Esai Ale Siregar
Bayangkan, teman Anda mengajukan pertanyaan pada Anda. Lalu, Anda mencoba merespons pertanyaan itu dengan upaya agar ia mendapat jawaban yang komprehensif. Sebelum sampai pada inti jawaban, tiba-tiba teman Anda tadi memotong dan mengajukan pertanyaan lain. Jawaban lain pun Anda berikan. Kali ini, teman Anda tidak memotong dengan pertanyaan lain, tetapi memberikan jawaban atas pertanyaannya sendiri. Anda pun menyimak sampai tuntas pertanyaan yang menjawab dirinya sendiri itu. Pertanyaan lain yang ke sekian kalinya pun dilontarkan. Anda, dengan kesabaran Atlas yang di dalam mitologi Yunani tidak pernah lelah menopang bumi, kemudian mencoba merespons.
Anda berhasil memberikan pemaparan panjang. Teman Anda, tampak diam mendengarkan, tetapi matanya kosong. Ia lebih sibuk menggerakkan jari-jemarinya di layar gawai. Cahaya redup terpapar di wajahnya. Setelah Anda selesai merespons, teman Anda terus saja khusyuk dengan benda kecil di genggamannya. Apa yang Anda rasakan saat momen-momen seperti itu terjadi menimpa Anda?
Kesal, merasa tidak dihargai, dicurangi dan menghabiskan waktu bersama orang yang salah. Itulah yang saya rasakan. Ilustrasi itu benar-benar terjadi pada saya beberapa hari terakhir. Saya teringat pada film sains-fiksi bercerita tentang robot-robot yang menjajah manusia dan menemukan titik simpul bahwa beginilah mungkin awalnya bermula. Saya tidak sepenuhnya menyalahkan teman itu kendati memang agak menyebalkan berada di posisi semacam itu. Jika ia memang tidak membutuhkan percakapan dengan saya, ya, sudah, bercakap-cakap saja dengan mesin pencari di gawai. Pasti ada ribuan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang sama ia lontarkan pada saya.
“Kamu dengan benda di tanganmu itu bisa bertatap-tatapan setiap hari, tetapi bertemu denganku nggak setiap saat, apalagi pada acara diskusi semacam ini,” saya menegurnya. Kebetulan saat itu kami sedang menghadiri acara Mocopat Syafaat yang digagas oleh Cak Nun. Untuk beberapa saat, ia mendengarkan celotehan saya. Tidak cukup lama, ia kembali sibuk dengan gawainya dan berkilah, “Aku bisa multi-tasking, kok.” Saya makin yakin, pertemuan antara film sains-fiksi yang pernah saya tonton dan realita hari ini akan bersua di titik yang sama tidak lama lagi.
Ketidakacuhan dan keheningan di tengah-tengah gegap gempita saat itu adalah salah sekian gejala tentang bagaimana teknologi yang penuh daya pikat berhasil mengganggu perhatian dan hubungan antarmanusia. Di Inggris, fenomena seperti ini menghasilkan satu kosakata yang kiranya bisa mempersentasikan perasaan orang yang menimpanya. Kata itu adalah pizzled, gabungan dari kata puzzled (bingung) dan pissed (gusar). Orang merasa bingung harus bagaimana dan gusar pada saat yang sama ketika diabaikan oleh benda persegi bercahaya redup yang ada di genggaman lawan bicara.
Harus dikatakan, teknologi sudah sangat banyak membantu manusia. Namun, juga amat tidak bijak jika kita menutup mata atas realitas suram yang dihadirkan olehnya. Lebih-lebih jika berhadapan dengan waktu bersama dengan orang lain. Berinteraksi dengan orang lain adalah media belajar “membaca” apa yang tidak diungkapkan dengan kata-kata. Generasi mutakhir mungkin kian cekatan mengetik keyboard, tetapi bisa menjadi amat kikuk ketika membaca sikap seseorang saat bertatap muka secara langsung, wabil khusus dalam merasakan kekecewaan seseorang ketika mereka berhenti untuk melihat foto-foto terbaru di Instagram di tengah-tengah percakapan. Teknologi memang amat pintar, tetapi percayalah para penciptanya tidak menyelipkan perasaan sepaket di dalamnya.
