," jawab pria yang kesehariannya berdagang tembakau di pasar itu.
"Jangan-jangan maling dan dia bisa menghilang," ujar Rapi'i yang malam itu ikut cangkruk di rumah Sapik.
Dalam kepercayaan masyarakat kami ada sebuah mitos, yaitu jika ada maling ingin mencuri di rumah-rumah warga dan aksinya tidak ingin diketahui maka dia harus memakai jimat. Dengan jimat tersebut mereka bisa menghilang dan menembus dinding atau apa saja.
"Sudah beberapa tahun ini kampung kita tidak kemalingan seperti ini, Kang," kata salah satu warga kampung. "Paling tidak yang ada maling hewan dan pelakunya bukan orang sini."
"Lalu, menurutmu pelakunya kali ini bukan orang sini?"
"Bisa jadi sih, Kang."
"Atau jangan-jangan orang itu bisa menghilang dengan memakai jimat jari kelingking bayi?" ujar Rapi'i lagi yang membuat para warga merasa penasaran.
"Jari kelingking bayinya siapa, Kang?"
"Bisa jadi yang dicuri adalah jari kelingking bayi yang ada di dalam perut Maimunah?!"
"Jangan mengada-ngada, Kang!" seru salah satu warga. "Selama ini kan kuburan Maimunah ada yang nungguin bergantian? Jadi mana mungkin ada orang yang berani menggali kuburannya hanya untuk mencuri jari kelingking bayinya Maimunah?"
Para warga manggut-manggut. Mereka sependapat dengan apa yang dijelaskan oleh orang itu.
"Tapi, ini kan praduga saja. Siapa tahu orang-orang yang ada di sana mengantuk lalu tidur di dekat kuburan Maimunah? Atau orang itu menggunakan sirep agar orang-orang itu tidur? Maka dengan begitu dia dengan mudah menggali makamnya Maimunah untuk merobek perutnya dan mengambil jari kelingking bayinya," ujar Rapi'i berpendapat membuat orang-orang itu manggut-manggut.
"Tapi, selama ini tidak ada laporan dari orang-orang yang berjaga di kuburan kalau makamnya Maimunah dibongkar," kata warga yang lain.
"Ya siapa tahu orang tersebut meratakan tanahnya serapi mungkin sehingga tidak dicurigai oleh orang-orang yang lagi berjaga?" ujar yang lain.
Selama ini, pembongkaran terhadap makam baru wanita yang hamil memang tidak pernah terjadi. Dan itu hanya sebatas mitos saja. Tapi, orang-orang sangat yakin sebab yang mengatakan begitu adalah nenek moyang kampung kami. Sebab dulu kejadian seperti itu sudah sering terjadi. Bahkan di tengah-tengah persawahan kampung ada sebuah makam tua yang memang dikhususkan untuk para maling. Konon, maling-maling yang ditangkap langsung dibunuh, lalu mayatnya langsung dikubur di makam tersebut. Maling-maling itu bukan maling sembarangan! Mereka adalah maling sakti yang bisa menghilang dan menembus tembok.
Lalu, orang-orang itu langsung menuju ke pemakaman untuk menginvestigasi secara langsung, namun ternyata makam Maimunah tak apa-apa. Kondisinya utuh seperti sedia kala.
"Coba kamu injak tanahnya!" perintah Rapi'i.
Salah satu dari warga menginjak tanah makam Maimunah dan ...
Amblas!
Ternyata mitos itu benar! Dan memang seseorang telah membongkar makam Maimunah! Orang-orang itu saling bertanya-tanya, siapakah orang yang telah berani membongkarnya?
Kabar ini langsung mendarat di telinga Sapik dan keluarganya. Lalu, tanpa ambil tempo mereka meminta tolong kepada beberapa orang lelaki untuk menggali kubur Maimunah. Tampak ibu mertua Maimunah tidak berhenti menangis di pundak putranya, Sapik.
Akhirnya, jenazah Maimunah tampak.
***
Di sekitar jenazah tidak ada tanda-tanda perutnya dirobek apalagi sampai jari kelingking bayinya dipotong untuk digunakan sebagai jimat. Namun, orang-orang itu dikejutkan oleh suatu keajaiban yang selama ini mereka abaikan yaitu bayi yang ada di dalam perut jenazah Maimunah tertidur di sebelah kiri jasad ibunya. Selama ini, kejadian itu hanya dianggap sesuatu yang mustahil bahkan tidak ilmiah oleh sebagian orang.
"Lalu, jari kelingking bayi siapa yang telah dicuri oleh orang yang telah mencuri di rumah Solihun?" tanya Rapi'i yang ikut menggali makam Maimunah.
Pada saat itu, Solihun datang tergopoh-gopoh datang ke pekuburan. Di wajahnya tampak ada sebuah penyesalan. Kepada semua orang yang ada di sana ia menyampaikan permintaan maaf.
"Uang saya tidak dicuri oleh siapa pun. Adapun orang yang saya katakan tadi adalah Pak Karsun yang sedang buang air kecil di dekat pohon, bukan maling. Sementara uang dalam dompet, sudah saya setorkan ke bank," katanya menjelaskan. "Buah kedondong buah kelapa, tolong maafkan kesalahan saya."
Sejak itu kampung kami kembali aman. Kepercayaan terhadap mitos itu sudah mulai berkurang meski masih ada masyarakat yang masih menjalankannya untuk melestarikan adat menunggui wanita yang meninggal dalam kondisi hamil. Sebab warga mendengar kabar bahwa di kota sebelah ada kasus mayat wanita hamil yang dicuri. Konon pelakunya adalah sosok Bhâruwang.
Menurut kepercayaan nenek moyang kami, Bhâruwang adalah makhluk mitologi sebagai pemakan mayat karena rasanya mayat mirip buah nangka matang.
2024
______
Penulis
Khairul A. El Maliky, Novelis. Lahir dan besar di kota Probolinggo, 5 Oktober 1986. Pernah belajar di Pekanbaru, Riau. Bukunya yang telah terbit di antaranya berjudul: Akad, Pintu Tauhid, Kalam Kalam Cinta (Penerbit MNC, Malang). Dua bukunya yang berjudul Benarkah Tuhanmu Allah? dan Sweet Girl (Proses Terbit). Kini bermaustin di Probolinggo sambil mengajar bahasa Inggris.