Friday, December 27, 2024

Cerpen Ken Hanggara | Dua Hari Sebelum Kapal Berangkat

Cerpen Ken Hanggara



"Kami tidak akan ke mana-mana. Di sini kami lahir. Di sini pula kami dibesarkan, bertumbuh, menjadi dewasa, sebelum kemudian mati. Kami dilahirkan dan dikubur di tanah yang sama. Begitulah tradisi semestinya terjaga," tutur Ali Samara tanpa tersirat sepetik pun kesedihan di wajahnya.


"Kau tidak perlu berpikir sejauh itu. Kau sangat muda, Nak. Kau bisa berkelana ke negeri jauh sebagaimana kawan-kawan bermainmu di sini," balas Kapten Tano.


"Tidak, Kapten. Orang-orang mungkin ditakdirkan memiliki sayap yang kuat dan besar di punggungnya. Namun, tidak dengan saya. Keluarga kami hanyalah orang-orang yang dihadirkan ke dunia untuk menjaga tanah ini."


"Bagaimana kalau kau mencoba pergi denganku? Dua atau tiga tahun? Lalu, tentu kita akan kembali kemari." Kapten Tano terlihat tak puas akan kepasrahan dan ketulusan Ali Samara. Menurutnya, pemuda seberbakat itu harus berkelana ke tempat-tempat jauh, mengumpulkan makna hidup untuk masa depan yang lebih baik.


"Sayangnya, saya lagi-lagi harus menolak. Dua atau tiga tahun terlalu lama untuk meninggalkan tanah kami tanpa dijaga. Orang tua dan para leluhur akan bersedih. Tidak ada yang merawat dan menjaga mereka. Sudah menjadi tugas saya untuk tetap di sini."


Kapten Tano menghela napas panjang mendengar keteguhan Ali Samara. Ia hanya tak habis pikir; bagaimana mungkin pemuda cerdas, gagah, rupawan, serta didambakan oleh banyak wanita itu memilih untuk bertahan dalam tempurungnya di sini?


Ya, sang kapten tak lebih hanya melihat gubuk tua dan reyot peninggalan keluarga Samara itu sebagai tempurung; sesuatu yang menutupi dan mengurung para penerusnya untuk tidak berkembang dan menemukan jati diri serta masa depan yang penuh kejutan. Di gubuk itulah tradisi tersebut diwariskan turun-temurun dari nenek moyang Samara, dan kini si pemuda yang mendapat giliran. Ia harus menjaga tanah leluhurnya, yang kini hanya berupa gubuk dengan halaman berhiaskan batu-batu nisan.


"Baiklah kalau begitu maumu," ucap Kapten Tano setelah terdiam beberapa saat. "Jika kau berubah pikiran, aku belum akan berangkat sampai besok lusa. Mungkin kau perlu waktu berpikir."


"Sekali lagi terima kasih, Kapten. Saya tak tahu harus membalas kebaikan Kapten Tano dengan apa," kata Ali Samara seraya berjalan mengikuti Sang Kapten ke ambang pintu gubuknya.


Kapten Tano, begitu menginjakkan kaki di halaman rumah keluarga Samara, untuk sejenak ia berhenti, memandangi batu-batu nisan di sekitar. "Kau tak perlu berterima kasih, Nak. Aku tidak memberi apa-apa."


"Kapten menawariku kesempatan dan itu suatu kebaikan di mata saya. Tapi, maaf. Sulit bagi saya mengubah apa yang telah digariskan."


Tidak ada suara dari mulut Kapten Tano yang kelu. Ia ingin meluapkan amarahnya, membentak Ali Samara, memaksa pemuda itu untuk berpikir jernih. Sebab, seperti yang semua orang tahu; tidak ada apa-apa di sini.


"Kau hanya menemani batu-batu nisan yang tak akan memberimu kehidupan! Kau ingin membusuk sendirian, sementara kawan-kawanmu meraih segalanya di luar sana?!" Serasa sang kapten ingin meluapkan ini ke Ali Samara.


Namun, demi menghormati orang tua si pemuda yang juga ia kenal, Kapten Tano tidak mau berkata-kata kasar. Ya, tentu Ali Samara tidak sendiri di gubuknya. Masih ada kedua orang tua yang mesti ia rawat. Bagaimanapun mereka memang harus dijaga. Batu-batu nisan itu tak perlu dijaga. Maka dari itu Kapten Tano punya pemikiran lain. Orang tua Ali Samara bisa mereka bawa dalam perjalanan menjelajah samudra untuk pergi ke negeri-negeri seberang. Bila cuma kedua orang tuanya yang membuat Ali Samara harus tertahan, sang kapten tidak keberatan membawa tiga orang ini sekaligus di kapalnya.