Indonesia, barangkali adalah negara yang paling suka dengan pesatnya kemajuan teknologi. Tesis itu tergambar dari realitas politik yang menjadi sangat tajam dan mencair akhir-akhir ini. Dan itu atas bantuan kemajuan teknologi—terima kasih teknologi! Taiwan, Korea dan negara-negara Asia lainnya sadar bahwa warga negara mereka telah kecanduan internet—games, media sosial dan realitas virtual. Hal itu mereka tandai sebagai krisis kesehatan nasional yang mengisolasi kaum muda. Selain itu, sekitar 8% gamers di Amerika berusia 8-18 tahun telah memenuhi kriteria diagnostik ketergantungan dalam ilmu kejiwaan. Analisa terhadap otak mereka mengungkapkan perubahan sistem imbalan saat bermain game. Itu adalah perubahan yang persis sama ditemukan pada otak para pecandu alkohol dan obat-obatan.
Saya akui, memang ada semacam kecanduan ketika memiliki sejumlah akun di beberapa media sosial. Ada dorongan yang luar biasa untuk melihat-lihat postingan terbaru. Entah itu tentang perjalanan naik gunung bersama kawan, tentang restoran tempat seseorang bersantap dengan aneka menu, dan berbagai hal menggiurkan lainnya. Dan anehnya, saya lebih sering menikmati postingan orang, yang dalam keseharian, tidak saya kenal sama sekali. Saya menikmati kecanduan itu hingga timbul rasa gelisah. Saya gelisah melihat orang yang serba “positif” dan bertabur kenikmatan. Apakah mereka tidak mengalami hal-hal “negatif”? Dan tidak pernah hidup kekurangan? Betapa suksesnya hidup mereka! Setiap hari makan di sana, setiap pekan jalan-jalan di sini, lain hari selalu berbelanja baju baru dan semuanya bagus-bagus. Amat sangat jarang, akun pribadi memuat postingan tentang kepedihan atau kesedihannya, hanya sekian nol koma sekian persen dibanding kebalikannya. Di situlah letak kegelisahan saya. Manusia yang mestinya memiliki sisi “positif” dan “negatif”—dengan dua hal itulah manusia bisa mencapai kepenuhan hidup—tidak saya temukan di media sosial. Mereka adalah manusia dengan satu sisi. Gelisah saya kian menjadi, jangan-jangan saya juga salah satu di antara mereka.
Pada satu kesempatan, saya ceritakan kegelisahan itu pada teman—bukan teman yang mengabaikan saya sebelumnya. Lalu, ia merespons kegelisahan saya dengan berkata: “media sosial adalah soal pertukaran. Semua like yang kamu dapatkan dari postingan bisa ditukarkan dengan kesenangan. Like adalah simbol mata uang yang bisa kamu tukarkan dengan kebahagiaan. Kamu mungkin nggak mendapat cukup banyak like sehingga kamu merasa gelisah. Artinya, kalau di dalam dunia perdagangan, kamu itu sedang merugi. Boncos!”
Saya tertawa dengan jawaban itu. Bisa-bisanya ia menyamakan aktivitas di media sosial dengan dunia dagang. Namun, sepertinya ia ada benarnya juga. Saya mengeluarkan sekian kuota internet dan sekian waktu untuk mengunggah sebuah postingan, lalu hanya mendapat sedikit like. Tentu saja saya rugi jika dihitung secara ekonomi, itulah sebabnya saya gelisah. Belum lagi jika membandingkan dengan like yang didapat oleh akun-akun lain, ada semacam rasa iri yang timbul.
