Esai Ana Herliana
Hari ini tanggal 22 Desember diperingati sebagai "Hari Ibu". Di masyarakat pada umumnya seorang ibu adalah perempuan yang sudah melahirkan dan mempunyai anak. Tetapi tak semua perempuan mempunyai kesempatan untuk mempunyai anak yang lahir dari rahimnya sendiri, saat ini banyak juga yang mengadopsi anak mengurusnya sama seperti anak yang lahir dari darah dagingnya sendiri dengan tulus, maka saya sebut ia juga ibu.
Dalam sejarahnya, terbentuknya "Hari Ibu" diawali pada penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia I pada 22 Desember 1928. Kongres Perempuan Indonesia I diselenggarakan selama empat hari, yakni pada 22--25 Desember 1928, di Gedung Dalem Joyodipuran, Yogyakarta. Dan hari ini diperingati ke-96 tahun perayaan "Hari Ibu" di Indonesia.
Menyandang gelar seorang ibu tidaklah mudah, tanggung jawabnya berat sekali, bahkan dari benih dalam rahim seorang ibu harus memastikan gizi yang memadai untuk calon jabang bayi. Pandangan masyarakat yang masih menganut sistem patriarki, seorang ibu adalah orang pertama yang bertanggung jawab ketika anaknya terjadi apa-apa. Seperti contohnya anaknya sakit, anak terjatuh, atau ketertinggalan tumbuh kembang anak. Padahal anak adalah tanggung jawab orang tua yang di dalamnya terdapat ibu dan ayah.
Menjadi seorang ibu tentunya akan mengalami banyaknya perubahan yang terjadi dalam dirinya. Mulai dari perubahan fisik akibat dari hormon yang berubah dan perubahan mood akibat dari suasana hati dan perubahan mental akibat dari kondisi yang ada di sekelilingnya. Dari semua hal tersebut menjadikan seorang ibu insecure terhadap penampila maupun regulasi emosi yang susah sekali untuk diatur. Oleh karenanya, pentingnya support system dalam keluarga agar perubahan tersebut dapat diterima oleh ibu agar fisik dan mentalnya terjaga dengan baik.
Di zaman sekarang kita dimudahkan mengakses informasi dan komunikasi, termasuk seorang ibu yang kini juga dengan mudah mendapatkan informasi dan komunikasi parenting untuk anaknya agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Namun, terkadang banyaknya informasi yang didapat, baik itu dari internet maupun media sosial, seorang ibu tak percaya diri dengan parenting yang ia terapkan untuk anaknya karena membandingkan tumbuh kembangnya merasa tak sesuai dengan capaian orang lain. Bukan hanya dalam diri seorang ibu yang merasa kurang atas parentingnya, terkadang penilaian orang lain atas asumsi-asumsi maupun komentar-komentar parenting ibu-ibu lain juga membuat seorang ibu merasa serbasalah dan merasa tertinggal.
Dengan segala akses informasi yang seorang ibu dapat dan penilaian orang lain terhadap dirinya. Seorang ibu sudah seharusnya mempunyai kepercayaan diri, kebebasan (merdeka) bahwa parenting yang diterapkan kepada anaknya adalah hal yang sudah baik dan cocok karena seorang ibu yang mengetahui jelas bagaimana anaknya tumbuh dan berkembang. Tak membandingkan diri lagi dengan orang lain untuk pencapaian tumbuh kembang anak. Setiap anak mempunyai proses jalan yang berbeda, serta mempunyai kelebihan, kekurangan, dan keunikannya masing-masing. Yang harus dibandingkan adalah tumbuh kembang anak kita kemarin dan hari ini. Bukan hanya tumbuh kembang anak, sebagai orang tua juga pertumbuhan kita harus ikut berkembang, baik secara fisik agar lebih kuat dan sehat maupun perkembangan ilmu pengetahuan untuk menemani pertumbuhan anak agar sesuai dengan zamannya.
