Oleh Ust. Izzatullah Abduh, M.Pd.
Bismillah. Alhamdulillah washsholatu wassalamu ‘ala rasulillah. Amma Ba’du.
Menjadi orang tua di era zaman modern ini tidaklah mudah. Banyak tantangan dan rintangan di dalam memberikan hak pendidikan untuk anak-anak. Kemajuan teknologi yang begitu pesat, tak dipungkiri selain menguntungkan juga menjadi ancaman yang serius terhadap perkembangan dan pertumbuhan anak-anak kita.
Menurut survei Badan Pusat Statistik (BPS) pengguna gadget anak usia dini di Indonesia mencapai sebanyak 33,44%. Dan menurut survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia bahwa lebih dari 71,3% anak-anak sekolah di Indonesia sudah memiliki gadget dan memainkannya dalam porsi yang lama setiap harinya. Dan sebanyak 79% para orang tua tidak menerapkan peraturan penggunaan gadget kepada anak-anak mereka. Padahal penggunaan gadget yang terus menerus dapat membuat mereka kecanduan dan berdampak negatif pada perkembangan fisik, mental, dan sosial mereka. Serta cenderung mengalami masalah dalam konsentrasi, perkembangan bahasa, dan keterampilan motorik. Maka ini harus menjadi perhatian serius bagi para orang tua untuk bisa mendampingi dan mengedukasi anak-anak dalam penggunaan gadget. Mengarahkan mereka supaya menggunakan gadget untuk hal-hal yang bermanfaat dan menjadwal penggunaannya untuk mereka. Karena bagaimana pun penggunaan gadget itu dapat merangsang pelepasan dopamin di otak atau dikenal “hormon kebahagiaan”. Penggunanya candu terhadap hiburan instan dan menarik di dalamnya seperti game, tontonan video, media sosial dan sebagainya.
Ini baru satu permasalahan yang kita temui di era modern ini. Kemudian terdapat juga survei-survei yang lainnya mengenai apa yang sedang terjadi atau dialami oleh anak-anak generasi zaman ini. Seperti mentalnnya yang kurang, minimnya kesejahteraan mental, banyaknya pengangguran, gaya hidup yang hedon, dan seterusnya.
Maka mari para orang tua, kita becermin kepada firman Allah subhanahu wata’ala, usaha apa yang kiranya sudah kita upayakan untuk generasi atau anak-anak kita yang cepat atau lambat kita pun akan meninggalkan mereka,
وَلۡيَخۡشَ الَّذِيۡنَ لَوۡ تَرَكُوۡا مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوۡا عَلَيۡهِمۡ ۖفَلۡيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلۡيَقُوۡلُوا قَوۡلًا سَدِيۡدًا
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.” (QS. An-Nisa : 9)
Konteks ayat ini adalah tentang teguran bagi orang-orang yang mengelola harta anak yatim, dan atau orang yang hadir menyaksikan wasiat orang lain yang akan meninggal. Agar mereka bertakwa kepada Allah dan berbicara yang benar alias jujur. Sebagaimana mereka ingin jika kelak anak keturunan mereka diperlakukan baik oleh orang lain, maka hendaknya mereka juga memperlakukan baik anak-anak yang saat ini ada dalam pengasuhannya.
Dalam tafsir Muyassar disebutkan 3 hal yang perlu diperhatikan di dalam menunaikan hak anak keturunan atau generasi yang nantinya akan ditinggalkan. Yaitu memelihara harta mereka termasuk menyediakan tabungan untuk masa depan mereka, menyediakan pendidikan yang terbaik, dan memprotek mereka dari bahaya termasuk memberikan shield atau filter supaya mereka tidak mudah terbawa arus pergaulan buruk.
Kemudian ayat ini juga menjadi peringatan bagi para orang tua agar tidak menelantarkan anak-anak mereka dan juga anak-anak yang ada dalam pengasuhan mereka. Adalah para orang tua diperintahkan untuk mempersiapkan kesejahteraan anak-anak. Setidaknya ada 3 kesejahteraan yang perlu dipersiapkan, yaitu kesejahteraan ilmu, ekonomi/finansial, dan emosional. Sehingga ketika orang tua meninggal, maka anak-anak sudah terpenuhi hak-hak mereka.
1. Kesejahteraan ilmu, ini sangat penting bahkan hak yang paling utama. Tentunya sebagai seorang Muslim yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu agama. Karena secara tegas di dalam Al-Qur'an Allah subhanahu wata’ala berfirman,
يٰۤاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا قُوۡۤا اَنۡفُسَكُمۡ وَاَهۡلِيۡكُمۡ نَارًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” (QS. At-Tahrim : 6)
Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhu menafsirkan ayat ini bahwa maksudnya adalah ajarkanlah agama dan adab kepada keluarga; anak, istri, dst.
