Cerpen Imaf M Liwa
00.00 WIB.
Bulan tampak gondrong di balik pelepah kelapa yang papa, bidik mata Sardi sambil berucap, ''Barangkali lupa nyisir". Bibirnya nyinyir sambil lalu. Sementara rekannya, Jafar masih sibuk menggali harap, mengetuk-ngetuk retakan gili kali, sesekali menggaruk rambut gondrong yang belakangan tak disampo. Bukan karena pabrik sampo tak produksi, tapi tak ada setetes pun guna membilasnya.
Bulan sekarang tampak pelontos dibidik Sardi sambil ngecap ''Bosan gondrong?'' Berat suaranya dengan kepulan asap tembakau lintingnya. Rekannya, Jafar masih terus meraba harap pada gili kali yang beraroma bacin, dengan bangkai plastik dan pembalut serta pampers kuning yang tersangkut kayu-kayu lancip, mengacung di tengah kali yang mengering.
Bulan menyusup pada mega sisa pembakaran cerobong pabrik dan asap knalpot, bidik Sardi sambil menjerit.
''SETAAAAN!” kejutnya buat Jafar tunggang langgang terobos semak akas dan garing.
''Bukan setan yang setan, tapi laku mereka yang setaaan!'' teriak Sardi sambil bidik pantat rekannya yang gembal-gembol tanggung terbirit, menghilang di kegelapan.
***
“Sar, Bapak kemarin jadi bertemu dengan Pak Mugi. Bapak sudah teken, langsung dibayar kontan!”
Sardi teringat obrolan sore tadi bersama bapaknya. Sawah yang selama ini ia urusi, akhirnya jadi dijual kepada Pak Mugi. Pak Mugi memang gemar membeli sawah di kampung ini. Hampir semua warga yang menjual sawah kepadanya lantaran kepepet dan mentok karena sawah yang mereka miliki selalu gagal panen akibat kurang pasokan air.
“Ya sudah Pak, lagian sawah itu milik Bapak.”
Kali ini Sardi mengalah, meskipun nadanya terdengar kecewa. Sebelumnya Sardi memang sering ngotot agar sawah tersebut jangan dijual. Sawah tersebut satu-satunya mata pencaharian yang ia dan keluarganya miliki. Tiga hari sebelumnya memang bapaknya sedikit keras dalam perdebatan waktu itu.
“Setengah uang hasil penjualan akan Bapak belikan motor agar adikmu berehenti ngerengek! Sekalian motornya nanti bisa kamu pakai ngojek di pangkalan dekat pabrik sana!”
Semenjak itu Sardi tak bicara dengan bapaknya. Baru sore tadi mereka cair kembali meskipun hasil obrolan tersebut masih mengganjal dalam diri Sardi.
***
03.42 WIB.
Sardi menangkap isyarat dari omel sekawanan burung terwokwok penanda subuh akan segera tiba. Suaranya saling bersahut mengambang di atas hamparan sawah yang kerontang. Hampir dua tahun sawah-sawah itu tak ditanami, hanya ada plang besi karatan bertulis TANAH INI MILIK PERUSAHAAN menjulang kaku di antara belukar dan sulur yang mengering dan mati. Di seberang plang itu terlihat kepulan asap tipis yang terus berembus.
Semalaman Sardi menghabiskan waktu dengan membaringkan tubuhnya di atas sisa tebangan pohon yang lapuk. Lelaki berusia 30-an ini menghadap langit dan bergulat dengan layang mimpi bangunnya sembari tak putus bako lintingnya berasap. Sesekali terbatuk dan meludah, lalu menyeruput mug besar yang berada di sebelahnya. Ia sengaja mencengkal matanya dengan kopi hitam seanyep gigil angin, karena subuh ini ia punya tujuan, tak ingin ketinggalan atau tak mau berada di ujung barisan.
***
04.15 WIB.
Terlihat samar lampu-lampu senter menyorot di kejauhan, bergerak dari berbagai arah bersama derap dan gegas langkah. Setiap subuh sebelum matahari menyeringai memang warga di kampung ini berbondong-bondong untuk mengantre sambil membawa ember, jeriken, ataupun penampung lainnya. Tidak terkecuali Sardi yang sedari malam menunggu air menyumber pada liang hasil galian bersama beberapa warga di gili kali. Sardi tak pernah tertinggal barisan, selalu terdepan.
Subuh itu di tengah antrean menyelip bincang, ''Kang, saya dengar nanti ada bantuan air bersih dari pabrik (nama pabrik disamarkan)”.
Seseorang melempar cibir, ''Bantuan air!? Enak saja, pabrik itu mau jadi pahlawan? Gayanya mau jadi pahlawan. Pahlawan kesorean?'' amuknya sambil mempreteli daki sisa keringat kegerahan.
“Kok pahlawan kesorean Kang?” tanya seseorang yang berda di depannya.
“Jelas kesoreanlah! Seolah-olah pabrik itu pahlawan di tengah kegersangan dengan membawa air segar tangki kalengan,” mulutnya menyambar sambil membalikkan ember besar yang ia bawa, lalu duduk di atasnya.
“Maksudnya, Kang?” seseorang menimpali dari arah belakang.
“Kita semua tahu, dulu sebelum kekeringan, air kali kita ini busuk dan mengakibatkan gatal-gatal di busiknya kulit kita karena limbah pabrik itu! Sekarang ketika semua serbagaring karena kemarau, seolah-olah dia superhero dengan senjata pistol air besarnya!'' ia meludah.
“Terus kita harus bagaimana Kang?'' seseorang yang lainnya menyahut.
''Kalau saya lebih baik mengantre dan ditumpuki daki daripada terima bantuan dari pahlawan palsu itu!'' tandas menjawab, dan antrean pun memanjang sepanjang bincang warga.
***
Bulan mengapung di kedalaman sumur, bidik mata Sardi. Lalu ia pun mulai mengulur tali timbanya.
''Lebih dalam impen-impen mata air mata.''
Bulan sekarang menghilang, gelap masih menunggu matahari menyala.
________
Penulis
Imaf M Liwa, berdomisili di Kota Serang, Banten. Bergiat di Komunitas Kembali sebagai penulis naskah dan sutradara pertunjukan teater. Beberapa karya yang ditulis dan disutradarai antara lain “ID” (2016), “KITA (Selamanya Akan Terlibat Adu Jotos Sementara Aku dan Kamu yang Mati)” (2017), “Tebah Tabuh Tabah” (2017), “Mundingan” (2018), Antologi Puisi 155 Penulis dari 3 Benua, 4 Negara, Kunanti Kau di Sudut Senja (Titik Embun, 2018), “Resiprokal” (nominasi naskah terbaik FESTAMASIO 9 Medan, 2019), “Adang” (2021), Monolog “Guceng” (Majalah Sastra Kandaga, 2021), dll. Instagram: @imafmliwa.