Esai Heru Anwari
Istilah "Black Friday" sudah saya dengar sejak lima tahun lalu di Australia. Perang diskon dari berbagai brand menjelang akhir tahun bermunculan dari product fashion sampai elektronik. Hari besar ini ditunggu-tunggu banyak orang, bahkan hampir di seluruh dunia. Bagaimana tidak, brand bisa memberikan potongan harga hingga 70%.
Teringat momen sebelum Covid-19 saat perayaan "Black Friday 2019", saya bersama istri ikut memburu produk-produk branded. Sebenarnya saya dan istri terhasut oleh cerita teman-teman yang lebih dahulu tinggal di Melbourne. Mereka ceritakan jika tanggal itu tiba akan ada banyak orang yang sengaja datang lebih awal ke store yang mereka tuju, bahkan sudah duduk di pelataran store sejak jam 5 pagi, hanya untuk memastikan mereka akan mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Pusat perbelanjaan di CBD Melbourne (Central Business Distric/Kawasan Bisnis Pusat) sangat dibanjiri para pengunjung yang bukan hanya datang dari Melbourne saja, melainkan mereka yang datang dari kota lain di Australia. Semua tumpah ke jalanan CBD Melbourne. Di sana kita bisa temukan brand-brand besar hingga luxury brand, seperti Dior, Burberry, Giorgio Armani, Versace, Louis Vuitton, Hermes, Fendi and Bvlgari. Department store seperti DFO (Direct Factory Outlet), H&M, Zara, Uniqlo, dan sebagainya. Jujur pada saat itu saya bersama istri hanya ingin menyaksikan atsmosfer berbelanja di sana karena cerita-cerita yang menghebohkan, yang katanya bisa berebut karena harga sangat murah, bahkan harus antre berjam-jam untuk hanya bisa masuk ke satu store saja.
Memang pada kenyataannya beberapa store harus mengantre. Barisan para pembeli panjang mencapai 100 m. Itu hanya untuk masuk ke satu brand store. Beberapa pusat perbelanjaan besar (department store), juga harus antre seperti seakan-akan untuk masuk ke konser musik Rhoma Irama. Itu semua agar berjalan kondusif. Pengalaman ini baru saya rasakan saat saya tinggal Melbourne. Orang-orang seperti kehausan dan kelaparan terhadap produk-produk yang mereka inginkan.
Ada beberapa memang istilah atau hari besar obral diskon yang biasa kita dengar, seperti "Black Friday", "Boxing Day", "New Year Sale". Namun, yang biasa ditunggu-tunggu adalah "Black Friday" dan "Boxing Day" yang datang menjelang tahun baru dan natal.
Sebenarnya gelombang belanja seperti itu bisa kita saksikan seperti di Indonesia saat datangnya bulan Ramadan menjelang Lebaran. Di negara kita seakan-akan semua orang wajib membeli pakaian baru, jika tidak membeli satu helai pakaian saja, sepertinya tidak sah atau belum sah mengikuti perayaan Lebaran Idulfitri. Begitu juga bagi umat Kristen di Manado. Saat 2018 saya pergi ke Manado, di sana pesta belanja ada di akhir Desember saat perayaan Natal dan Tahun Baru.
Istilah "Black Friday” berasal dari Philadelphia USA pada tahun 1950-an saat petugas polisi setempat menciptakan frasa tersebut untuk menggambarkan turis yang gaduh dan kekacauan yang terjadi sehari setelah thanks giving.
Saya teringat juga di mana pada saat masih 100% fokus dalam bisnis di industri clothing, sekitar tahun 2015 momentum Lebaran, saya bersama tim membuat program “Crazy Sale” di toko Distro Cijawa Kota Serang. Potongan harga diskon sampai 80%. Bagaimana tidak crazy/gila, harga baju yang dibandrol 150 rb, bisa dijual hanya dengan 50 rb.
Konsep penjualan seperti itu dirancang bukan bertujuan untuk menjual produk saja, melainkan membuat gebrakan di kota kecil dengan membuat antrean panjang yang masif dan terstruktur. Iklan sudah digembor-gemborkan satu minggu sebelum tanggal program pelaksanaan "Crazy Sale". Iklan di media sosial, iklan printing yang disebarkan melalui selembaran kertas HVS yang difotokopi, sampai selembaran kertas kecil berukuran A4 dibagi dua, dengan detail harga produk di dalamnnya. Kita menggelar program "Crazy Sale" hanya beberapa jam saja, mulai pukul 8 sampai dengan 10 malam, hanya dua jam. Konsep ini sudah saya lalui, jauh sebelum menyaksikan "Black Friday" di Australia atau Amerika. Sekitar pukul 7 malam sudah berderet anak-anak muda memarkir motornya di trotoar Jalanan Fatah Hasan Cijawa Serang. Entah mereka datang dari mana. Mereka mengantre untuk berebut mendapatkan produk yang sudah kita sediakan di toko.
Dalam beberapa jam, kita berhasil menjual lebih dari 2.000 pcs produk, rata-rata mereka membeli 2-4 potong produk karena harganya yang tidak wajar. Antrean berdesakan sampai harus menutup rolling toko untuk memaksimalkan penjualan di dalam toko karena desakan pembeli dan pelayanan kasir yang harus cepat efektif, belum lagi display ulang dan pencarian stok barang. Semua membutuhkan effort luar biasa. Memang, jika mengingat masa-masa itu sepertinya mudah sekali mendapatkan uang dalam hitungan jam. Mengendalikan masa dan membuat orang terus membeli produk yang kita ciptakan tanpa memikirkan apa dampak buruk bagi lingkungan dan ketidakseimbangan ekosistem bisnis.