"Baiklah, Nak," ucap Kapten Tano sebelum benar-benar pergi. "Masih dua hari lagi. Terlalu cepat kau putuskan sekarang, meski tentu aku tidak akan memaksa apa pun nanti keputusanmu. Sebelum kapalku berangkat, kita bicara lagi."


"Baik, Kapten."


Maka, sang kapten pun pergi. Ia langsung menuju kapalnya, di mana di sana malam ini kawan-kawan bermain Ali Samara tengah sibuk memilih kamar masing-masing. Ya, selain Ali Samara, ada beberapa pemuda berbakat lain yang juga diajak oleh sang kapten. Mereka punya mimpi setinggi nirwana; sesuatu yang sebelumnya terasa sangat mewah, sangat jauh, terlalu utopis, karena bahkan pulau mereka adalah pulau terpencil, terletak di garis terjauh dari pusat negeri. Hanya dengan menumpang kapal Kapten Tano-lah, para pemuda mendapat peluang untuk memperbaiki nasib.


"Tak ada apa-apa yang bisa dikerjakan di pulau ini selain mencari ikan untuk dapur sendiri," ucap salah seorang pemuda. "Kapten Tano, juga mendiang ayahnya, dan tentu mendiang kakeknya, adalah pahlawan tanpa tanda jasa bagi kita. Hanya melalui mereka, kita bisa terbang ke tempat-tempat yang menakjubkan di ujung dunia."


"Bertahun-tahun tradisi itu tidak pernah berubah," pungkas Kapten Tano, yang kini telah kembali ke kapalnya, mendengar obrolan para pemuda itu. "Dan bertahun-tahun itu pula keluarga Samara tetap berpegang teguh pada pendiriannya."


"Oh, jadi Kapten gagal mengajak Ali Samara?" sahut salah satu pemuda.


"Dua hari lagi baru kapalku akan berangkat. Masih ada waktu," balas sang Kapten.


"Sungguh sia-sia yang Kapten lakukan," celetuk pemuda lain yang turut bergabung dalam obrolan itu. "Ali Samara tak akan pergi. Dan akan selalu begitu. Seperti ayahnya dahulu, juga kakeknya. Tidak seperti keluarga kami yang setidaknya satu atau dua anak lelakinya mau diajak berkelana oleh Kapten."


"Aku tak mengerti kenapa batu-batu nisan itu begitu berarti bagi mereka. Tidak ada hal lain seberharga masa depan dalam hidup. Dan anak itu memilih merelakan peluang yang kutawarkan," gumam Kapten Tano.


"Mereka keluarga yang kami hormati, Kapten. Tapi, kami juga tak mengerti alasan kenapa mereka harus menjaga tanah dan makam leluhur sampai seserius itu. Andai kami punya sedikit penjelasan," tukas salah satu pemuda itu.


Kapten Tano tak mengeluhkan soal Ali Samara lagi. Ia kembali ke kamar lalu tidur malam itu. Ia tetap akan kembali ke gubuk keluarga Samara besok, juga besoknya lagi. Sebelum kapal angkat sauh, masih ada waktu untuk membujuknya.


Namun, seperti yang sudah bisa diduga, besoknya sekali lagi Kapten Tano menelan kegagalan yang sama. Kali itu ia tidak bisa lebih lama dari terakhir kali menginjakkan kaki di gubuk keluarga Samara, sebab orang tua Ali turut menyambutnya selaiknya tamu. Mereka malah menyuguhkan makanan dan minuman untuknya.


"Tak perlu repot-repot. Saya ke sini hanya bicara sebentar," kata sang kapten.


"Kami tak mau menghalangi anak kami untuk pergi," ujar sang ayah. "Namun, ya, keputusan ada di tangan Ali. Kapten telah mendengarnya."


Kapten Tano terkejut akan ucapan ayah si pemuda. "Maksud Anda...?"


"Ya, Kapten. Kami memberi restu untuknya pergi," sahut sang ibu, tersenyum pahit. "Namun, tetap saja Ali Samara ingin tetap di sini."


