Thursday, December 5, 2024

Esai Heru Anwari | Tak Bahagia di Surga

Esai Heru Anwari



Terlihat tumpukan uang kertas dari berbagai negara di salah satu pojok dinding ruangan Bakery Meals Café di Talkeenta, Alaska. Uang itu sengaja ditempel dan disertakan catatan kaki oleh para pemiliknya untuk menandai bahwa mereka pernah singgah di kafe itu. Saya pun mencari uang rupiah yang masih tersimpan di dalam dompet, saya temukan uang lembaran Rp5.000 dan saya tuliskan catatan beserta tanda tangan. William yang tepat sedang duduk bersebelahan dengan saya, sontak terkaget melihat besarnya pecahan Rp5.000.

“Wow! Bisa mendapatkan apa dengan uang itu?” tanya William kepada saya.

Saya tersenyum sebelum menjawab pertanyaan itu sambil di dalam hati menggerutu, beginilah nasib negara surga, tertipu oleh uang. Malang betul masyarakat yang masih tertipu, kadang-kadang saya pun begitu. 

Saya pun menjawab, “Tak sampai 50 cent nilai uang ini.” Dengan sedikit lantang menegaskan betapa negara saya di bawah mata uang dollar. Uang 50 cent setara dengan Rp7.960,50. Nilainya bahkan lebih besar dari uang lembaran Rp5.000. Jika saja uang ini 5.000 USD, sudah bisa kita tukar dengan dua iphone 16 terbaru setara Rp79.605.000, bahkan satu buah mobil bekas di Indonesia. Itu yang membuat William terkaget melihat pecahan uang sebesar Rp5.000. Tak pernah ia melihat pecahan uang dengan tiga digit nol di belakangnya, dollar us pecahan terbesar adalah $100 USD. 


Pada masa Presiden Sukarno sekitar tahun 1950-an, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika hanya Rp3,80 per dollar Amerika Serikat. Pada tahun 1957 setelah digempur peperangan dan konflik internal, naik mencapai Rp90. Puncaknya ketika terjadi pemberontakan G30S PKI pada tahun 1965, nilai tukar rupiah ke dolar Amerika Serikat semakin anjlok hingga mencapai Rp4.995, nyaris mencapai Rp5.000. Namun yang paling menghancurkan rupiah adalah saat krisis moneter hingga terjadi kekacauan di Jakarta di bulan Januari 1998, nilai tukar rupiah terhadap Amerika Serikat turun hingga Rp14.800, bahkan sampai saat ini nilai tukar rupiah menjadi Rp15.936,25 hampir menyentuh Rp16.000. Pernah menembus Rp16.475 pada Juni 2024. Sangat menyedihkan memang. Namun, beginilah dunia, seperti ditipu oleh dollar. 


“Satu hari saja bekerja di Amerika, sudah setara dengan satu bulan gaji di Indonesia,” ujar saya kepada William. 

Hold on, hold on,” jawab William mencoba ingin lebih mengerti arti kata-kata yang saya ungkapkan kepadanya. 

Saya jelaskan perlahan. Satu hari gaji di Amerika $200 USD setara dengan Rp3.184.519. Begitu juga satu bulan gaji di Amerika rata-rata $5000 USD, setara dengan gaji di Indonesia setahun Rp79.588.675. 

That’s crazy,” ungkap William.

Namun tak berhenti di situ. Saya katakan kepada William—sambil menunjukkan uang—bahwa di sana cukup hanya selembar uang Rp5.000 sudah bisa mendapatkan breakfast di pagi hari, minimal bubur ayam atau nasi uduk dalam bayangan saya. Jadi, untuk biaya makan sebenarnya bisa Rp20.000-Rp50.000 per hari. Kalau diakumulasikan, 1,5 juta per bulan. 

Bahkan saya pernah jelaskan kepada Gene Peterson , director circus performer, obrolan di mobil saat perjalanan tour bahwa saya bisa tinggal di Indonesia tanpa menggunakan uang. Saya jelaskan bahwa segalanya sudah ada dan gratis. Air melimpah, kayu bakar gratis, ikan tinggal memancing di sungai atau danau, sayur-sayuran bisa menanam atau pergi ke kebun orang untuk membantu panen, pasti akan mendapatkan imbalan gratis. Jika tidak menanam pun banyak tumbuh liar, seperti kangkung, ubi, pohon tangkil dan sebagainya. Ayam dan telur pun bisa berternak. Telurnya cukup untuk dimakan sehari-hari. Di Indonesia masih banyak air bersih dan sayuran organik. 