Sekitar tahun 2016, saya pernah kena tegur oleh Gazan Azka Ghafara, owner Zanana Chips kripik pisang cokelat asal Bandung. Ia berkata kepada saya, “Coba Mas Heru tonton film dokumenter tentang textile dan cotton di India”. Tak lama usai kata-kata itu, saya menyempatkan mencari dan menyaksikannya. Bagaimana dampak negatif yang dihasilkan akibat fast fashion atau produk cepat jual. Dengan menekan upah buruh dan tidak memikirkan dampak lingkungan atas pertanian cotton, juga limbah pabrik.
Karena minim upah buruh, ada buruh di Bangladesh yang harus terpisah dengan anaknya yang baru berusia dua tahun. Ia harus menempuh jarak dua jam dan empat bulan sekali untuk pulang menengok anaknya karena minim upah dan sulitnya libur kerja. Belum lagi kontruksi bangunan yang tidak diperhatikan oleh manajer perusahaan tempat konveksi karena alasan sedikit profit yang perusahaan dapatkan, sampai berakibat runtuhnya bangunan dan mengakibatkan kematian dan luka-luka karyawan. Kembali lagi karena alasan minim keuntungan, padahal kita bisa lihat, di sana memproduksi brand-brand besar dunia dengan harga jual yang sangat tinggi.
Dampak lingkungan dan pencemaran limbah olahan textile membuat bayi terlahir cacat dan berpenyakit kanker. Pekerja industri tekstil sering terpapar bahan kimia berbahaya seperti asbes, formaldehida, dan pewarna sintetis. Bahan-bahan ini dapat masuk ke dalam tubuh melalui inhalasi atau kontak kulit dan akan berakibat pada penyakit kanker. Hal tersebut yang membuat saya sedikit mempertimbangkan bisnis dalam bidang textile.
Bisa kita saksikan bersama, desawa ini hampir di semua marketplace dan media sosial masih berperang harga jual. Siapa cepat dia dapat. Live 24 jam, menjual dengan harga tidak masuk akal. Di platform market place orange harga bakar uang (hanya 1.000-2.000 rupiah bisa mendapatkan produk), mereka menjual demi target per hari bisa menjual beribu ribu produk. Orderan di perbanyak diskon, dari berbagai sisi ditawarkan, mulai potongan gratis ongkir, COD, dan sebagainya. pembeli dipaksa beli bukan karena kebutuhan tapi dirayu keinginannya. Dipaksa untuk membeli dengan fasilitas yang mudah sampai bayar nanti atau pay latter. Yang digoncang psikologisnya, seakan-akan jika tidak membeli tidak ada waktu lagi atau bahkan akan ketinggalan zaman.
Konsep berjualan era sekarang bukan hanya merusak lingkungan, melainkan juga pasar offline banyak yang gulung tikar karena tidak adanya pembeli offline. Konsumen enggan datang ke pasar dengan alasan di platform online banyak diskon menggiurkan. Bagaimana tidak, pabrik atau home industry dewasa ini melakukan direct selling/penjualan langsung ke konsumen tanpa melibatkan distributor. Itu yang membuat ekonomi di daerah menurun, membuat mati pasar offline. Perputaran ekonomi secara digital berpusat langsung ke perushaan-perusahaan raksasa.
Di Netflix, baru-baru ini bisa kita saksikan film dokumenter “Buy Now” the shopping conspiracy, menceritakan tentang bagaimana brand memanipulasi agar konsumen tetap membeli dan menyia-nyiakan barang yang telah mereka gunakan. Mereka membuat kita terus membeli produk/mengonsumsi, hingga membuang lebih banyak produk karena terkesan ketinggalan zaman atau sudah tidak trend. Perusahaan-perusahaan besar banyak berbohong dan memanipulasi program-program mereka yang seakan-akan menolong lingkungan dan kemanusiaan. Namun, pada kenyataannya 180 derajat berbeda di lapangan. Sampai kepada mereka banyak menyembunyikan dampak-dampak negatif terhadap lingkungan dan ekosistem makhluk di bumi. Mereka mampu mengontrol dan memengaruhi peradaban untuk terus mengonsumsi.
Di negara adidaya saja, dewasa ini sudah banyak orang menyadari dan berubah dalam gaya berkehidupan. Mereka sekarang mempelajari slow living, minimalisme. Mereka mulai sadar jika kehidupannya dikendalikan oleh perusahaan bukan kebutuhan. Jika saya perhatikan di tempat-tempat wisata, saya banyak menemukan orang dari berbagai belahan dunia berpose dengan brand-brand mewah dan mereka menganggap dirinya mewah. Sebenarnya yang mewah produknya atau dirinya? Mereka menganggap dengan memakai produk tersebut, nilai diri mereka meningkat. Sama juga seperti seseorang berpose di tempat iconic, katakan seperti menara Eiffel, atau di tengah perkotaan Time Square, apakah menara dan kota tersebut yang hebat, atau orang yang berpose yang hebat. Di tengah disrupsi media sekarang ini, benar-benar semua sedang diterjang banjir kecemburuan sosial dan gengsi sosial.
Seattle, Jumat, 29 November 2024
___________
Heru Anwari, BMX Freestyler Indonesia. Berkeliling ke berbagai negara bersama sepeda.
Instagram: @heruanwari
heruanwaribmx.com
Kirim naskah ke
redaksingewiiyak@gmail.com