Momen membesarkan dan mendidik anak adalah tanggung jawab orang tua seumur hidup dengan segala konsekuensinya. Perubahan besar seorang ibu dialami saat si kecil new born karena masa penyesuaian dan pertama kalinya mengurus anak. Mulai dari memandikan, meng-ASI-hi, MPASI, memberikan stimulasi untuk anak belajar duduk, merangkak, berjalan, bercakap perkata dan lain sebagainya. Belajar bagaimana memberi, mengolah gizi anak dan pertumbuhan anak agar sesuai dengan grafik umurnya. Dengan segala kesibukkan seorang ibu dalam mengasuh, mengajari, dan mendidik anaknya, hal tersebut harus berbarengan dengan pemenuhan kebutuhan domestik atau urusan rumah tangga, yang saat ini hampir dalam masyarakat Indonesia masih didominasi oleh kaum perempuan khususnya para ibu. Hal inilah yang menjadi kurang maksimalnya seorang ibu dalam menemani tumbuh kembang anak sehingga seorang ibu rentan terhadap strs dan kurangnya waktu untuk mengurus dirinya sendiri.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat sebanyak 11.796 anak menjadi korban kekerasan sepanjang tahun 2024. Jumlah kekerasan pada anak ini tercatat dari 1 Januari hingga 7 September 2024. Dikutip dari laman Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), 11.796 anak menjadi korban kekerasan dari 10.652 kasus. Data menunjukkan bahwa rumah tangga menjadi tempat kejadian tindak kekerasan terbesar, 61,4 persen korban mendapat kekerasan di rumah tangga.
Dari banyaknya kasus di atas menunjukkan lebih dari 50% terjadi dalam rumah. Oleh karena itu, tugas mengasuh dan mendidik anak bukanlah hal yang mudah. Seorang ibu khususnya agar mempunyai kewarasan, fisik serta mental yang sehat agar setiap momen mendampingi anak menjadi menyenangkan.
Momen-momen tersebut memang rumit sekali ketika dijalani seakan menguras energi fisik maupun mental bagi seorang ibu. Namun sebagai orang tua terkhusus seorang ibu, kita sebisa mungkin menikmati momen yang tidak akan terulang kembali, membersamai tumbuh kembang anak dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang yang tulus.
Kehadiran anak adalah berkat Tuhan yang diberikan kepada setiap pasangan yang patut kita syukuri. Karena berkat kehadirannya bisa memberikan warna terhadap kehidupan rumah tangga kita, serta menjadikan kita manusia yang belajar bertanggung jawab atas peran yang diberikan Tuhan. Pikirkan lagi ketika kita jengkel atau saat emosi tak karuan terhadap anak-anak kita. Luruskan lagi tujuan kita mempunyai anak karena mereka hadir atas kemauan kita. Berarti secara kesadaran penuh siap bertanggung jawab atas segala kehidupannya.
Sebuah penelitian dari Institute for Social and Economic Research menemukan bahwa anak- anak yang ibunya bahagia dengan keluarganya merasa lebih puas dengan kehidupan keluarga mereka. Dengan cara apa seorang ibu bahagia, salah satunya adalah dengan cara menghidupkan kembali self love, mencintai diri kita kembali, mempedulikan kembali diri kita seutuhnya. Jika kita saja bisa mengurus suami, anak, dan rumah secara berbarengan, kita juga berhak mengurus diri kita agar menjadi lebih bahagia. Mengurus fisik kita agar tetap bersih, wangi, dan sehat, kesehatan mental juga tak kalah penting agar emosi dan perasaan-perasaan kira terjaga dengan baik. Ketika fisik, mental, hati dan pikiran kita tertata dengan baik damai dan tenang maka seisi rumah pun akan senang.
Selamat "Hari Ibu" untuk diri saya dan untuk seluruh ibu di Indonesia: ibu bahagia, keluarga bahagia.