Cerpen Yuditeha
Kasbi tak tahu dari mana kebiasaannya merendahkan diri itu muncul. Awalnya ia hanya merasa gugup, takut dikritik, takut dianggap sombong. Lama-lama, kalimat itu jadi semacam mantra yang selalu ia lontarkan. Entah demi meraih simpati atau sekadar menciptakan kontroversi kecil.
Postingan itu langsung dibanjiri komentar. Ada yang memuji, ada yang mencibir. Dan ada satu komentar dari Kama, teman lamanya. Seorang penulis juga yang masih bergelut di dunia fiksi dan sering mengkritik sistem penerbitan media besar. Mereka pernah sama-sama berjuang di awal karier, saling bertukar naskah, saling berbagi kritik. Tapi sekarang, Kama semakin tenggelam dalam dunia yang sunyi, sementara Kasbi sebaliknya, semakin sering muncul di media. Komentar itu menarik perhatian Kasbi: Mungkin cerpenmu diterima karena seperti debu di bawah karpet merah—tak berguna, tapi ada di sana.
Kasbi terdiam. Kata-kata itu menusuk lebih tajam daripada kritik pedas yang pernah ia terima. Lantas, Kasbi membalas komentar itu dengan singkat: Mungkin kamu benar.
Dunia sastra kita seperti pasar malam yang penuh lampu kelap-kelip. Terlalu ramai, terlalu berisik, tapi sesungguhnya tak ada apa-apa selain trik-trik murahan, balas Kama lagi.
Kasbi merenung. Perumpamaan itu menyakitkan, namun ada benarnya. Ia merasa seperti seorang pesulap yang menjual trik-trik murahan, cerita sederhana yang disalahartikan sebagai karya agung.
Malamnya, kata-kata Kama masih terngiang. Ia membolak-balik arsip cerpen lamanya. Membaca kembali cerita-cerita yang ia anggap buruk. Cerpen tentang petani yang menemukan batu ajaib. Cerpen tentang cinta segitiga di desa terpencil. Cerpen tentang perang kecil di pasar tradisional. Semua terasa biasa saja. Apa benar cerita ini buruk? Atau justru terlalu sederhana hingga dianggap simbolik?
Ia ingat suatu ketika redaktur dari sebuah media mengirim email singkat: Cerpenmu seperti teka-teki. Kami suka ketidakpastian ini. Ketidakpastian? Kasbi tidak pernah merencanakan teka-teki apa pun dalam tulisannya. Ia hanya ingin bercerita. Lalu, apa sebenarnya yang mereka baca?
Keesokan harinya, Kasbi bertemu Kama di sebuah warung kopi. Warung yang dulu sering mereka datangi saat masih sama-sama bergelut dengan naskah yang belum pernah dimuat di mana-mana. Kini, situasinya berbeda. Kasbi membawa ponsel yang berisi tangkapan layar cerpen terbaru yang dimuat. Sementara Kama hanya membawa buku catatan lusuh dan sebatang rokok yang tinggal separuh.
“Jadi, apa maksud komentarmu kemarin?” tanya Kasbi, membuka percakapan.
Kama mengembuskan asap rokok, menatap langit-langit warung. Kama tidak langsung menjawab, tapi justru gantian bertanya. “Kamu tahu cerita tentang festival topeng?”
Kasbi mengernyitkan dahi. “Cerita apa?”
“Festival topeng di desa terpencil. Setiap tahun, penduduk memakai topeng dan saling memuji topeng satu sama lain. Semakin jelek topengnya, semakin tinggi pujian yang diberikan. Mereka bilang, topeng jelek itu melambangkan kejujuran. Tapi sebenarnya, mereka hanya takut untuk mengungkap wajah asli mereka.”
Kasbi terdiam. Ia belum pernah mendengar cerita itu, tetapi analogi tersebut menusuk dalam. “Dan cerpen-cerpenku seperti topeng jelek itu?” sahut Kasbi.
Kama tersenyum tipis. “Bisa jadi. Orang-orang memuji bukan karena mereka benar-benar mengerti atau suka. Tapi karena mereka takut dianggap bodoh jika berkata sebaliknya.”
