Puisi Muh. Husen Arifin
Meramal 2045
peramal itu kenal dengan tahun 2045
dari sejuknya pagi di atas dipan tua
‘tahun 2045 adalah keniscayaan
bagi engkau, engkau adalah tahun kemuraman’
peramal datang ke mimpi orang kota
ia membicarakan tahun 2045
‘ketahui, di balik dunia ini kerisauanmu
berlipat-lipat di meja kantormu
tetapi percayalah senjata masa depan
adalah engkau yang membunuh harapan
orang desa yang terlampau kaku
menganggap hari-hari bagai ketakutan
dan orang desa telah menjual sawah terakhir
bagi penghidupannya’
peramal lalu memeluk orang kota
‘jagalah bumi ini, sebelum 2045
benar-benar muram menghantui ratapanmu’
di sini peramal melambai sebelum orang kota
terbangun, jam menunjuk angka lima
Bandung, 2024
Kartu Suara
sorak sorai pencarian pemimpin baru
seperti penantian panjang setelah hujan itu
kampanye di gawai lebih ramai
dari pasar atau jalan-jalan
‘pilih aku, jurus bangau penakluk
koruptor telah kusiapkan, jurus kuda
dan jurus lainnya, ayo pilih aku’
upaya meraih simpati bagai menabur
gula di toples makanan
‘ayo pilihlah aku, kumakmurkan
dan semuanya lebih baik dari tahun lalu’
pada akhirnya, ia tak terpilih
ia adalah kartu suara tercabik-cabik
oleh angin, bersama waktu
ia ditelan oleh ketaksadaran
Bandung, 2024
Guruku
pada setiap langkahmu, aku berdoa
engkau adalah keabadian, tak termakan
oleh zaman, tak tergerus oleh kemunafikan
padamu ilmu pengetahuan tersebar
bersama cita-cita yang menjulang
bagai mercusuar dan padamu harapan
kebesaran atas masa depan
terpatri menjadi mutiara kehidupan
meski badik tertancap di pundakmu
engkau terus melangkah
menabur bunga kesucian di kelas
dan mendoakan anak-anak bangsa
sementara engkau tuk sekadar
mencukupi perut pun harus bersabar
sungguh engkau adalah bunga matahariku
kelak generasi emas lahir karenamu
Bandung, 2024
Kereta Kesunyian
di jendela aku masih menatap subuh
bersama matahari di timur yang teduh
aku menggumam jika di kepalaku
ramai oleh protes orang-orang tentang
korupsi yang tidak pernah henti
mengapa hukuman koruptor laksana
obral baju bekas, tidak ada jera
juga di kepalaku ramai oleh
nyanyian kemurungan karena hakim
tidak adil pada orang miskin
hakim tidak adil pada orang desa
hakim hanya mengadili ketidakbenaran
semurka itu kepalaku
mendesak pertanyaan yang tak terjawab
bersama kereta yang meluncur dengan tegap
Bandung, 2024
Seusia Seperempat Abad Hati Ini Seusai Menulis Puisi
dan aku masih tertatih
mengutarakan kata yang lirih
berdamai tanpa tangis perih
semata karena hidup dalam tarikh
memandangi ruang tetapi mencoba
menggapai langit, terkenang pada nuansa
hujan beriringan tawa namun terlilit duka
di kesempitan cerita, aku masih menata
di seperempat abad hati ini mendaki cita
hingga pada tikungan kata, nyaris cinta
adalah buah dari perjalanan, kupetik tiga
ranum semuanya, begitulah kiranya
seusai menulis puisi ini
izinkan aku bersujud tanpa tapi
Bandung, 2024
______
Penulis
Muh. Husen Arifin, aktif sebagai Tenaga Pengajar di Kota Bandung, Buku puisinya, Kolam Koalisi (2024), Pangandaran Kopi Perjalanan (2023).