Dan Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma pernah berkata,
أدب ابنك فإنك مسؤول عنه ما ذا أدبته وما ذا علمته
“Didiklah anakmu, karena sesungguhnya engkau akan dimintai pertanggungjawaban mengenai pendidikan dan pengajaran yang telah engkau berikan kepadanya.”
Kemudian Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah juga berkata,
“Siapa saja yang mengabaikan pendidikan anaknya dalam hal-hal yang berguna baginya, lalu dia membiarkan begitu saja, berarti dia telah berbuat kesalahan yang fatal. Mayoritas penyebab kerusakan anak adalah akibat orang tua yang mengabaikan mereka, serta tidak mengajarkan berbagai kewajiban dan ajaran agama. Orang tua yang menelantarkan anak-anaknya ketika mereka kecil, itu akan membuat mereka tidak berfaedah bagi diri sendiri dan bagi orang tua ketika mereka telah dewasa.”
Ilmu agama inilah yang nantinya akan membentuk keshalihan dalam diri anak. Inilah sebaik-baik apa yang diwariskan oleh orang tua kepada anaknya.
Terdapat kisah yang sangat menggugah tentang Umar bin Abdul Aziz rahimahullah ketika beliau wafat, beliau tidak meninggalkan harta warisan untuk anak-anaknya. Kisah ini diceritakan oleh Muqatil bin Sulaiman kepada Al Manshur yang waktu itu menjabat sebagai Khalifah.
Muqatil bercerita,
“Umar bin Abdul Aziz memiliki 11 anak. Ketika wafat, beliau meninggalkan uang 18 dinar. Untuk membayar kain kafan 5 dinar dan untuk tanah liang kuburnya 4 dinar. Sisanya 9 dinar diwariskan kepada ahli warisnya. Di sisi lain, ada Hisyam bin Abdul Malik yang memiliki 11 anak. Ketika beliau wafat, warisan yang diperoleh oleh masing-masing anaknya adalah 1 juta dinar. Demi Allah, pada suatu hari aku melihat salah seorang anak Umar bin Abdul Aziz bersedekah seratus ekor kuda untuk keperluan jihad fi sabilillah. Dan pada hari yang sama, aku melihat salah seorang anak Hisyam bin Abdul Malik sedang meminta-minta di pasar.”
Muqatil melanjutkan,
“Sebelumnya orang-orang bertanya kepada Umar bin Abdul Aziz menjelang wafatnya, ‘Apa yang engkau tinggalkan untuk anak-anakmu?’ Beliau menjawab, ‘Aku tinggalkan untuk mereka keshalihan dan takwa kepada Allah. Jika mereka menjadi orang-orang yang shaleh maka Allah yang akan mengurus mereka’.
Beliau membaca ayat,
وَهُوَ يَتَوَلَّى الصّٰلِحِيۡنَ
“Dia (Allah) melindungi orang-orang shalih.” (QS. Al-A’raf : 196)
Jika tidak menjadi orang-orang yang shaleh maka aku tidak mau menolong mereka untuk bermaksiat kepada Allah dengan harta.”
Orang tua yang menginginkan kebaikan untuk anaknya, maka harus menanamkan nilai-nilai pendidikan agama. Orang tua berperan sebagai wasilah agar anak paham terhadap agamanya dan mengerti tentang perkara-perkara yang menjadi kewajibannya. Yang mana inilah tanda kebaikan sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam,
مَن يُرِدِ اللهُ به خيرًا يُفَقِّهْه في الدينِ
“Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan padanya, niscaya Allah akan jadikan ia faham dalam agama.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Tidak hanya itu, Allah pun akan mengangkat derajatnya,
يَرۡفَعِ اللّٰهُ الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا مِنۡكُمۡ ۙ وَالَّذِيۡنَ اُوۡتُوا الۡعِلۡمَ دَرَجٰتٍ
“Niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah : 11)
Dengan ilmu agama, maka niscaya anak-anak kita akan menjadi anak-anak yang selalu diliputi kebaikan dan bermartabat serta tinggi derajatnya di antara manusia lainnya.
