NGEWIYAK.com, BANYUWANGI --Perkembangan sastra saat ini bertumbuh kembang seiring kemajuan teknologi. Hal tersebut tentunya memengaruhi eksistensi sastra ke depan, khususnya sastra pesantren. Fenomena ini direspons oleh HMP Tadris Bahasa Indonesia Universitas Muhtar Syafaat (UIMSYA) Banyuwangi dengan menggelar sarasehan Sastra dari Bilik Pesantren bersama sastrawan nasional Mahwi Air Tawar, budayawan Lesbumi Banyuwangi, Taufiq Wr Hidayat, dan akademisi UIMSYA, Asngadi Rofiq pada Senin, 1 Desember 2024.
Diskusi Sastra dari Bilik Pesantren bekerja sama dengan Lesbumi PCNU Jember dan Lesbumi PCNU Banyuwangi dibuka dengan sambutan dari Lutfi Wahid, M.Pd. Dalam sambutannya, Lutfi Wahid yang juga Wakil Dekan III Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, menyampaikan pentingnya memahami sastra sebagai bagian integral dari pendidikan di pesantren.
“Sastra tidak hanya berfungsi sebagai karya seni, tetapi juga sebagai alat untuk memahami nilai-nilai kehidupan dan spiritualitas. Melalui sastra, kita bisa menggali banyak pelajaran tentang kehidupan, budaya, dan agama,” ujarnya.
Lutfi juga menekankan bahwa acara seperti ini merupakan bentuk upaya untuk mengintegrasikan pengetahuan sastra dengan kehidupan pesantren yang memiliki warisan budaya kaya dan mendalam.
Sementara itu, dalam sambutan kedua, disampaikan oleh Kepala Program Studi Tadris Bahasa Indonesia, Ali Manshur, M.Pd. Wakil Dekan itu juga mengungkapkan pentingnya pengembangan sastra bagi para mahasiswa, terutama dalam konteks pesantren yang memiliki ciri khas tersendiri dalam memahami dan mengapresiasi karya sastra.
“Pesantren bukan hanya tempat untuk mengajarkan ilmu agama, tetapi juga tempat untuk menciptakan karya-karya sastra yang memiliki nilai estetik dan spiritual. Melalui kegiatan ini, kami berharap mahasiswa dan peserta dapat lebih memahami keterkaitan antara sastra dan pesantren,” terang Ali.
Taufiq Wr. Hidayat dan Mahwi Air Tawar dalam bahasannya menyampaikan peran penting nadzam dalam pesantren sebagai bagian dari karya sastra yang harus dihafalkan. Dalam pandangannya, nadzam bukan hanya sekadar bacaan, tetapi sebuah karya sastra yang memiliki nilai-nilai estetika yang harus dihargai.
“Dalam nadzam pesantren, ada sastra, ada nada, dan ada irama yang harus dihormati. Ini adalah bagian dari budaya yang harus kita jaga dan kembangkan. Sastra pesantren memiliki kekuatan untuk mendidik dan membentuk karakter masyarakat melalui kata-kata yang penuh makna," jelas Taufiq.
Narasumber kedua, Asngadi Rofiq, dosen UIMSYA Blokagung menyampaikan perspektifnya tentang pentingnya membaca sebelum menulis.
“Sebelum menulis, langkah pertama yang harus dilakukan adalah membaca. Membaca tidak hanya memperluas wawasan, tetapi juga membantu membentuk gaya bahasa yang baik dan benar. Menulis tanpa banyak membaca akan menghasilkan karya yang lemah dan kurang berbobot,” ujar Asngadi.
Asngadi juga mendorong para peserta untuk terus membaca berbagai jenis karya sastra agar dapat menulis dengan lebih kreatif dan bermakna. Ia menekankan bahwa kegiatan membaca dan menulis harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi calon penulis.
Kegiatan diskusi bertajuk 'Sastra dari Bilik Pesantren" diakhiri dengan sesi tanya jawab dan pembacaan puisi. Banyak peserta yang mengungkapkan rasa terima kasih dan kegembiraan mereka mengikuti acara ini.
“Kegiatan seperti ini sangat menarik untuk kami yang ingin belajar menjadi penulis. Kami bisa melihat langsung bagaimana sastra berinteraksi dengan pesantren, serta mendapatkan wawasan baru tentang bagaimana cara menulis yang baik dan benar,” ujar Diah, mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia.
Para peserta juga mengaku merasa lebih termotivasi untuk terus mengembangkan diri sebagai penulis dan mengapresiasi karya sastra, baik di dunia pesantren maupun di luar pesantren.
(Redaksi)