Kembali pada kekesalan saya. Hal nahas yang menimpa saya di atas mungkin tidak akan menjadi tulisan ini jika terjadi dengan latar belakangan jalanan macet dan gedung-gedung raksasa Jakarta. Kejadian itu justru terjadi di sebuah dusun bernama Kasihan di Bantul, Yogyakarta. Teman itu memang bukan orang desa sekitar, ia tinggal di desa seberang, di sebuah perumahan agak eksklusif. Kendati demikian, tidak bisakah ia menghormati para penduduk dusun yang hidupnya penuh hanya dengan senyum itu? Atau setidaknya menghormati panitia penyelenggara dengan menyimak acara yang mereka suguhkan. Ketika duduk bersama dalam acara Mocopat Syafaat itu, ia tidak punya teman bercakap-cakap selain saya. Saya pun meladeni percakapannya dengan sia-sia.
Saya jadi teringat dengan Jean Baudrillard, pemikir Prancis yang berbicara banyak tentang hipperrealitas. Keberadaan teknologi canggih dengan berbagai anak kandungnya—media sosial, games, karaoke dan realitas virtual lainnya— sebagai realitas adalah suatu kondisi hipperealitas, sebagai satu tahap sebelum simulakra. Apabila representasi hadir bagi sesuatu yang digantikannya, maka simulakra adalah justru keadaan pada saat representasi hadir untuk dirinya sendiri, ia hadir tidak menggantikan apa-apa selain dirinya sendiri. Bagi Baudrillard, ini bukan sesuatu yang tidak nyata, tetapi suatu simulakra, yang berarti menggantikan dirinya sendiri. Contohnya, tayangan sepak bola kerap kali kita rasakan bukan sebagai representasi dari sebuah pertandingan sepak bola. Tayangan sepak bola dianggap lebih sporty ketimbang sepak bola itu sendiri. Penonton tayangan sepak bola bisa bersikap lebih heboh ketimbang pemain yang bermain di lapangan. Seorang penonton bisa merasa lebih kesal terhadap pemain lawan ketimbang pemain tim yang dibelanya yang sedang bermain di lapangan. Belum lagi jika kita melibatkan berbagai lapisan baru yang ikut di dalam sebuah tayangan sepak bola, seperti taruhan bola, ocehan komentator bola, atau iklan-iklan yang terselip di dalamnya. Tayangan sepak bola sebagai representasi sebuah pertandingan sepak bola, terasa justru telah melampaui sepak bola itu sendiri. Inilah situasi simulasi dalam pikiran Baudrillard.
Kalau kenyataan yang ada absen dan kita bertatapan dengan simulasi, itu sama halnya dengan menanggapi drama rumah tangga para artis dalam infotainment sebagai kenyataan itu sendiri. Padahal kenyataan di dalam “rumah yang sebenarnya” berbeda sama sekali dengan “kenyataan” dalam infotainment yang disajikan televisi. Tidak ada “rumah tangga” dalam “rumah yang nyata”, yang ada hanya rumah tangga dalam simulasi bernama informasi yang dihadirkan program infotainment di televisi.
Bukankah amat sering komentar-komentar di Facebook dan pesan-pesan di WhatsApp terasa lebih “heboh” dibanding aslinya? Kata Seno Gumira Ajidarma, “benda-benda itu (alat-alat teknologi) hidup bukan karena menggantikan manusia, melainkan termanusiakan tanpa manusia, seperti berhala yang bertuhankan tanpa Tuhan.”
Pada tahun 1977, seorang pemenang Nobel Ekonomi, Herbert Simon memperingatkan tentang datangnya dunia yang kaya akan informasi, tetapi yang akan dikonsumsi oleh informasi itu adalah perhatian dari para penerimanya. Karena itulah, luberan informasi menciptakan kemiskinan atensi, padahal atensi adalah kebutuhan dasar yang mengharmoniskan hubungan antarsesama manusia hingga tak terasa dingin seperti benda mati.
________
Penulis
Ale Siregar, seorang penerjemah lepas yang punya hobi olah raga. Ia rutin berolahraga agar memiliki nafas panjang untuk bisa membaca buku yang masih banyak belum ia baca.
redaksingewiyak@gmail.com