Friday, November 22, 2024

Puisi-Puisi Christya Dewi Eka

Puisi Christya Dewi Eka




Di Mana Mila


demi mencari mila, 

saya mengukur trotoar batavia yang mengelupas, 

berlindung di bawah bayang-bayang tembok gedung societet, 

mencari sesiapa yang barangkali tahu


kutanyakan nyonya warner di vila berpilar weltevreden, 

bersandar anggun seperti ratu wilhelmina meski tanpa singgasana, 

tangannya seharum nilam, 

menjawab sehalus gesekan palem:

“mila sekarang karang di sunda kelapa, 

memendam dendam, tenggelam, 

barangkali tuan berkenan menolong?”


kutanyakan nona lenka di gedung dansa molenvliet, 

seorang sosialita pandai bicara, 

genit memainkan manset berenda ungu, 

rok satinnya berkibar seperti layar kapal, 

mengedipkan bulu mata sepanjang unta gurun:

“mila ada di mataku, 

carilah dalam-dalam, 

seberapa lama tuan sanggup, 

saya sabar tak berkedip.”


kutanyakan tuan de zwarts di kantor gubernur jendral, 

ia kaku mengawasi inlander dan setumpuk daftar pajak, 

konon menaruh hati pada mila:

“mila adalah duri yang sudah kutebas, 

silakan tuan periksa di penjara bawah tanah,

atau gereja kali besar, 

jika nihil, 

tak mustahil ada di surga atau neraka!”


mila, 

asap opium yang hilang, 

salju semusim yang leleh, 

meski secuil informasi, 

saya tunggu di depan gedung dekat pohon aren, 

satu mila seratus gulden,

secepatnya!


Semarang, 3 Agustus 2024



Tanggapan Louise tentang Mila


kau mencari bayang mila, 

atau hanya namanya yang berbau karbol panggung drama, 

atau jejaknya yang menyatu dengan lumpur pelabuhan, 

atau cintanya yang dibawa pergi pelaut nederland? 


terlambat, tuan, 

mila menyelinap di antara peti rempah, 

berbaur di antara bau kopi dan lada, 

barangkali sebentar lagi ia lepas dari laut utara, 

menuju ciuman angin empat musim


ia adalah mestizo yang harus dilupakan, 

pahitnya terus menempel di dada, 

sepahit mimpi inlander tentang kemerdekaan, 

seperti burung urban liar memburu kebebasan, 

tak betah di kamar porselen, 

pasti kembali ke kawanannya, menerobos batas langit, 

aku, juga tuan, lebih baik, 

tak kenal mila


Semarang, 21 Agustus 2024



Seseorang Melihat Mila


di hotel berdinding putih, 

kulihat sekelebat noni menaiki tangga, 

bertopi anyam, 

bergaun putih seringan awan, 

menunduk membaca daun gugur, 

terpasung pada takdir kolonial,

matanya mengurai hidup-mati, 

pelayaran panjang menyapu sejuta badai


ia menghitung kelopak bunga, 

s a t u s a t u, 

lantas ge me tar ketika kelopak terakhir gu gur, 

perlahan, 

menjelma bangau yang tak pandai berkicau,

masuk ke dalam lukisan berpigura bujur sangkar, 

kembali ke langit yang akhirnya ditemukan: dinding galeri, 

seperti kapal kembali pada bunda laut, 

seperti bayi kembali ke dada ibu


lonceng gereja di bukit tenggara berdentang, 

matahari pukul lima sore mulai berkisah, 

tentang majusi yang menemukan palungan, 

tentang domba yang menemukan gembala, 

mila,

lindap di barat, 

jingga segala


Semarang, 25 Agustus 2024



Bila Sua Mila


dus, nyonya, 

bila sua mila, 

katakan saya segera, 

di bawah kaki gubernemen segala kuasa, 

tanah, air, angin, matahari, juga mila,  

tanpa suara sebelum lahir,

mila hanyalah kapal kertas, 

di tengah laju kali ciliwung, 

harus segera dijaring menuju ruang pengakuan dosa, 

memanggul salib kayu,

dicambuk sepanjang jalan pos deandles, 

seharusnya saya sua mila, 

seharusnya


Semarang, 25 Agustus 2024



Klarifikasi Mila 


sayup-sayup angin memanggil namaku,

pulang, pulang, katanya, 

tapi, aku tak punya rumah, 

batavia hanya sangkar, 

yang memelihara nama tanpa wajah, 

aku harus lari, 

berlayar menjauhi lars kompeni, 

menuju ladang tulip di gerbang barat, 

ke peluk nenek berklompen hitam, 

membantu menggembala sapi dan memerah susu,

sekeping ingatan berkisah tentang indis, 

ada mama berkebaya dan bersanggul kecil,

dari dadanya menguar melati bulan retak,

aku tidak lagi sama, 

tubuhku terpecah menjadi roti perjamuan, 

darahku tercurah sebelum penghakiman terakhir, 

serupa camar, 

meski tiap saat berkelindan di laut,

tidak paham mana palung mana gunung


dus, tuan, nyonya, 

mila wychynska segera debu tanpa bayang, 

setidaknya, 

aku punya sejarah baru yang kubentuk dengan,

tanganku sendiri 


Semarang, 23 Agustus 2024


________


Penulis


Christya Dewi Eka, lahir di Jakarta, besar di Bekasi, berdomisili di Semarang, adalah lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Universitas Diponegoro Semarang tahun 2003. Beberapa karyanya dimuat dalam puluhan antologi puisi, media cetak, dan media online, seperti Republika, Klasika Kompas, Suara Merdeka, Radar Pekalongan, Ayo Bandung, Kurung Buka, dll. Karyanya pernah terpilih sebagai 10 cerita humor favorit Writerpreuner Academy (2021), juara 5 lomba cipta puisi Poiesis Publisher (2021), 6 puisi terbaik lomba cipta puisi Negeri Kertas (2022), 15 puisi favorit lomba cipta puisi Perpustakaan Jakarta PDS HB. Jassin (2022), juara 1 lomba cipta flash fiction SIP Publishing (2022), juara 1 lomba cipta cerpen kesehatan mental Sekacil (2022), nominasi 10 puisi terbaik lomba cipta puisi 1 Abad Chairil Anwar Teroka Indonesiana (2022), juara favorit 4 lomba cipta puisi grup FB Yayasan Hari Puisi Indonesia (2023), 11 cerpen terbaik Jagat Sastra Milenia Sastra Media.com (2023), 3 puisi Palestina terbaik Komunitas Seni Kuflet Padang Panjang (2023), dll.

Email: christyadewieka@gmail.com

Facebook: Christya Dewi Eka

Instagram: @christyadewieka2020



Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com