Friday, December 20, 2024

Cerpen Sigit Candra Lesmana | Warung Hongxin

Cerpen Sigit Candra Lesmana



Aroma bawang putih dan aneka rempah langsung membelai indra penciuman siapa saja yang masuk ke warung ini. Asap putih yang muncul dari wajan-wajan besar memenuhi ruangan yang tak terlalu besar. Suara semburan api yang memanaskan bokong wajan hingga tampak merah terdengar cukup nyaring. Katanya, rahasia nasi goreng lezat terletak pada kepulenan nasi yang pas dan teknik pengapian yang digunakan. Bumbu apa pun yang digunakan, jika nasi kurang pulen atau malah terlalu lembek dan teknik pengapiannya tidak tepat, nasi goreng tidak akan mengeluarkan kelezatan sejatinya.


Ini kali ketiga aku berkunjung ke warung nasi goreng ini. Ruangannya tak terlalu besar. Hanya ada enam meja panjang dan tiga pasang kursi di setiap mejanya. Bagian dapur terletak di belakang, tersekat oleh tembok setinggi dada orang dewasa sehingga pembeli masih bisa melihat para juru masak bekerja.


Sebuah tulisan “2JSS=M” berwarna merah yang tertempel di tembok itu selalu menarik perhatianku ketika mengunjungi warung ini. Aku tak mengerti apa maknanya. Mungkin semacam sandi rahasia atau mungkin hanya goresan iseng. Entahlah, aku tak mau repot-repot menanyakannya.


Warung ini berdiri di atas bekas sebuah toko tua yang konon memiliki sejarah kelam dan angker. Warga sekitar menyebutnya Toko Merah. Diberi nama begitu karena pada suatu masa di tahun 90-an, lantai dan dinding toko ini berwarna merah. Warna merah itu berasal dari cipratan darah korban pembantaian yang hampir seluruhnya adalah warga peranakan Cina. Setidaknya begitu cerita yang pernah kudengar.


Nasi Goreng Jantung Super Spesial menjadi incaranku kali ini. Nasi Goreng Super Spesial tak tercantum dalam menu, tetapi salah seorang teman membisikkannya beberapa waktu yang lalu, saat dia tahu aku langganan di warung itu.


“Tapi, jangan pesan menu itu lebih dari sekali,” katanya berbisik pelan di telinga kananku.


“Kenapa?”


“Berbahaya, kasihan juga pelayannya,” ucapnya sambil tersenyum. Anehnya, senyumannya kala itu sama sekali tak menyenangkan dan tak seperti biasanya.


“Pesan apa, Tuan?” Seorang pelayan berperawakan tinggi kurus dengan rambut pendek keriting mendekatiku.


“Nasi Goreng Jantung Super Spesialnya satu, ya,” ucapku agak kencang.


Semua mata langsung tertuju kepadaku. Para juru masak, para pelayan, hingga semua tamu menatap ke arahku dengan tatapan yang aneh. Pelayan di depanku kemudian terlihat tidak nyaman dan gugup. Berbeda dengan sikap sebelumnya yang santai dan terkesan ceria.


“Benar mau pesan menu itu, Tuan, atau diganti dengan menu lain?” ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar. “Saya bisa memberikan beberapa rekomendasi menu lainnya.”


“Riiiiin!” Sebuah suara muncul dan menghentikan pelayan itu yang sedang membuka lembaran buku menu.


Pelayan itu tercekat, lalu menoleh dengan leher yang sangat kaku. Dia ketakutan menatap ke arah sumber suara. Aku juga menoleh ke arah sumber suara itu. Terlihat seorang lelaki tua dengan rambut dan janggut pendek yang berwarna putih sepenuhnya. Dia memakai baju merah. Aku belum pernah melihatnya pada dua kunjungan sebelumnya.


