Esai Heru Anwari
Di luar rumah sedang turun salju dengan suhu udara -5 celcius, membuat kita ingin menghangatkan tubuh sambil juga menghangatkan persahabatan satu sama lain. Kita bertukar pikiran dan cerita malam itu. Gabriel new artist crywheel (alat akrobatik), ia berasal dari negara Doimic Republic yang sudah tinggal di NYC (New York City) sejak usia 16 tahun. Ia sudah 18 tahun menelan gemerlap kehidupan NYC di dunia entertainment sebagai show artist seperti MC atau pun circus artist. Ia tak hanya mampu melakukan crywheel, tetapi juga ahli breakdance, juga hal-hal street art. Ia tak hanya tahu, tapi menyelam ke dalamnya, mengenai banyak circle. Begitulah gambaran kehidupan anak street culture (budaya jalanan), dan pastinya banyak bekerja dengan berbagai pihak di NYC.
Sambil mengangkat kedua tangan, Gabriel mulai bercerita.
“Hey, guys listen! Saya punya cerita menarik,” uajr Gabriel dengan aksen New York. Saya senang mendengarnya.
Suatu hari ponsel Gabriel berdering sekitar pukul tiga sore. Telepon dari orang yang tak dikenal, meminta tiga dancer laki-laki untuk malam ini, pukul sembilan malam. Katanya ini urgen dan penting. Kebiasaan di negara besar seperti USA/Australia setiap pertunjukan biasanya tidak ada yang semendadak itu, biasanya di-booking, setidaknya satu minggu sebelum hari pertunjukan.
“Oke, jika saya mendapatkan tiga dancer, berapa kamu akan membayar?” Gabriel merespons dengan santai kepada penelepon sore itu. Penelepon menantang dan berkata, “Silahkan ucapkan berapa yang kamu mau?”
”Oh, my God!” ujar Gabriel.
Ini menarik, Gabriel meminta $1500 USD untuk dua jam pertunjukan. Tiga dancer dan deposit sore itu juga.
”Saya hanya menantangnya sebenarnya,” ujar Gabriel.
Ia tak tahu, orang ini tiba-tiba saja menghubungi, tak ada hujan tak ada mendung. Telepon itu pun diakhiri dengan persetujuan kedua belah pihak.
Tak sampai 30 menit, bunyi notifikasi bank account di ponsel Gabriel, $1500 USD masuk ke rekening, sekitar 24 juta rupiah. Ia pun kaget tak kira.
“It’s real,” ujar Gabriel.
Sore itu pun Gabriel bergegas menelepon teman-teman dance laki laki yang memiliki waktu luang. Ia menelepon beberapa temannya dan menceritakan yang terjadi. Tak mudah mendapatkan boy/dancer/breakdancer laki laki dengan waktu singkat. Setelah didapatkan, ia pun memberikan lokasi pertunjukan malam itu di salah satu gedung tengah Kota New York pukul sembilan malam.
Gabriel melanjutkan ceritanya yang semakin menarik malam itu. Semua mata tertuju kepada Gabriel dengan perawakan tinggi kekar dan gerakan-gerakan tangannya saat bercerita, ditambah aksen New York, seperti menghipnotis kita semua malam itu.
“Do you know, what happen? Kalian tahu apa yang terjadi? Saat kita sampai di sana, kita dibawa ke ruangan dan di-briefing untuk melakukan tarian dance dua sesi, tiga puluh menit dengan koreografi yang kita miliki. Namun, ada yang di luar nalar, kita diminta menari hanya dengan menggunakan celana dalam saja. Celana dalam ketat berwarna hitam seperti celana dalam Batman, haha,” Gabriel dan rekan-rekannya tertawa.
Gabriel memperlihatkan foto di Google gambar celana dalam yang mengkilap ala-ala lelaki penghibur. Suasana pecah karena hal tak terduga terjadi. Gabriel bukan penari striptis, bisa-bisanya diminta menari ala ala striptis. Skenario ini tak dijelaskan saat percakapan ditelepon sore itu, tapi sudah telanjur datang dan satu jam penampilan $500, nilai yang fantastis. Jarang-jarang didapatkan oleh para penari jalanan atau street performer karena memang Gabriel dan teman-temannya bukan berada di lingkungan penari striptis. Memang, permintaan dance malam itu bukan tarian strip, hanya koreografi dance, bisa namun kostumnya yang luar biasa. Saya rasa sepertinya ada kejadian tak terduga, seperti cancel booking pada grup sebelumnya yang membuat mencari penari pengganti, namun itu teknis.