“Jadi, mereka memuji keburukan?”
Kama menggeleng. “Tidak. Keburukan itulah yang dianggap seni. Mereka memuja kebohongan karena lebih mudah daripada menghadapi kenyataan. Mereka hanya putus asa. Dalam dunia sastra yang penuh dengan kebisingan, cerpenmu adalah kebisuan yang dianggap berteriak.”
Kasbi memutar-mutar cangkir kopinya. Kata-kata Kama membuatnya gelisah. Ada kebenaran yang selama ini ia abaikan. Kebohongan itu, mungkin bukan hanya dalam cerpennya. Mungkin, dunia sastra memang penuh topeng-topeng jelek yang dipuja-puja.
“Kamu masih ingat cerpen pertamaku yang dimuat?” tanya Kasbi.
“Yang tentang burung gereja itu?”
Kasbi mengangguk. Cerpen itu bercerita tentang seekor burung gereja yang terbang melintasi kota, melihat kehidupan manusia dari atas. Cerita sederhana, tanpa plot yang rumit, tanpa konflik yang jelas. Tapi entah kenapa, redaktur memujinya habis-habisan. Mereka mengatakan bahwa cerpen itu adalah metafora tentang kehidupan modern. Padahal, Kasbi hanya ingin menulis tentang burung. “Kadang aku berpikir, mereka hanya mencari-cari makna yang sebenarnya tidak ada,” gumam Kasbi.
Kama tertawa kecil. “Dan kamu menikmati itu, bukan?”
Kasbi terdiam. Ia tidak bisa memungkiri bahwa ada rasa puas setiap kali cerpennya dimuat, setiap kali ada orang yang memuji tulisannya. Tapi di balik itu, ada sesuatu yang kosong. Sebuah kebohongan kecil yang terus ia pelihara.
Pada sebuah malam di hari lain, Kasbi duduk di depan laptopnya. Ia membuka folder berisi cerpen-cerpen yang belum pernah dikirim. Cerpen-cerpen yang ia anggap lebih baik daripada cerpen yang sudah dimuat. Cerpen yang memiliki konflik spesifik, plot yang rumit, dan karakter tokoh-tokohnya yang kuat. Tapi entah kenapa, cerpen-cerpen itu selalu ditolak.
Ia memilih salah satu cerpen, berjudul Cermin Retak. Cerpen itu bercerita tentang seorang penulis yang hidup di dunia, di mana kebohongan dianggap lebih berharga daripada kebenaran. Setiap kali ia menulis sesuatu yang jujur, tulisannya ditolak. Tapi ketika ia menulis kebohongan, tulisannya dipuja-puja.
Kasbi membaca ulang cerpen itu. Ada sesuatu yang menyentak di dalam dirinya. Sebuah kesadaran yang selama ini ia abaikan. Mungkin, cerpen itu terlalu dekat dengan kenyataan. Terlalu tajam. Terlalu jujur.
Ia memutuskan mengirim cerpen itu ke media yang sering memuat cerpennya. Tapi di surat pengantarnya kali ini, tanpa ia memberi embel-embel penjelasan terkait cerpen tersebut. Ia hanya ingin melihat, apakah cerpen itu akan diterima. Seminggu kemudian, Kasbi menerima email balasan dari redaksi: Maaf, cerpen Anda belum sesuai dengan kriteria kami. Terima kasih sudah mengirimkan karya Anda.
Kasbi tersenyum pahit. Ia menatap layar laptop, membuka folder cerpen yang sudah dimuat lalu membaca ulang beberapa di antaranya. Cerita-cerita kosong yang dipuja-puja. Kebohongan-kebohongan kecil yang dianggap sebagai karya seni. Ia menutup laptopnya, lalu mengambil buku catatan, membukanya dan menulis sesuatu di sana: Mungkin dunia ini memang lebih suka kebohongan. Dan aku hanya salah satu dari banyak pembohong yang dipuja. Kasbi menatap kalimat itu lama-lama. Lalu ia tertawa. Tertawa yang panjang, namun terasa pahit.
_______
Penulis
Yuditeha, penulis yang tinggal di Karanganyar.
Kirim naskah ke
redaksingewiyak@gmail.com