Harga sayuran dan bumbu-bumbu di New York terbilang sangat mahal, satu ikat kangkung saja, 1 kg, setara Rp300.000, ikan bakar satu porsi setara Rp400.000, bumbu organik dan nonorganik harganya dua kali lipat. Contoh jahe atau lengkuas yang sudah dikemas, di New York bisa $3 atau Rp47.000. Di daerah Driggs, Idaho, dengan keterangan organik dibandrol harga $6 atau Rp95.000. Wah, di ”negara surga”, kita semua bisa didapatkan dengan gratis, tumbuh liar di mana-mana, ikan bisa dipancing di sungai-sungai, kangkung di halaman atau pekarangan rumah. Kita pasti tahu 51 tahun lalu sudah diungkapkan dalam metafor lirik lagu Koes Plus berjudul ”Kolam Susu” yang mengatakan tanah kita tanah surga, ”tongkat kayu dan batu jadi tanaman”. Tak melebihi tak mengurangi, memang betul begitu adanya. Saya saja yang kadang-kadang tertutup oleh mata uang, jadi tak melihat surganya Indonesia. Banyak lagi jika ingin diuraikan. 

Di Amerika, jika cedera patah tulang setidaknya harus memiliki uang $10.000 - $35.000 atau setara Rp150-500 juta. Biaya melahirkan bisa mencapai $18.000 atau setara Rp300 juta. Pembicaraan ini terjadi di mobil saat perjalanan tour. Gene Peterson menjelaskannya. Pecah kepala saya mendengarnya, tak sudi tinggal di negara yang katanya hebat, semua dengan uang, uang, uang, apa hidup ini cuma ditukar dengan uang? Saya ini manusia bukan robot yang harus kerja terus. Hidup, kan banyak dimensinya. Belum lagi biaya pajak, air, listrik, internet, sewa atau cicilan rumah, sekolah, mana bisa keluar dari keterjebakan uang, uang, uang. Tak mungkin ada waktu untuk duduk nongkrong sambil minum kopi tertawa lepas seperti di surga Indonesia. 

Sepengalaman saya saat mengalami patah tulang, 18 tahun lalu, saya dibawa ke pengobatan alternatif hanya menghabiskan Rp40.000/malam untuk biaya kamar. Dalam dua minggu alhamdulilah sehat walafiat. Sampai sekarang malah saya bisa menjadi juara BMX Indonesia. Juga saat melahirkan anak, biaya di bidan di tanggung oleh BPJS Kesehatan karena kontrak sebagai atlet di perusahaan sepeda. Gratis dan murah, nikmat mana lagi yang didustakan. Itu semua menjadi mimpi bagi warga Amerika bisa bebas finansial. Mimpi tertinggi mereka bukan memiliki banyak uang, melainkan kebebasan finansial atau financial freedom.

Seperti yang diceritakan Robert T. Kiyosaki dalam bukunya Rich Dad Poor Dad yang ditulis pada tahun 1997 dan menjadi best seller di New York setelah 25 tahun. Terjual sebanyak 32 juta eksemplar dan sudah diterjemahkan ke dalam 51 bahasa. Ia menjelaskan banyak hal dalam bukunya, di antaranya rumus 4 quardan yang terkenal menjelaskan ESBI. Employee/ karyawan level pertama sebagai pekerja mendapatkan uang dengan menunggu gaji setiap bulan. Self employee, yaitu mereka yang bekerja dengan kemampuan diri sendiri atau bisa dibilang profesional, seperti dokter, polisi, seperti saya yang mengandalkan kemampuan atau keahlian BMX. Lalu level ketiga, bisnis owner, mereka yang bekerja dengan membangun sistem pada perusahaan bekerja dengan tim, memiliki risiko dan harus memiliki pengalaman juga kecerdasan dalam berbisnis. Level keempat ialah investor, mereka yang menyimpan uangnya di perusahaan dan uang yang bekerja untuk mereka.