Dengan langkah gugup dan pasrah, sang pelayan pergi menemui pria itu. Mereka kemudian seperti membicarakan sesuatu. Namun, karena terlalu jauh, aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Sepertinya mereka sedikit bersitegang. Mereka kemudian pergi menuju sebuah ruangan melalui sebuah pintu yang hanya ditutupi kain kelambu berwarna kuning. Kelambu bermotif aksara Cina atau Jepang di bagian tengah berwarna emas yang entah apa bunyi tulisan dan maknanya.


Beberapa waktu berselang, pria tua berbaju merah itu kembali dengan membawa sebuah bungkusan kresek hitam. Dia memberikannya kepada salah satu juru masak. Aku tak melihat pelayan tadi kembali bersamanya. Tampak dengan sigap juru masak itu mengolah bahan dari bungkusan kresek berwarna hitam itu. 


Sekitar sepuluh menit, pesananku datang. Kali ini diantarkan oleh seorang pelayan perempuan dengan rambut panjang hitam yang dikepang dua. 


“Silakan, Tuan,” ucapnya sembari meletakkan sepiring nasi goreng yang masih mengepulkan asap.


“Terima kasih.”


Nasi goreng ini memang tampak berbeda dari menu nasi goreng yang sudah pernah kupesan sebelumnya. Nasinya terlihat lebih merah daripada biasanya. Aku pun yakin, warna merah ini bukan berasal dari saus tomat botol murahan seharga Rp7.500 yang biasa dipakai di warung nasi goreng kaki lima. Warna merahnya benar-benar berbeda dan benar-benar menggoda indra penglihatanku.


Nasi goreng ini dilengkapi dengan potongan daging jeroan yang dipotong dengan ukuran cukup besar. Apalagi, potongan daging jeroan itu cukup melimpah, hingga menutupi setengah bagian dari piring yang cukup besar ini. Aku cukup kaget dengan porsi yang terbilang jumbo bagiku. Seharusnya aku mengajak seorang temanku karena sepertinya akan menjadi pekerjaan yang berat untuk menghabiskan nasi goreng ini seorang diri.


Tercium aroma yang berbeda dari nasi goreng sebelumnya yang pernah aku pesan. Selain bawang putih, merica, dan beberapa bumbu lainnya, samar-samar tercium aroma lain. Indra penciumanku sepertinya mengenal aroma itu. Namun otak tak menemukan apa sebenarnya benda yang memiliki aroma seperti itu sehingga menimbulkan perasaan ngeri sekaligus penasaran. Aroma itu melengkapi perpaduan aroma lain dan membuat nasi goreng ini semakin menggoda.


Kenyal, seperti tekstur jantung ayam, tetapi dalam bentuk yang jauh lebih besar dan berurat. Indra perasaku merasakan bumbu komplet yang kurasa terbuat dari campuran bawang putih, lada, ketumbar, sedikit laos, garam, penyedap rasa, dan sedikit minyak wijen. Namun, ada satu rasa yang mengganggu lidahku. Rasa yang belum pernah kurasakan, terasa sedikit getir dan berlemak.


Perpaduan antara aroma dan rasa yang kompleks itu benar-benar memanjakan hidung dan lidah. Membelai sensor-sensor pencium dan pengecap. Menari bersama dalam sebuah disko penuh rasa. Ini nasi goreng terenak yang pernah kucoba. 


Tak terasa sepiring penuh nasi goreng ludes dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Lidah dan tenggorokanku kemudian terguyur oleh segelas penuh es teh manis yang dengan segera membersihkan rasa jenuh dan berlemak.


Para pelayan dan juru masak menatapku dengan tatapan aneh dan tidak menyenangkan. Aku merasa sedikit terintimidasi. Berbeda dengan pemilik yang duduk di meja kasir. Dia menatapku dengan ramah dan memberikan setruk pembayaran. Tertera jumlah yang cukup besar untuk sepiring nasi goreng dan segelas es teh. Namun, dengan rasa yang luar biasa, aku tidak bisa mengeluh. Bahkan aku rela membayar lebih. 