Singkat cerita mereka menyetujui job malam itu. Benar saja, mereka dance di depan kumpulan para lelaki LGBT/gay, kumpulan lelaki dengan baju-baju mewah di ballroom mewah seperti acara gala dinner. Bisa-bisanya mereka dibayar hanya untuk menghibur laki-laki lain. Mungkin cerita ini banyak terjadi setiap malamnya. Namun menariknya, saya mendapatkan cerita langsung bagaimana mencekamnya malam itu dari salah satu penarinya langsung. Ia menceritakan ia seperti terjebak, namun itulah gaya kehidupan di ibu kota gemerlap New York. Uang menjadi pilihan nomor satu, menjadi satu satunya alasan untuk melakukan apa pun, karena tak ada pilihan lain, tekanan gaya hidup dan kebutuhan juga yang memengaruhi.
Sebentar, masih ada cerita menarik lainnya yang lebih membuat kita malam itu tertawa terbahak-bahak. Sesudah Gabriel dan kawan kawan menari, tak lama ia menyaksikan penampilan penghibur lain, “Kamu tahu kostum monyet dengan buntut di belakangnya? Beberapa lelaki dandan seperti monyet dan memakai kostum monyet plus dengan buntut di belakangnya di tambah meluncur dengan sepatu roda, haha,” semua tertawa.
Gabriel mengatakan bahwa mungkin para lelaki itu dibayar dengan budget yang sama untuk berpose dan meluncur dengan sepatu roda di acara malam tersebut. Saya terbayang langsung seperti di film-film, pria memakai kostum monyet dengan sepatu roda saling berjalan mengelilingi hadirin malam itu.
Kisah cerita malam itu menjadi pengalaman bagi saya dan wawasan nyata betapa jiwa-jiwa diperjualbelikan. Harga diri bisa ditawar. Keesokan harinya saat senang pergi ke salah satu sekolah di Talkeenta Alaska untuk mengisi kegiatan workshop, kita mampir di tempat pizza untuk makan siang. Sedikit saya sambung cerita semalam yang membuat kita tertawa itu, mungkin lucu untuk teman-teman Amerika atau Australia karena mereka memandang hal yang biasa saja. Berbeda dengan saya, ini luar biasa untuk orang kampung seperti saya. Ini bagus untuk cerita dan wawasan banyak orang.
Sambil mendekat duduk berhadapan di meja makan pizza, saya bertanya kepada Gabriel apakah hal tersebut normal terjadi kepadanya. Gabriel menjawab bahwa tidak normal, kebanyakan dancer hanya dibayar $200/$300 per hari bukan dua jam.
”Bagaimana jika kamu mendapat tawaran seperti itu $500 USD (8 juta rupiah) dalam dua jam, apakah kamu tertarik?” Gabriel bertanya balik.
Hm... sambil berpikir loading beberapa saat, saya senyum sejenak.
”Saya tahu jika hidup di New York biaya hidup sangat mahal. Jadi, jika ada tawaran seperti itu bisa saja tertarik. Alasan biaya hidup jadi seperti tak ada pilihan,” ujar saya.
”Tidak seperti itu, pekerjaan reguler banyak, seperti serabutan yang mendapatkan $200/ hari. Semua ada pilihan padamu, prinsip hidupmu,” jawab Gabriel.
Jawaban itu mengentak batin saya. Bukan masalah tempat, semua kembali pada pondasi diri masing-masing.
Seperti yang kita ketahui kisah besar yang sedang viral P. Diddy mengguncang mancanegara terkait pesta besar paling seru di Hollywood. Tak semua artis dunia bisa mendapatkan tiket atau undangannya. Seperti pesta yang dimimpikan dan didambakan para artis dunia. Dilansir diberbagai media nasional maupun internasional juga rumor di berbagai podcast yang menyebutkan deretan nama-nama artis besar yang tak akan saya sebutkan satu per satu, saya kira kita semua dapat menyimpulkan dari berbagai persepsi netizen yang membanjiri komentar di media sosial, seperti “keras kehidupan Hollywood” atau “gila cari duit harus jual diri” atau ”entertaint di US semenyeramkan itu”, dsb. Artinya memang begitu adanya.