Dan kembali ke Umar bin Abdul Aziz rahimahullah, bahwa beliau termasuk seorang Khalifah kaum muslimin yang pernah memenuhi bumi dengan keadilan. Beliau dikenal sebagai orang yang shalih, ahli ilmu dan berakhlak mulia. Hal ini tidak lepas dari peran ayahnya yang bernama Abdul Aziz bin Marwan rahimahullah. Ayahnya sangat perhatian terhadap pendidikan agama untuk anaknya, sehingga anaknya dititipkan kepada seorang ulama bernama Shalih bin Kaisan rahimahullah. Abdul Aziz berpesan supaya Umar kecil diajarkan tentang adab dan salat berjamaah 5 waktu. Dan suatu hari Umar ketinggalan salat berjamaah lantaran lamanya ia menyisir rambutnya. Hal ini dikabarkan oleh Shalih bin Kaisan kepada Abdul Aziz. Lalu apa responnya? Abdul Aziz mengirim tukang cukur untuk mencukur habis rambut Umar. Demikian dilakukan supaya Umar tidak terlambat lagi dalam mengerjakan salat berjamaah 5 waktu. Dan Umar tidak marah, justru merasa bangga kepada ayahnya. Meski jauh, tapi ayahnya selalu memberikan perhatian kepadanya.
Inilah pentingnya peran orang tua untuk anak-anak. Memberikan perhatian terhadap pendidikan mereka dan peduli terhadap capaian hasil belajar mereka.
Pepatah Arab pernah mengungkapkan,
كيف استقم الظل و عوده أعوج
“Bagaimana bisa bayangan itu lurus sementara kayunya bengkok?”
Semoga bisa dipahami makna tersirat dari kalimat pepatah di atas.
2. Kesejahteraan ekonomi, ini juga tidak kalah penting. Tidak cukup orang tua hanya membekali anak-anaknya dengan ilmu agama dan keshalihan. Tanpa dibekali life skill yaitu keterampilan hidup yang dengannya ia bisa menghasilkan maisyah penghasilan untuk membiayai kebutuhan hidupnya sendiri maupun yang lainnya. Menjadi penting bagi orang tua untuk melihat potensi, bakat serta minat sang anak. Apalagi jika di situ ada peluang ekonomi yang bisa dihasilkan. Fasilitasi, support dan dampingi hingga sang anak bisa mandiri menjalankannya.
Kemudian boleh bagi para orang tua menyiapkan tabungan masa depan agar nanti bisa meninggalkan harta warisan yang banyak untuk anak-anaknya. Bahkan hal ini sangat dianjurkan supaya anak-anak tidak hidup dalam keadaan terlantar dan mengemis kepada orang lain setelah sepeninggalnya.
Dalam hadits yang shahih dikisahkan, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjenguk Sa’d bin Abi Waqash radiyallahu ‘anhu yang sedang sakit, lalu Sa’d berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي ذُو مَالٍ وَلَا يَرِثُنِي إِلَّا ابْنَةً، أَفَأَتَصَدَّقُ بِثُلُثَيْ مَالِي؟ قَالَ: "لَا". قَالَ: فالشَّطْر؟ قَالَ: "لَا". قَالَ: فَالثُّلُثُ؟ قَالَ: "الثُّلُثُ، وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ". ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إنك أن تَذر وَرَثَتَك أغنياء خَيْر من أَنْ تَذَرَهم عَالةً يتكَفَّفُون النَّاسَ" .
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki harta, dan tidak ada yang mewarisiku kecuali puteriku seorang. Apakah aku boleh (berwasiat untuk) bersedekah dengan 2/3 hartaku?!”
Rasulullah bersabda, “tidak.”
“Kalau 1/2?!” tanya lagi Sa’d.
Rasulullah tetap menjawab, “tidak.”
Sa’d berkata lagi, “kalau 1/3?!”
Rasulullah bersabda, “1/3?! 1/3 itu banyak” kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wassalam melanjutkan, “sungguh engkau meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya, itu lebih baik daripada engkau meninggalkannya dalam keadaan miskin mengemis meminta-minta kepada manusia.” (HR Bukhari-Muslim)
Tentu poin ini harus dikuatkan dengan poin yang pertama yaitu ilmu agama. Sebab Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
“Sebaik-baik harta adalah harta yang dimiliki oleh hamba yang shalih.” (HR. Ahmad dengan derajat shahih menurut Syu’aib al Arnauth)
Dan Allah subhanahu wata’ala berfirman,
وَاَمَّا الۡجِدَارُ فَكَانَ لِغُلٰمَيۡنِ يَتِيۡمَيۡنِ فِى الۡمَدِيۡنَةِ وَكَانَ تَحۡتَهٗ كَنۡزٌ لَّهُمَا وَكَانَ اَبُوۡهُمَا صَالِحًـا ۚ فَاَرَادَ رَبُّكَ اَنۡ يَّبۡلُغَاۤ اَشُدَّهُمَا وَيَسۡتَخۡرِجَا كَنۡزَهُمَا ۖ رَحۡمَةً مِّنۡ رَّبِّكَ
“Dan adapun dinding rumah itu adalah milik dua anak yatim di kota itu, yang di bawahnya tersimpan harta bagi mereka berdua, dan ayahnya seorang yang shalih. Maka Rabbmu menghendaki agar keduanya sampai dewasa dan keduanya mengeluarkan simpanannya itu sebagai rahmat dari Rabbmu.” (QS. Al-Kahfi : 82)
Pada ayat ini, Allah menerangkan tentang seorang ayah yang shalih yang menyimpan hartanya untuk kedua anaknya. Maka Allah menghendaki harta itu tetap terjaga di tempat penyimpanannya agar kedua anaknya sampai dewasa, kemudian mengambil simpanannya itu untuk bekal kehidupan mereka.