***


Seorang lelaki berdiri di ujung lorong. Tubuhnya basah kuyup, padahal hari sedang cerah, hanya sedikit berawan. Dada sebelah kirinya bolong dan darah segar terus mengucur dari lubang itu. Dia melangkah dengan terhuyung ke arahku. Semakin lama semakin mendekat, hingga tubuhnya rebah di dada kiriku.


“Kau baik-baik saja?” ucapku sambil menjauhkan tubuhnya yang lengket.


“Kosong,” ucapnya dengan suara parau dan lirih. Nyaris tak terdengar.


“Apa?” Aku penasaran apa maksudnya.


“Kosooong.” Tangan kanannya meraba dada sebelah kirinya.


Lubang di dadanya itu terlihat kosong. Tak ada apa pun selain darah segar yang terus mengalir bersamaan dengan air yang terus mengalir membuat tubuhnya semakin kuyup.


“Mengapa dadamu bolong? apa yang terjadi?” Kutatap wajahnya yang pucat. Kedua bulir matanya lalu memelotot tepat ke arah mataku.


“KAU MEMAKANNYAAA!”


Aku segera terbangun. Telingaku berdengung. Napasku memburu. Seolah yang baru saja terjadi itu nyata. Keringat membasahi kepala dan punggungku. Tanganku masih gemetar. Kulihat jam dinding, masih pukul tiga subuh.


Segelas air segera menepis haus di kerongkongan. Aku masih tak percaya peristiwa barusan hanyalah sebuah mimpi. Terlalu nyata untuk sebuah mimpi. 


Rasanya pernah kutemui pria itu. Mungkin aku mengenalnya, atau setidaknya aku pernah bertemu dengannya sekali. Namun di mana dan kapan, aku sama sekali tak punya gambaran.


***


Suasana warung nasi goreng itu masih sama seperti biasanya. Tak terlalu ramai, tetapi juga tak terlalu sepi. Cocok untuk orang berkepribadian seperti diriku. 


Aku duduk di sebuah kursi dekat jendela yang menghadap langsung ke arah jalan raya. Aku suka posisi ini. Posisi yang memungkinkanku untuk melihat lalu lalang kendaraan dan manusia yang berkejaran dengan waktunya masing-masing.


Aku masih penasaran siapa pria yang berteriak di dalam mimpiku semalam. Wajahnya membekas dalam pikiran.


“Silakan menunya.” seorang pelayan menghampiriku.


Kali ini seorang perempuan berwajah ceria. Berkulit putih cerah dengan rambut sebahu berwarna sepekat malam. Matanya agak sipit dengan bulu yang lentik. Bibirnya tipis, setipis riasannya. Namun, senyumnya menawan. Mataku terpaku pada lengkingan bibirnya beberapa saat.


“Tak perlu pakai menu, saya mau pesan nasi goreng jantung super spesial.”


Wajah cerianya berubah jadi cemas saat aku selesai berbicara. Pucat pasi. Seperti saat pertama aku memesan menu itu, semua pekerja di warung itu langsung berhenti dan menatapku lekat-lekat dengan pandangan yang tak menyenangkan.


“Kami punya menu yang lebih enak, Pak. Kami ada menu nasi goreng seafood dengan bahan-bahan yang segar. Tangkapan hari ini,” ucapnya dengan nada bergetar sambil membolak-balik lembaran buku menu dengan cepat.


“Riiiiin!” teriakan itu terdengar lagi.


Pelayan itu menoleh ke arah dapur. Di sana telah berdiri sang pemilik warung yang menatap si pelayan dengan pandangan yang menusuk. 


“Saya mohon, pesan menu yang lain saja.” suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca.


“Cepat  ke sini!” Pemilik warung itu kembali berteriak.


Gontai pelayan itu menuruti perintah majikannya. Dia masuk ke ruangan sebelah berpintu kain dengan aksara Cina atau Jepang berwarna kuning, sama seperti sebelumnya. 