Pemuda itu menyahut, "Tempat ini sangat berarti untuk keluarga kami, Kapten. Tak ada yang bisa saya lakukan selain menjaganya. Sungguh, ayah dan ibu saya memaksa saya untuk pergi juga setelah semalam mendengar obrolan kita."


Kapten Tano tak bisa berkata-kata.


"Namun, seperti yang sudah disampaikan oleh Ayah dan Ibu, saya mau untuk tetap di sini. Masih ada kehidupan di pulau ini. Kami tak kekurangan makanan. Tubuh saya juga cukup kuat untuk bekerja mencari ikan dan buah-buahan. Kami berkecukupan di sini, Kapten."


Hanya saja bagi Kapten Tano, sebelum kapalnya berlayar, bagaimanapun ia masih akan tetap membujuk Ali Samara. Apalagi kini ia tahu kedua orang tuanya memberinya restu.


"Mereka pasti akan bahagia jika bisa keluar dari pulau ini," pikir sang kapten dalam usahanya untuk melelapkan diri malam itu.


Esoknya, pagi-pagi buta, Kapten Tano memutuskan untuk langsung menyambangi gubuk keluarga Samara, mengabaikan seluruh urusan pribadinya terkait dokumen serta catatan pelayaran yang harus ia periksa. Dengan penuh semangat dan strategi yang baru, dia percaya kali ini Ali Samara akan sudi pergi dengannya. Ya, tentu, ia akan meminta terlebih dahulu agar ayah dan ibu pemuda itu mau pergi berlayar di kapalnya. Sehingga dengan begitu, Ali Samara pun akan mau pergi juga.


Hanya saja, apa yang tersaji di depan mata sang kapten jauh dari perkiraan paling gila sekalipun. Begitu ia berdiri di depan pagar tanah keluarga Samara, ia melihat orang-orang berduyun-duyun memasuki gubuk reyot itu.


"Permisi, Pak, ada apa? Kenapa orang-orang desa ke tempat keluarga Ali Samara?" tanya sang kapten ke seorang warga.


"Subuh tadi kedua orang tuanya meninggal, Kapten. Sangat disayangkan. Padahal, mereka orang-orang baik."


"Apa?"


"Ya, sudah lama mereka sakit, Kapten. Dan subuh tadi mungkin memang takdirnya untuk mereka pergi bersama."


Kapten Tano sontak menerobos kerumunan di depan gubuk keluarga Samara. Dia melihat Ali Samara menangis sesenggukan di depan jasad kedua orang tuanya. Tak ada yang bisa mengajaknya bicara atau apa; mereka biarkan pemuda itu melalui dukanya, sementara orang-orang desa sibuk mempersiapkan upacara pemakaman.


Tentu sang kapten menahan diri untuk tak mengusik pemuda itu. Kapten Tano tak bisa mendekat, namun tak pula bisa kembali ke kapalnya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sesuatu yang terasa pedih tapi tanpa setetes pun darah ia keluarkan. Maka ia hanya berdiri di sudut ruangan, bersama orang-orang lain, entah menunggu apa. Kapten Tano bahkan tak tahu harus bilang apa bilamana nanti Ali Samara mengajaknya bicara.


Tepat usai matahari bertengger di atas kepala, si pemuda menyadari ada Kapten Tano di gubuknya. Ketika itu tangisnya mengering. Ia berdiri, berjalan ke sudut ruang. Orang-orang membuka jalan seperti paham betul situasinya. Mereka meninggalkan sang kapten dan pemuda itu berdua di dalam gubuk.


"Tak bisa, Kapten. Terlebih setelah mereka tiada, batu-batu nisan mereka masihlah baru. Dan selamanya saya akan tetap di sini," kata Ali Samara tanpa menunggu Kapten Tano membujuknya lagi.


Dan, sang kapten hanya mengangguk lesu sebelum berpaling pergi. 


Ngoro, 6 Desember 2024


________

Penulis


Ken Hanggara, lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, puisi, novel, esai, dan skenario sejak 2012. Karyanya tersebar di berbagai media tanah air. Buku yang ia tulis: Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), Buku Panduan Mati (2022), dan Pengetahuan Baru Umat Manusia (2024). Bisa dijumpai di FB 'Ken Hanggara' dan IG @kenhanggara.


Kirim naskah ke

redaksingewiyak@gmail.com