Mungkin ada yang pernah dengar juga terkait artis pemusik Indonesia yang berhasil tembus di dunia internasional. Pernah diceritakan kisahnya di salah satu podcast, seseorang itu mengatakan pernah diminta untuk ikut ke dalam party strip (tari dewasa) dengan hanya 30 menit pertunjukan. Ia dijanjikan $75,000 atau setara 1,2 M hanya dengan menari dewasa mendapatkan senilai satu rumah di Indonesia. Namun bersyukurnya ia tumbuh dan besar di negara kita yang penuh dengan ragam budaya dan agama. Itu membangun karakter dirinya. Ia mampu menolaknya. Ia katakan dalam interviunya “For me it’s like hey, that’s your life, tapi it’s not me. It’s not who I am”. Ia menegaskan untuknya seperti itu kehidupanmu, tapi tidak untukku, ini adalah diriku. Hidupnya lebih penting dari kariernya di dunia musik. Aksi penolakan itu pun mengherankan bagi orang-orang dengan pola pikir tidak berketuhanan atau tidak memiliki landasan karakter budaya. Saya ingin menggambarkan bagaimana beruntungnya kita memiliki agama atau ajaran yang mengatur dan menjaga harga diri agar tak mudah tergoda atau dengan mudah mengobral harga diri kita. Menjual jiwa hanya untuk sebuah nilai.
Saya teringat dengan kutipan para kiai dulu saat saya masih di pondok pesantren. Kiai mengatakan bahwa Dajjal akan berikan apa pun yang kita inginkan, apa pun yang kita sukai. Tapi ya mungkin dengan menjual jiwa kita padanya. Menjadikan uang sebagai Tuhan. Berpegang pada materi kemewahan dan nilai di mata sosial atau makhluk lain. Peran Tuhan hilang. Peran harga diri hilang. Tak terbayangkan jika agama tidak berperan karena uang, mungkin semua orang melakukan apa saja tanpa batasan. Memperlakukan manusia bukan seperti manusia lagi, bahkan dihinakan untuk memakai kostum ini memakan baju ini, bergoyang ini bergoyang itu.
Saya tak terbayang jika saya hidup bukan di Indonesia, entah jalan mana yang akan dipilih. Bersyukur betul saya dilahirkan lalu menjadi warga Indonesia yang kental akan ajaran agama dan budaya menjaga martabat harga diri.
Irisan-irisan ini bukan hanya terjadi di negara adidaya Amerika dengan gemerlap ibu kotanya New York. Justru trade center dunia menjadi tolok ukur semua negara-negara di dunia yang ingin seperti gaya hidup Amerika dengan kebebasannya, dengan hedonisme dengan brand dan gemerlap. Negara-negara kecil sudah banyak terdampak karena kiblat ke Barat. Jangankan kota besar, Jakarta-Bali, mungkin kota sekecil seperti Serang pun banyak yang menjual jiwanya untuk kebutuhan kehidupan atau kebutuhan hawa nafsunya. Lagi-lagi perkataan Pak Kiai saat mengaji, akan banyak perempuan menjadi pengikut Dajjal di akhir zaman. Dewasa ini di era media sosial dan teknologi, bagi perempuan sangat mudah mendapatkan apa yang ia inginkan, mohon maaf tidak bermaksud menyudutkan, contoh dengan membuka aurat atau berfoto seksi, membuat akun berbayar atau hanya dipublis di media sosial, itu sudah sedikit menjual jiwanya untuk ditukar nilai uang atau ketenaran. Saya tak mengatakan menjual diri, tapi tetap saja di mata mereka jika nilai materi yang diinginkan dan menjadi tujuan itu sudah menjual jiwa.
Agama menawarkan nilai lebih tinggi dari materi, yaitu harga diri, kepemahaman ilmu yang sesungguhnya membuat seseorang derajatnya tinggi atau istimewa, hidupnya akan bahagia dan tak terberatkan oleh nafsu-nafsu atau keinginan-keinginan rendahan materi. Justru agama yang mengenalkan manusia pada capaian sempurna menjadi manusia, melebihi makhluk ciptaan yang lainnya. Materi di era ini seperti menggelapkan manusia dari penglihatan mata hati. Mata hati telah dibutakan dengan perang kerakusan atau perlombaan menumpuk harta. Seperti yang kita lihat sekarang hampir semua sedang memanen kerakusan dan kehausan pengakuan sosial.
Tak terbayangkan jika gelombang kegelapan merasuki semua manusia di dunia maka kegilaan yang terjadi manusia semua akan di level asfala safilin yang artinya hina atau lebih rendah dari hewan. Itu Al-Qur’an yang mengatakannya. Jadi jika Tuhan tidak ada dalam hati maka Tuhan materi yang akan selalu dicari.
Betapa bersyukurnya saya tumbuh besar di negara yang berketuhanan, yang kaya raya budaya menjaga adat martabat harga diri. Saya harap kekayaan dan kekuatan yang negara kita miliki, tak akan hancur diterjang gelombang tsunami besar budaya Barat. Justru kita sebagai penyelamat di saat terjadi bencana di dunia.
_______
Penulis
Heru Anwari, BMX Freestyler Indonesia. Berkeliling dunia bersama sepeda.
redaksingewiyak@gmail.com