Sebenarnya, orang-orang di Indonesia sangat mungkin bisa mendapatkan kebebasan finansial dengan mudah karena sudah sering saya katakan bahwa tanah kita tanah surga, di sana terhampar luas lautan, tanah subur-makmur, ilmu melimpah, berpeluang mudah mencapai kebebasan finansial atau kebahagian. Robert T. Kiyosaki juga menegaskan dalam bukunya tentang dimensi spiritual atau pemahaman tentang agama. Bahagia tidak melulu dikaitkan dengan materi. Sudah banyak dijelaskan, jika bersyukur, Tuhan akan menambah nikmat yang lain. 


Di Indonesia ilmu agama mudah didapat, negara yang berketuhanan. Untuk mencapai merdeka finansial/kebahagiaan memang tidak semudah yang dibayangkan. Sekali lagi, yang dimaksud bahagia bukan berkelebihan uang, melainkan tidak lagi terjebak dalam perlombaan menumpuk uang. Itu perlu memiliki pandangan yang luas, komitmen, dan kebijaksanaan dalam diri. Kebijaksanaan akan hadir justru dari berbagai pengalaman tentang materi. Bisa saja kita pernah berlebih uang dan pernah tak memiliki uang seperti kebangkrutan, setidaknya belajar dari pengalaman sendiri dan orang lain. Ujungnya mampu mengelola, menyadari potensi dirinya dan lingkungan yang  mengantarkan kepada kemerdekaan finansial/kebahagiaan dan mengerti tentang kebahagiaan. Bahagia bukan lagi terjebak dalam hal material, melainkan bahagia yang lebih hakiki, dalam hatinya dengan penuh kebersyukuran, bisa tinggal di tanah surga yang melimpah ruah, menyadari bahwa semua tujuan manusia di dunia sebenarnya adalah bahagia. Untuk menyaksikan kekuasaan dan keindahan alam semesta, Indonesialah yang tepat untuk dikatakan surga dunia. Memang masih banyak permasalahan ini dan itu di Indonesia. Namun, jika itu bisa digeser dari penglihatan, banyak yang akan melihat kebahagiaan. 


Seperti pagi ini, saya berikan tontonan YouTube kepada Jun Hasegawa, freestyler basket ball yang ingin mengenal betul tentang Indonesia.  ”Ekspedisi Indonesia Biru” episode 28 yang di dalamnya bercerita tentang perburuan ikan paus di Lamalera, perburuan ikan paus yang tercatat sejak 400 tahun lalu, Kotaro Kojima, peneliti dan penulis asal Jepang yang sudah tinggal 25 tahun di sana, menyatakan bahwa pemburuan ikan paus merupakan sebagai jaminan sosial bagi lansia dan janda juga yatim piatu. Sebegitu melimpahnya ikan di lautan. Itu bukan suatu pemburuan, melainkan sistem penjemputan rezeki dari alam semesta. Dengan jumlah penduduk 2.000 jiwa, ikan paus menjadi bahan pangan, jaminan sosial, dan alat tukar di pasar. Di sana masih ada pasar barter antara pelaut dan petani. Mereka bisa saling tukar makanan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga. 


Ekosistem lautan dan populasi ikan paus tak akan hancur jika hanya untuk memenuhi kebutuhan saja, bukan untuk memenuhi kekayaan. Sama seperti pertanian, jika bukan industri maka akan cukup. Seperti di suku Baduy Banten, di lumbung padi mereka, masih menyimpan padi dari 100 tahun lalu, padahal mereka hanya melakukan panen satu kali dalam satu tahun. Berbeda dengan sistem pertanian perkotaan. Tiga kali panen dalam satu tahun, tapi masih saja kekurangan karena tuntutan ekonomi. Sepertinya yang harus mendapatkan peringkat negara paling berbahagia adalah Indonesia dengan letak geografisnya dan kekayaan alamnya yang tak pernah habis walaupun banyak dicuri dan dimanipulasi. Kekayaan budaya dan nilai-nilai agama juga membuat masyarakatnya tenteram dan gotong royong. Tak ada alasan untuk tak bahagia, selain tertutupnya mata hati oleh materi.


Driggs, Idaho, 26 November 2024


_______

Penulis

Heru Anwari, BMX Freestyler Indonesia. Berkeliling ke berbagai negara bersama sepeda.

Instagram: @heruanwari 

heruanwaribmx.com