Setelah beberapa saat sang pemilik kembali keluar dengan membawa sebuah bungkusan kresek berwarna hitam. Bungkusan itu berpindah kepada juru masak. Asap dari penggorengan kemudian mengepul menutupi wajahnya. Di balik samarnya asap, aku bisa melihat bahwa juru masak itu sesekali menatapku dengan tatapan mengancam. Bulu di tengkuk dan kedua lenganku berdiri. Aku punya firasat buruk.  


Menu yang kutunggu-tunggu datang juga. Seperti yang dulu, warna merahnya benar-benar menggoda. Irisan jantungnya besar-besar dan menutupi sebagian besar nasi. Air liurku menetes. Segera sesuap penuh mendarat di lidahku.


Rasanya sama seperti kali pertama aku mencobanya. Rasa nasi goreng paling sedap yang pernah kucoba seumur hidup. Tak ada tandingannya. 


Butir demi butir nasi menari dengan sempurna di dalam mulutku. Tak ada sebutir pun nasi yang tersisa di piring. Semuanya ludes masuk ke lambungku yang berbahagia. 

Namun, di sudut mataku, aku masih bisa merasakan tatapan mengancam juru masak itu. 


***


Seorang perempuan membenamkan wajah pada kedua lututnya di kursi taman. Lampu taman yang bersinar redup dan sesekali berkedip menyinarinya dengan enggan. Lamat-lamat kudengar suara tangisan. Semakin dekat, suara tangisannya semakin menyayat.


“Apa yang terjadi?” tanyaku. Tangisannya berhenti, tetapi dia tak memberikan respons apapun.


“Mengapa kau duduk sendirian di sini malam-malam?” tanyaku sekali lagi.


Perlahan kepalanya terangkat. Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca.


“Kosooong.” Suaranya parau.


“Kosong, apa?”


“Kosooong.” Tangan kanannya meraba dada sebelah diri.


Dadanya kosong. Tak ada apa pun di sana selain sebuah lubang menganga yang terus mengucurkan darah segar.


“Kauuu … Kauu yang memakannyaaa!”


Aku terkejut. Dia melihatku dengan penuh dendam dan kebencian. 


“Selanjutnya giliranmuuu, hahaha!” 


Aku terbangun. Kening dan punggungku basah. Napasku tersenggal. Kupandangi sekitar. Aku berada di kamarku sendiri. Suaranya masih menggema dalam kepala.


Mimpi itu kembali terjadi. Rasanya aku mengenal perempuan di dalam mimpi itu, tetapi tak ada gambaran apa pun.


Kulihat jam dinding masih menunjukkan angka tiga. Masih terlalu pagi untukku terbangun. Kurebahkan diri kembali. Aku segera kembali ke posisi duduk setelah ekor mata menangkap siluet seseorang di samping kananku.


Aku tak bisa melihatnya dengan jelas. Dia mendekat ke arahku.


“Siapa kau?”


Belum usai, sebuah benda tajam menancap ke dada kiriku. Aku ingin berteriak, tetapi mulutku tercekat. Tak sepatah kata pun keluar. Orang itu lalu merobek dan mengeluarkan sesuatu. Benda itu berdenyut-denyut. Dada kiriku terasa kosong dan dingin. Aku telentang tak berdaya.


Tiba-tiba aku teringat siapa wanita yang muncul di mimpiku tadi dan pria yang muncul di mimpiku sebelumnya. Mereka adalah pelayan yang melayaniku di warung nasi goreng itu. Mungkin rasa kosong ini yang mereka rasakan.


Pandanganku mengabur. Sebelum mata tertutup sempurna, aku melihat orang itu mendekatkan bibirnya ke telingaku.


“Sudah kubilang, kan, jangan pesan menu itu lebih dari sekali.”


Jember, 2024


______


Penulis


Sigit Candra Lesmana
, pria kelahiran Jember yang senang menulis cerpen, puisi, dan nonfiksi. Beberapa karyanya termuat di beberapa media.


Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com