Selain itu, ayat ini juga memberikan pelajaran bahwa keshalihan orang tua, seperti yang dicontohkan dalam ayat ini, pasti akan dibalas oleh Allah. Salah satu bentuk balasan Allah adalah memberi anugerah kepada anak keturunannya.
3. Kesejahteraan emosional, yaitu kemampuan untuk mengendalikan emosi dan merespons situasi yang ada dengan positif sesuai dengan tuntunan agama. Bersyukur ketika mendapatkan hal-hal yang menyenangkan dan bersabar ketika mendapatkan hal-hal yang menyusahkan serta memaafkan kesalahan-kesalahan yang masih bisa ditoleransi.
Hal ini menjadi penting karena berkaitan dengan psikologi anak. Semakin anak mampu mengatur emosinya, maka semakin besar kemampuan untuk menikmati hidup, mengatasi stres dan lain sebagainya. Sehingga ia bisa menjadi pribadi yang fokus, mampu memprioritaskan apa yang penting untuk dikerjakan, dan mendorongnya melakukan aksi positif yang bermanfaat untuk hidupnya dan orang lain.
Kesejahteraan emosional perlu dibangun sejak dini supaya anak tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mudah bergaul dengan siapa pun serta mampu mengatasi beragam problem yang mungkin akan ia temui dalam hidupnya.
Dan agama Islam sangat memperhatikan hal ini. Banyak ayat dan hadis yang mendorong umat Islam untuk mempunyai kesejahteraan emosional, bahkan memuji siapa saja dari kaum muslimin yang memilikinya.
وَلَا تَهِنُوۡا وَ لَا تَحۡزَنُوۡا وَاَنۡتُمُ الۡاَعۡلَوۡنَ اِنۡ كُنۡتُمۡ مُّؤۡمِنِيۡنَ
“Dan janganlah kamu (merasa) lemah, dan jangan (pula) bersedih hati, sebab kamu paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang beriman.” (QS. Ali Imran : 139)
Pada ayat ini Allah memotivasi agar kaum muslimin tidak larut dalam sifat lemah dan sedih yang berkepanjangan.
وَجَزٰٓؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثۡلُهَاۚ فَمَنۡ عَفَا وَاَصۡلَحَ فَاَجۡرُهٗ عَلَى اللّٰهِؕ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيۡنَ
“Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi barangsiapa memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat) maka pahalanya dari Allah. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang zhalim.” (QS. Asy-Syura : 40)
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa seseorang boleh membela diri ketika ia dizhalimi atau dianiaya. Dan membalas setimpal dengan apa yang ia derita. Namun demikian, ayat ini juga menganjurkan untuk tidak membalas kejahatan orang lain, tetapi memaafkan dan memperlakukan dengan baik orang yang berbuat jahat kepada kita karena Allah akan memberikan pahala kepada orang-orang yang memaafkan kesalahan orang lain.
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
“Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba yang pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya.” (HR. Muslim)
Dan banyak lagi ayat maupun hadits lainnya yang tidak bisa dipaparkan satu pe rsatu. Tapi intinya adalah pentingnya para orang tua membangun kesejahteraan emosional kepada anak-anak, baik dengan pendekatan agama, maupun yang lainnya selagi dalam koridor yang dibolehkan syariat. Sehingga anak-anak kita tumbuh menjadi pribadi yang bijaksana, mampu menghadapi segala situasi dengan tenang dan lurus.
Demikian, pada akhirnya kita semua akan dimintai pertanggungjawaban atas amanah berupa anak-anak yang telah Allah titipkan kepada kita.
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ والْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِه وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى أَهْلِ بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ
“Setiap kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggunjawabannya dan demikian juga seorang laki-laki (suami) adalah seorang pemimpin bagi keluarganya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya, dan seorang istri pemimpin terhadap keluarga di rumah suaminya dan juga anak-anaknya. Dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas mereka.” (HR. Bukhari)
Semoga bermanfaat. Barakallahu fikum jami’an.
_________
Penulis
Izzatullah Abduh, M.Pd., Kepsek Imam Nawawi Islamic School Pondok Cabe Tangsel.